Mohon tunggu...
Fauzi FI
Fauzi FI Mohon Tunggu... Pengacara - UNMA Banten

Kawal Keadilan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Oleh Badan Peradilan Khusus Dalam Kerangka Peraturan Perundang-Undangan

11 Juli 2022   12:55 Diperbarui: 11 Juli 2022   12:58 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Fauzi Ilham

Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Mathla’ul Anwar Banten
Email: fauziilham1982@gmail.com

                                                         

Abstrak:

Demokrasi dan Hukum merupakan kesatuan dalam krangka pemerintahan yang demokratis, proses penerapan konsep demokrasi tersebut mengalami perubahan sebagaimana dalam UUD 1945 Pasal 18 ayat 4 Gubernur, Bupati, dan Walikota, masing-msing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Dengan penyelenggaraan kemudian di pilih langsung dengan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilihan menyisakan akibat hukum atas proses penyelenggaran tersebut sehingga harus adanya kepastian hukum dalam penyelsaian perselisihan hasil pemilihan. di mana hukum menjadi yang paling utama sebagai sarana untuk mememenuhi rasa keadilan.

Badan peradilan khusus sebagaimana Pasal 157 ayat 1 dalam UU No. 10 Tahun 2016 di bentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional. Sebagaimana juga dalam UU No. 7 Tahun 2017 Pasal 468, 469 terhadap ketentuan penanganan pelanggaran administrasi, dan proses  penyelsaian sengketa, merupakan wewenang dan kewajiban Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk menerima, serta menindaklanjuti, memverifikasi, memediasi, melakukan proses adjudikasi, serta memutus penyelsaian sengketa proses pemilu. sebagaimana hal tersebut di atas Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) kemudian diberikan kewenagan sebagai lembaga qwasi peradilan, di mana kewenangan tersebut memutus perselisihan antar Peserta Pemilu, serta akibat hukum atas di kelurkannya Brita Acara atau Surat Keputusan oleh KPU. dalam krangka konsep dan teori hukum tersebut tentang pembentukan peradilan khusus kiranya dapat menjadi penguatan kelembagaan sebagaimana ketentuan UU tersebut di atas. tentang lembaga peradilan khusus tersebut.

 

Kata kunci : Demokrasi, Hukum, Keadilan, peradilan khusus, 

Penyelsaian Sengketa. UU 10 Tahun 2016.

                

Abstract:

Democracy and law are unity in the framework of democratic government. In the application of the concept, the aplication of the concept that underwent changes as stipulated in the 1945 contitution article 18 paragraph 4 governors, regent, mayor, resvectively as regional heads of provices, regencies, and cites are democratically elected.

The implementation is then dicetly elected based on the principles of direct, genneral, free, confidential, honest and fair. The election lives legal consequences for the implementation process so that there must be legal certanty in resolving dispute over election result. And most important asa a means to fulfill a sense of legal justice. 

A spacial judicial body as referred to in article 157 paragraph 1 regarding dispute over result shall be established prior to the implementation of national simultaneous elections. In law no. of 2017 article 468 and article 469 the provisions for violations that are administrative in nature, or dispute resolution processes are an authoryty and obligationelection supervisory body, or (Bawaslu).

Then given the authoruty as a judicial qwasi iinstitution, to decide on dispute between election participans, and as a result of the issuance of a brigade ba, or decree dcree, by the KPU election organizers. Within the framework of legal and theories regarding the establisment af a. spacial judicial body, presumably it can become the legal basis as stipulste in the law above. About the spacial judiciary.

Keywords: Democracy, Law Justice, Spacial Justice, 

Dispute Resolution. Law 10 of 2016

                

 

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah 

Negara Indonesia adalah Negara hukum, kedaulatan berada ditangan rakyat, itulah amanat konstitusi Pasal 1 UUD 1945. Ayat 3 tentang bentuk dan kedaulatan.[1] Konsepsi itu pula yang menjadi dasar yuridis sebagaimana dalam preambule aline ke-empat di nyatakan bahwa “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia” pemilu merupakan bentuk implementasi terhadap gagasan ide besar demokrasi yang bentuk kedaulatan pada rakyat sebagai peran sentral yang melakukan pergantian kekuasaan (kepemimpinan keterwakilan) yang dilaksanakan secara priodik setiap 5 (lima) tahunan sekali. dengan berasaskan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) dan jujur dan adil (judil).[2]  

 

Demokrasi dan Hukum merupakan suatu konsep tatanan pemerintahan yang di dalamnya menggunakan adanya jaminan kepastian hukum, serta menghormati hak asasi manusia. maka dalam mengejawantahkan nilai kedaulatan yang menjadi bagian hak konstitusional yang sesungguhnya. Maka pergantian kekuasaan diharapakan dapat mencegah kekuasaan yang menyimpang (abius of power). Atas kekuasaan yang sewenanng-wenang. dalam konsep demokrasi setiap hak publik politik (partisipasi politik) hak-haknya harus mendapatkan jaminan dari negara. atas pelibatan partisipasi politik tersebut pada pemilhan kepala daerah secara langsung sebagai sarana kedaulatan rakyat di tingkatan lokal yang dapat memberikan dampak positif terhadap legitimasi pemerintahan yang syah.

 

Dalam pandangan presiden Amerika Serikat pada sebuah konvensi partai politik tahun 1856 menyampaikan sebuah pernyataan ”surat-suara jauh lebih kuat dari peluru” suara rakyat yang di representasikan dalam pemilihan (pilkada) misalnya memiliki dampak perubahan yang besar, jauh melebihi peluru yang merepsentasikan alat kekerasan dalam sebuah peperangan.[3]

 

Dalam konsep demokrasi maka penerapan atas hukum sama, sebagaimana azas “equali bifore the law” atau juga prinsip dasar magna charta atau bhil of right bahwa dasar esensi nilai hukum setiap subjek hukum menjadi pertimbangan dalam hak-hak sipil atau rakyat dengan mempertimbangkan bagaimana setiap orang sah atau tidaknya di lakukan penangkapan serta penahanan. demikian pula tidak ada satupun tindakan ataupun perbuatan yang dapat di benarkan memberlakukan kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum dan keadilan. bahwa demokrasi tidak hanya suatau sistem pemerintahan saja, tapi juga penegakan hukum dan keadilan sebagai sebuah gaya hidup tata masyaratakat tertentu, yang oleh karena itu mengandung unsur-unsur moral.[4] 

 

Pemilihan Umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan praktek perwujudan kedaulatan rakyat dalam sebuah sistem pemerintahan yang demokratis, serta memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. maka proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang demokratis menjadi bagian terbentuk pemerintahan yang mampu menjamin perlindungan terhadap hak-hak asasi dan penegakan hukum (rule of law), serta pembentukan institusi pada kelembagaan negara yang demokratis. esesnsinya bahwa Pilkada merupakan ruang kompetisi di daerah yang di dalamnya perebutan kekuasaan dengan cara-cara yang syah di dasarkan pada hukum dan keadilan. kendatipun terhadap kerentatan dan kerawanan terjadinya konflik sehingga bisa dieliminir atas pelanggaran hukum maka memerlukan langkah-langkah preventif (pencegahan) dan dengan pendekatan penegakan hukum dan keadilan.

 

Pentingnya krangka hukum yang dapat menjamin keadilan dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada), kemanfaatan serta memberikan kepastian hukum terhadap peserta pemilu maupun pemilih. taat asas dan taat norma perundang-undangan serta krangka hukum yang baik.

 

Dalam krangka pembentukan hukum pemilihan harus lebih tegas terhadap kewenangan yang di berikan secara kelembagaan, khususnya terhadap penegakan hukum pemilihan. tidak hanya sebatas rekomendasi, kemudian bertambah kewenangan menjadi quwasi peradilan. maka sejak peralihan sistem pemilihan langsung pasca era reformasi terhadap ketentuan norma hukum perubahan terhadap (amandemen) UUD 1945. Sebagaimana dalam Pasal 24 ayat 3 tentang badan-badang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan undang-undang, dan lembaga Mahkamah Konstitusi yang mengadili perselisihan hasil pemilu dan pemilihan. peran serta fungsi kelembagan kekuasaan kehakiman mulai menunjukan peran serta fungsinya terhadap penindakan serta penegakan hukum yang mengadili perselisihan hasil pemilihan. tidak terlepas dari konteks perselisihan suara atau hasil, kepentingan antar pihak yang tidak puas dengan hasil pemilihan, maka penyelsaian pada lembaga peradilan merupakan pilihan terahir (ultimum remedium) sebagai penegak hukum dan keadilan.[5] 

 

Persoalan penanganan pelanggaran baik administrasi, pidana, penyelsaian sengketa, serta perselisihan hasil pemilihan. dalam Pilkada harus terus di lakukan perbaikan secara kelembagaan, kendatipun masih muncul banyak persoalan peraturan (undang-undang) yang masih absurd atau sumir terhadap pasal-pasal yang di pandang memiliki multitafsir baik terhadap pelaksanaan sebagaimana pada pasal 157 ayat 1 UU 10 tahun 2016 tentang peradilan khsusus tersebut  masih belum terbentuk di tengah pemeilu dan pemilihan serentak.

 

Oleh karenanya terhadap konsep serta ketentuan hukum administrasi, dan sengketa proses pemilu yang pengaturannya dibutuhkan yang lebih tegas secara norma sehingga adanya kepastian hukum. misalnya dalam pengaturan tentang penyelsaian sengketa pemilu yang di atur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Pasal -468 dan 469 mengidentifikasi pada penanganan pelanggaran baik yang sifatnya administrasi, ataupun penyelsaian sengketa proses, merupakan tugas wewenang dan kewajiban Badan Pengawas Pemilihan Umum  untuk menerima, menindaklanjuti, memverifikasi, memediasi, melakukan proses adjudikasi, serta memutus penyelsaian sengketa proses pemilu.[6] 

 

Dalam kelembagaan semi peradilan maka perlu kembali di atur dengan regulasi secara tegas serta berkepastian hukum pada kewenangan Bawaslu, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi, serta pembentukan Peradilan Khusus Pemilihan. Paling tidak dalam sistem peradilan harus di perjelas terhadap konsep, mekanisme, kewenangan yang lebih memberikan kepastian hukum, serta keadilan kepada para pihak sebagai peserta pemilihan. Konsepsi terhadap kekuasaan kehakiman pada badan peradilan ksusus tersebut apakah menjadi lokus kewenangan Mahkamah Agung di lingkungan Pradilan Umum pada Peradilan Tata Usaha Negara. atau tetap kembali oleh Mahkamah Konstitusi saat ini. atau secara kelembagaan ada pada Bawaslu berdiri sendiri setara dengan Lembaga Peradilan. maka terhadap gagasan pembentukan peradilan khusus desain serta konsep pembentukan Badan Peradilan tersebut sangat urgen untuk di lakukan pembentukan di tengah tahapan pemilu dan pemilihan serentak nasional di laksnakan pada tahun 2024. Sehingga adanya lembaga peradilan khusus yang dapat menyelesikan perselisihan hasil pemilihan tidak lagi bersifat Sentralistik berpusat pada Mahkamah Konstitusi.

 

Sebagai bahan kajian kelembagaan Dalam penyelsaian sengketa proses atas perselisihan akibat hukum yang di keluarkan oleh  pejabat tata usaha negara yang berwenang saat ini di Bawaslu merupakan sistem qwasi peradilan terhadap para pihak berperkara yang putusannya bersifat final dan mengikat, sehingga dapat pula di lakukan pengajuan gugatan pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN) setelah upaya proses administrasi di lakukan di bawaslu selesai.

 

Jika dilakukan telaah lebih jauh terhadap persoalan yang berkaitan dengan mekanisme atau tatacara prosedur administrasi yang sangat banyak terhadap putusan di keluarkan oleh Bawaslu sebagai ilustrasi pada pemilu 2019 sedikitnya ada 12.138 (Dua Belas Ribu Seratus Tiga Puluh Delapan) kasus.[7] yang masuk data putusan bawaslu dalam putusan administrasi. Selajutnya perselisihan hasil pemilihan kepalada daerah (Pilkada) di Mahkamah Konstitusi pada pilkada tahun 2020 jumlah perkara yang diregister pada Mahkamah Konstitusi (MK) 132 (Seratus Tiga Puluh Dua)  perkara. Selanjutnya Putusan yang dibacakan di kurun waktu di 2021 ada sejumlah 100 (Seratus) perkara, atas banyaknya Jumlah perkara yang teregistrasi di Mahkamah Konstitusi (MK) menunjukan bahwa dalam mencari keadilan begitu tinggi sebagaimana pada pemilihan di 170 (Seratus Tujuh Puluh) daerah pelaksana Pilkada 2020. Dalam tinjauan yuridis normatif tentang perselisihan hasil di Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi harapan bagi yang berperkara, secara normatif sebetulnya sudah di atur hal perkara yang mana kemudian masuk dalam agenda pembuktian atau hanya pada putusan dismisal (proses penelitian administrasi terhadap gugatan ), karena Mahkamah Konstitusi (MK) sedari awal sudah mengacu pada ketentuan UU No. 10 tahun 2016 mengacu pada perbedaan jumlah angka yang sudah di batasi berdasarkan sebaran jumlah penduduk sebagaimana Pasal 158 ayat 2 point d hanya 0,5% (nol koma lima persen) jumlah penduduk yang lebih dari 1000.000 (satu juta). selanjutnya hal ini juga menjadi persoalan kepastian hukum terhadap peserta pasangan calon kepala daerah mencari keadilan yang terus datang ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagaimana asas penafsiran hukum tentang asas Lex specialis derogat legi generali atas asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). dalam penegakan keadilan hukum pemilu dan pemilihan kepala daerah. terhadap konsepsi tentang badan peradilan khusus sebagaimana ketentuan dalam Pasal 157 ayat 1 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 yang masih di cita-citakan (Iusconstitundeum).

 

 

Identifikasi Masalah

 

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka identifikasi masalah dalam penulisan Journal ini adalah;

 

Bagaimana Hukum Perselisihan Sengketa Proses Pemilu.?

Bagaimana Konsep Teori dan Kelembagan Peradilan Khsusus Pemilu.?

Bagaimana Dasar Hukum Peradilan Khusus.?

 

Tujuan Penulisan

 

Tujuan penulisan ini untuk mengetahui kedudukan hukum qwasi peradilan.

Tujuan penulisan ini untuk mengetahui tentang bidang Kekuasaan Kehakiman. 

Tujuna penulisan ini untuk kedudukan hukum konsep peradilan khsusus.

 

 

 

 

 

                                                             BAB II

 

URGENSI PERADILAN KHUSUS PEMILIHAN TINJAUAN YURIDIS UNDANG-UNDANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH

 

 

 

Tinjauan Yuridis Sengketa Proses Pemilihan

 

 

Dalam tinjauan study pustaka ini untuk menguraikan tinjauannya mengenai konsep Teori Penegakan hukum dari Lawrence M. Friedman, yaitu “teori the legal system (sistem hukum)” yaitu tentang subtansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.[8] untuk mengurai persoalan-persoalan hukum kepemiluan tentang urgensinya pembentukan Badan Peradilan Khusus. dalam ajaran positivisme hukum yang di pelopori Jhon Autin pada norma atau perundang-undangan mengenai aturan hukum tertulis. 

 

Penulisan ini juga menggunakan teori keadilan dan teori tujuan hukum dari Gustav Radbruch, bahwa nilai-nilai keadilan yang harus menjadi isi aturan hukum sedangkan aturan hukum bentuk yang harus melindungi keadilan.[9] Masyarakat melihat bahwa rasa keadilan tidak ada dalam buku, tapi adanya di hati nurani masyarakat.

 

untuk memperkuat analisis dalam rangka untuk menjawab permasalahan, krangka teori dalam penelitian ini Urgensi Kedudukan Peradilan Khusus, penulis menggunakan teori jenjang norma hukum (stufentheori) yang digagas oleh Hans Kelsen, kemudian teori hukum Stufenbau merupakan teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi.[10] 

 

sebagaimana dalam tata urutan perundang-undangan, UU No. 12 tahun 2011 sebagaimana juga di ubah UU 15 tahun 2019 tentang hierarkis peraturan perundang-undangan di antaranya.[11]

 

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara atau MPRS dan ketetapan MPR yang nmasih berlaku.

 

Undang-undang atau Peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

 

Peraturan Pemerintah

 

Peraturan Presiden.

 

Peraturan daerah provinsi Termasuk di dalamnya Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan daerah khusus atau perdasus, serta peraturan daerah provinsi atau perdasi yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

 

Peraturan daerah kabupaten atau kota.

 

Ketentuan peraturan dan kaidah hukum yang tertinggi Undang-undang Dasar 1945 (konstitusi). kalau kita mengacu pada konsideran menimbang huruf a. UU 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum, yakni untuk menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana dalam preambuale UUD 1945 perlu di selenggarakan pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat, sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan pancasila dan UUD 1945.[12] berlandaskan ketentuan UU 7 tahun 2017 pasal 102 “bawaslu kab/kota bertugas melakukan pencegahan dan penindakan di wilayah kabupaten/kota terhadap sengketa proses pemilu”.[13] pada Pasal 101 salah satu poinnya bahwa bawaslu melakukan proses adjudikasi terhadap sengketa proses serta memutus penyelsaian sengketa proses pemilu di wilayah kabupaten atau kota. yang menjadi objek tersebut sebagaimana dalam pasal 468 dan pasal 469 UU pemilu merupakan ketentuan yang telah di atur oleh perundang-undangan. selanjutnya juga penyelsaian sengketa proses pemilu sebagaimana peraturan bawaslu (perbawaslu) 5 tahun 2019 yang merupakan hukum acara sengketa proses tersebut adalah atas di keluarkannya objek atas SK (Surat Keputusan) atau BA (Brita Acara) tersebut yang menjadi kewengan kompetensi relatif terhadap persoalan atas kewenangan tersebut. Dalam kajian teori hukum bahwa kompetensi relatif (kewenangan) mengatur para pihak (distributie van rechtsmacht), terutama tergugat.[14]

 

Sampai tahapan pemilu serentak nasional yang akan di laksanakan pada 2024. sebagaimana dalam ketentuan Pasal 468 serta pasal 469 tersebut merupakan norma yang mengikat bagi para pihak yang berperkara atas objek hukumnya berupa Surat Keputusan (SK) atau Brita Acara (BA) atas keputusan berupa ketetapan atau Ketentuan yuridis yang menggugurkan pasangan calon baik kepala daerah maupun bakal calon anggota DPRD kabupaten atau kota. Maka diatur terkait konsep serta desain qwasi peradilan, yang bersifat khusus dalam sengketa proses pemilihan tersebut. Maka ketentuan pasal 468 ayat 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 bahwa badan pengawas pemilihan umum (Bawaslu) melakukan penyelsaian sengketa proses pemilu dengan tahapan menerima dan mengkaji sengketa proses pemilu terhadap ketentuan perundang-undangan tentang kewenangan yang di berikan memiliki kekuatan hukum yang final dan mengikat bagi para pihak sehingga kelembagaan yang ada pada bawaslu merupakan bagian qwasi peradilan dari konsep Kekuasaan Kehakiman sebagaimana kalau kita merujuk pada UU No. 7 Tahun 2017 Pasal 101 tentang tugas di antaranya bawaslu “Melakukan penindakan serta menyelsaikan sengketa proses”. selanjutnya UU No. 10 Tahun 2016 Pasal 157 ayat 1 konsep pembentukan peradilan ksusus adalah yang menyatakan “Perkara hasil perselisihan hasil pemilihan di periksa dan di adili oleh badan peradilan khsusus” dalam ketentuan UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 1 Angka 8  tentang kekuasaan kehakiman menyatakan “Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang” yang menjadi dasar  disamping kerangka teori diatas yang dipergunakan adalah teori penegakan hukum, teori keadilan dan teori tujuan hukum. maka berdasarkan krangka teori hukum di atas ini menunjukkan bahwa Penegakan hukum yang dilakukan oleh badan pengawas pemilihan umum selaras dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 34/KMA/HK.01/II/2013 bahwa qwasi peradilan yang di lakukan bawaslu merupakan pelimpahan kewenangan sengketa admnistrasi (TUN) tata usaha negara.[15]

 

Konsep Desain dan Pembentukan Peradilan Khusus

 

Perdilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan khsusus dibawah Mahkamah Agung yang memiliki tugas untuk mengadili sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa. Berdasarkan UU kekuasaan Kehakiman No. 48 tahun 2009 Pasal 1 angka 8 pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenagan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tetentu yang hanya dapat di bentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur Undang undang, jika kita melihat pada pasal 25 terhadap struktur peradilan yang bersifat khusus secara norma hukum bisa memastikan masuk kedalam salah satu lingkungan peradilan yang di tentukan oleh UUD 1945.[16] 

 

Ketentuan mengenai Pengadilan Tata Usaha Negara juga diatur melalui Undang undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Hadirnya pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu ciri dari konsep negara hukum dimana Undang-undang salah satunya merupakan parameter yang menjadi bagian dari hukum positif.[17] 

 

Konsepsi ‘rechsstaat’ atau negara hukum. Rechstaat sendiri mencakup empat elemen penting yakni; (1) Perlindungan Hak Asasi Manusia, (2) Pembagiaan Kekuasaan, (3) Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang dan (4) Peradilan Tata Usaha Negara. Oleh karenanya, hadirnya pengadilan tata usaha negara merupakan bentuk perlindungan konstitutional bagi warga negara dari kesewenangan-wenangan negara melalui keputusan pejabat negara. Kewenangan khas dari pengadilan tata usaha negara adalah kemampuannya untuk mengadili perkara keputusan administrasi (beschikking). Hans Kelsen menjabarkan bentuk dari keputusan administrasi dengan ciri keputusan yang bersifat “concrete and individual norm.”[18] 

 

Bahwa selain bersifat konkrit dan individual, keputusan administrasi juga harus dilahirkan sebagai “produk kekuasaan eksekutif murni” Oleh karenanya yang dimaksud sebagai Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan pemerintah dan penyelenggara negara. maka tindakan itu harus dapat di nilai secara hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[19] yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

 

Jika disandingkan dengan perkara penetapan pasangan Daftar Calon Sementara Calon Anggota Dewan Perwakilan daerah Kabupaten atau Kota (DPRD) pada kontek hukum admintrasi, atau dalam hal perselisihan perhitungan admisntrasi pasangan calon perseorangan bakal calon bupati dan wakil bupati atau hasil pemilihan umum, maka Surat Keputusan (SK) penetapan hasil pemilihan atau umum juga termasuk dalam kategori keputusan administrasi (beschikking) sesuai dengan definisi Keputusan Tata Usaha Negara dalam Pasal 1 angka 10 (UU PT-TUN). hal ini tentu  disebabkan dua hal.[20]

 

Pertama, Badan Pengawas Pemilihan Umum merupakan salah satu badan eksekutif pejabat negara yang menerbitkan Surat Keputusan (SK) pembatalan atas penetapan Daftar Calon Sementara (DCS) pada pemilu atau Surat Keputusan (SK) penetapan pemilihan kepala daerah oleh KPU.

 

Kedua, SK Pembatalan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum atas Surat Keputusan (SK), yang di tetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum bersifat konkret, individual dan final bagi para pihak yang memiliki akibat hukum bagi para pihak dalam pemilu dan pilkada. dalam tinjauan yuridis normatif sebagaimana dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan kemudian ada hal ketentuan “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang ini. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.” Ketentuan dalam Pasal 2 huruf g UU (Peradilan Tata Usaha Negara (PT-UN) merupakan salah satu catatan yang dapat diubah apabila hendak memberikan kewenangan perselisihan hasil pemilihan (PHP) pemilihan kepala daerah pada pengadilan tata usaha negara.

 

Meski demikian terdapat praktik dimana pengadilan tata usaha negara juga sudah diberikan kewenangan untuk mengadili sejumlah sengketa tata usaha negara yang disebabkan oleh keputusan (SK) KPU. Salah satunya adalah dengan melimpahkan kewenangan sengketa administrasi (TUN) kepada Bawaslu sebagai pemutus sengketa banding administrasi. Mahkamah Agung sendiri telah menerbitkan Surat edaran Mahkamah Agung Nomor 34/KMA/HK.01/II/2013 tertanggal 21 Februari 2013 yang mengakui kewenangan Bawaslu sebagai pemutus sengketa pemilihan yang lahir akibat keputusan (SK) KPU menyebabkan Bawaslu bertindak sebagai lembaga banding administrasi sebagaimana pasal 468 UU 7 tahun 2017.

 

Dalam hal ini, peran pengadilan tata usaha negara adanya kepastian hukum sehingga apabila terdapat pihak yang tidak puas terhadap putusan Bawaslu sebagaimana di atur dalam pasal 469 point 2 sebagai lembaga banding administrasi, maka dapat langsung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.[21] Bawaslu memang diberikan kewenangan sebagai lembaga banding administrasi yang dapat melakukan penegakkan hukum pada produk-produk keputusan KPU semisal penetapan pasangan calon, penetapan DPT dan penetapan proses Pilkada. Persoalan muncul terhadap norma perundang-undangan terhadap penetapan sengketa hasil suara pemilihan yang domainnya merupakan sebuah produk yang berbeda yang berhubungan dengan hasil akhir sebuah proses demokrasi.

 

Dalam kajian normatif  bahwa sama-sama juga merupakan produk keputusan yang berupa adminstrasi yang bisa di lakukan upaya hukum pada tataran kelembagaan sebagaimana kewengan yang di berikan oleh pasal 469 tersebut terhadap para pihak yang apabila tidak puas bisa melakukan upaya hukum banding. sebagai miniatur dari konsep lembaga quasi peradilan khusus dalam perseolan adanya pelanggaran administrasi dalam proses Pilkada, maka Bawaslu sebagai lembaga banding administrasi dapat menjadi salah satu penegak hukum sebagaimana diberikan kewenangan melalui SEMA 34/KMA/HK.01/II/2013. Kewenangan mengadili layakanya pengadilan khusus Pilkada pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana menangani perselisihan hasil Pilkada pada masa pilkada Serentak di 2005.

 

Pengadilan khusus telah didefinisikan dalam Pasal 1 angka 8 UU Nomor 48 Tahun 2009 “Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.” Adapun, bagi hakim-hakim yang akan memutus perkara Pilkada, dapat pula ditunjuk hakim ad hoc yakni hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur sebagaimana dalam Pasal 24B ayat (1) UUD Tahun 1945 komisi yudisial melakukan tugasnya serta kewenangan melakukan seleksi atas hakim ad hoc, dalam Pasal 13 huruf a UU No. 18 Tahun 2011 mengatur kewenangan Komisi Yudisial (KY) mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc pada Mahkamah Agung (MA).

 

Hal ini akan menciptakan efisiensi, dimana dimasa depan, Pilkada hanya dilaksanakan lima tahun sekali dalam konsep Pilkada Serentak Nasional. Sehingga keberadaan pengadilan khusus menangani perselisihan hasil pemilihan (PHP) dalam pilkada tidak selalu bersidang sepanjang tahun, melainkan hanya pada waktu-waktu tertentu saja sebagaimana di dasarkan terhadap tahapan dan jadwal pemilu dan pemilihan. di mana  Majelis Khusus Tata Usaha Negara Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 472 UU No. 7 Tahun 2017 disebutkan bahwa Majelis Khusus Tata Usaha Negara Pemilu memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus sengketa proses pemilu yakni manakala terdapat partai politik atau calon peserta pemilu yang tidak lolos verifikasi KPU, penetapan pasangan calon dan pencoretan daftar calon tetap.[22] Hakim khusus dalam Majelis Khusus Tata Usaha Negara Pemilu terdiri dari hakim khusus yang merupakan hakim karir yang di lingkungan pengadilan tata usaha negara. Hakim tersebut adalah hakim yang telah melaksanakan tugasnya sebagai hakim minimal tiga tahun dalam masa kerjanya dan memiliki pengetahuan di bidang kepemiluan. 

 

Secara khusus Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mengenai pemilihan Majelis Khusus Tata Usaha Negara Pemilu melalui PERMA No. 4 Tahun 2017 Tentang Hakim Khusus dalam Sengketa Proses Pemilihan Umum di Pengadilan Tata Usaha Negara. Selain itu untuk melengkapi proses penyelesaian sengketa pada pengadilan dibawah Mahkamah Agung, diterbitkan pula PERMA No. 4 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administratif Pemilihan Umum di Mahkamah Agung (MA) dan PERMA No. 5 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum di Pengadilan Tata Usaha Negara.

 

Kelembagaan peradilan ksusus di bawah Mahkamah Agung karena perangkat hukum yang sudah cukup mumpuni yang dimiliki oleh Mahkamah Agung terkait Majelis Khusus Tata Usaha Negara Pemilu memiliki peluang untuk diberikan tambahan kewenangan untuk menangani sengketa hasil pilkada. adanya kepastian hukum bahwa perselisihan hasil pilkada terlebih dahulu harus ditentukan oleh masuk tidaknya ambang batas selisih suara sebagaimana presentase yang masuk di Mahkamah Konstitusi (MK) pada pilkada serentak tahun 2015, tahun 2017, dan tahun 2020. Sehingga Membuat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat menyaring pekara-perkara yang dapat disidangkan lebih lanjut. diberikannya kewenangan atau adanya pengadilan khusus Pilkada pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara akan memberikan peluang adanya upaya banding.

 

Namun apabila diteliti dari beberapa kasus permohonan persidangan pada Peradilan Tata Usaha Negara, maka sejak adanya Pilkada Serentak dan adanya pengaturan ambang batas yang sangat ketat, maka jumlah permohonan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN) boleh jadi tidak akan terlalu banyak, akan semakin terjaring dan semakin sedikit lagi perkara yang akan banding upaya luar biasa ke Mahkamah Agung. Atau kita menyebutnya kemudian jadi Mahkamah Kalkulator (hanya pada abang batas presentase suara), karena sejak masuk sudah pembatasan pada presentase jumlah suara tersebut.

 

Atas ketentuan pengaturan norma tersebut di atas paling tidak dari perbandingan kelembagaan serta konsep teori dalam jenjang norna sebagaimana Hans Kelsen sampaikan merujuk pada norma yang lebih tinggi sebagaimana diatas. ini merupakan konsep awal sebagaimana dalam pasal 157 ayat 1 UU nomor 10 Tahun 2016 tentang Peradilan Khusus perselisihan hasil pemilihan (PHP) Pilkada, yang memunculkan gagasan pembentukan Badan Peradilan Khusus yang menyelesikan sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, hal ini karena sampai dengan saat ini Badan Peradilan Khusus belum terbentuk dan penyelesaian perselisihan masih oleh kewengan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dalam ketentuan pasal 157 ayat 3.  

 

 

Pembentukan Peradilan Khusus dalam Penyelsaian Hasil Pemilihan Kepala Daerah

 

 

 

Salah satu kewengan yang di berikan dalam penanganan penyelsaian perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah memberikan pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN). sebagaimana yang telah di lakukan sebelumnya dalam menangani sengketa Pemilihan kepala daerah tingkat Kabupaten/Kota pada PT-TUN setempat. Krangka hukum ini muncul bahwa pemilihan kepada daerah merupakan bagian rezim pemilihan pada tingkatan lokal sebagaimana dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis, serta dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

 

 Kemudian UU No. 22 Tahun 2007, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilihan untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. kemudian itu yang menjadi kewengan Mahkamah Agung penyelsaian perselisihan hasil pemilihan (PHP) oleh PT-TUN. Sehingga muncul gagasan baru tentang hasil di kembalikan lagi pada Mahkamah Konstitusi untuk menangani perselisihan hasil pemilihan sebagaimana saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan putusan No. 55/PUU-XVII/2019 konsep konstitusionalitas pemilu serentak yang point pentingnya bahwa pemilihan kepada daerah ada di dalamnya berlangsung sampai saat ini. sebelum adanya lembaga peradilan khusus. secara konsep tentang peradilan khsusus kemudain persoalan besarnya apakah ada pada kelembagaan Mahkamah Agung (MA) atau tersendiri atau  harus kembali pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN) yang sekarang hanya ada di Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya dan Makasar.

 

Keputusan KPU kabupaten atau kota tentang rekapitulasi hasil Pemilihan kepala daerah dan penetapan pasangan calon kepala daerah sebagai pemenang pada hakikatnya adalah putusan Tata Usaha Negara (TUN). Sebagai putusan pejabat Tata Usaha Negara maka yang paling berwenang mengadilinya adalah pengadilan TUN. Namun untuk lebih cepat, maka langsung PT-TUN membuka sidang seperti pengadilan tingkat pertama. bukan memeriksa berkas seperti pemeriksaan banding pada PT-TUN dapat membatasi waktu pemeriksaan perkara Pemilihan kepala daerah dengan berbatas waktu sebagaimana tahapan pemilihan (30) tiga puluh hari kerja sejak perkara didaftarkan. Secara kelembagaan pada Peradilan Tata Usaha Negara (PT-TUN) Sumber Daya Manusia (SDM) hakim tinggi TUN cukup banyak, maka konsepnya dapat membentuk beberapa majelis, tidak hanya halnya 1 majelis seperti pada Mahkamah Konstitusi saat ini dengan demikian, proses pemeriksaan perkara bisa mendalam dilakukan oleh majelis hakim, sehingga putusan secara kelembagaan lebih kemanfaatan hukum.

 

 “bahwa secara kelembagaan saat ini Bawaslu sudah menjalankan sistem qwasi peradilan untuk mengadili sengketa proses pada pemilihan kepala daerah ataupun pada proses pencalonan pemilu” sebagaimana terhadap konsep tersebut di atas bahwa kelembagan bawaslu saat ini tentu di dasarkan pada peran kelembagaan Bawaslu yang diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan penyelesaian sengketa proses  administrasi pemilu, Sehingga Pengadilan Tata Usaha Negara (PT-TUN) menjadi forum terakhir setelah sengketa upaya administrasi pemilu diajukan ke Bawaslu sebagaimana ketentuan pasal 468 UU 7 tahun 2017.

 

Hal ini tentu secara kelembagaan menunjukkan adanya peran untuk menjadikan Bawaslu sebagai lembaga quasi peradilan yang diberikan kewenangan sebagaimana dalam pasal 102 UU No. 7 tahun 2017 memberikan putusan yang bersifat mengikat bagi para pihak yang berperkara. Terhadap kewenangan yang di berikan oleh peraturan perundang undangan dapat di maksimalkan sehingga adanya kepastian hukum. Terhadap hukum yang di cita citakan (ius contituandem) untuk memutus sengketa hasil Pilkada sebagaimana amanat UU 10 Tahun 2016 pasal 157 ayat 2 di bentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional.[23] 

 

Oleh karenanya, istilah Pemilihan kepala daerah sebagai sebuah istilah pada pemilihan umum, hanya di laksanakannya pada tingkatan lokal secara serentak, karena pemilu dan pemilihan terhadap asas-asas penyelenggaraan sama saja tidak mengurangi substansi secara hukum karena pemilu di laksanakan dengan berdasarkan asas Luber dasn Jurdil. yang diselenggarakan secara nasional dan serentak sehingga kedepan dapat diklasifikasi kembali menjadi bagian sama-sama dari rezim pemilihan umum.

 

 

 

 

Lembaga Peradilan Khusus Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)

 

Gagasan untuk menjadikan Bawaslu sebagai lembaga yang berwenang untuk mengadili perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) menurut Immanuel Kant bukan merupakan hal yang Ansich (berarti "pada dirinya sendiri") hal ini dikarenakan adanya perubahan fungsi Bawaslu yang mulanya hanya bertugas untuk menjadi pengawas pelaksanaan pemilu, menjadi memiliki kewenangan quasi judisial dalam sengekta administrasi pemilu dan tindak pidana Pemilihan. Sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 34/KMA/HK.01/II/2013 yang memungkinkan adanya banding administrasi dalam kasus sengketa administrasi pemilu. Sehingga Bawaslu dimungkinkan untuk memeriksa ulang Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh instansi dari badan atau pejabat Keputusan Tata Usaha Negara yakni KPU. Sehingga Bawaslu dapat memeriksa dan memutus perkara Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh KPU yang tidak terkait dengan hasil verifikasi Partai Politik Perserta Pemilu, akan tetapi pada penetapan daftar calon tetap perserta pemilu dan penetapan pasangan calon kepala daerah, dalam konsep materi pokok sebuah Undang-undang Dasar menurut G.J Steenbeek meliputi jaminan hak asasi manusia, susunan ketatanegaraan, pembagian pembatasan ketatanegaraan. Jadi pada prinsipnya bahwa organ-organ negara bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing sebagaimana dalam ketentuan UUd 1945[24] 

 

Dalam ketentuan Pasal 153 UU No. 10 tahun 2016 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sengketa tata usaha negara pilkada “adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilihan antara Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dengan KPU Provinsi dan atau KPU Kabupaten atau Kota sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi dan atau KPU Kabupaten atau Kota” Peran Bawaslu secara kelembagaan adalah untuk menerima keberatan dari peserta Pilkada yang merasa dirugikan dengan keputusan KPU Peserta pilkada secara hukum dapat mengajukan keberatan tersebut, sebagaimana dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah KPU menetapkan atau mengeluarkan  putusan maka bawaslu berwenang menerima, memeriksa, memediasi, mengadjudikasi dan memutus penyelsaian sengketa proses pemilu.[25] 

 

Dalam hal ini Bawaslu ditegaskan sebagai pelaksana upaya banding administatif dimana peserta Pilkada diharuskan untuk mengajukan keberatannya kepada Bawaslu dalam urusan keputusan tata usaha. baru setelah Bawaslu memberikan keputusan, selanjutnya bagi calon atau peserta pilkada merasa kurang adil dapat diajukan gugatan atas sengketa tata usaha negara pemilihan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara setelah seluruh upaya administratif di tempuh serta dilakukan di Bawaslu selesai.

 

Kewenangan Bawaslu untuk dapat melakukan pemeriksaan dan memutus perkara administrasi pemilu diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 95 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa “Bawaslu berwenang untuk memeriksa, mengkaji dan memutus pelanggaran, administrasi Pemilu” Lebih dari itu, pasal yang sama juga memberikan kewenangan bagi Bawaslu untuk memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran politik uang yang sebenarnya adalah tindak pidana pemilu. Selain itu Bawaslu juga dapat memeriksa, memediasi, mengadjudikasi dan memutus penyelesaian sengketa proses Pemilu.[26] 

 

Prosedur untuk menyampaikan keberatan ini pun juga diatur secara khusus dalam ketentuan UU No. 7 Tahun 2017 bahwa Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten atau Kota diharuskan untuk memutus sengketa proses Pemilu paling lama 12 (dua belas) hari sejak diterimanya permohonan. Maka Bawaslu melakukan sejumlah tahapan adjudikasi seperti melakukan pengkajian permohonan dari keterpenuhan syarat formil materil, dan mempertemukan pihak yang bersengketa untuk untuk dilakukan mediasi. Maka sebagaimana ketentuan kewenganan yang di berikan dalam krangka teori hukum kewenangan (authority theory) organ pemerintah adalah alat-alat yang mempunyai tugas untuk menjalankan pemerintahan. hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan sebab akibat hukum.[27] bahwa Badan Pengawas Pemilihan Umum merupakan bagian dari organ negara sekaligus juga organ pemerintahan yang menjalankan kekuasaan fungi-fungsi semi peradilan atau quasi peradilan di dalamnya. jika para pemohon tidak puas terhadap putusan Bawaslu maka dapat diajukan gugatan pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN).

 

Berdasarkan tinjauan yuridis normatif tersebut di atas bahwa kelembagaan Bawaslu sebagai sebuah lembaga yang mampu memutus perkara dan menjadi miniatur lembaga quasi judicial. Lebih jauh tambahan kewenangan ini sangat di mungkin secara hukum seiring di lakukakan penemuan hukum untuk diberikan tambahan kewenangan sebagaimana ketentuan pasal 157 ayat 1 dan 2 UU 10 tahun 2016 sepanjang belum terbentuk peradilan khsusus pemilihan pada pemilu dan pemeilihan serentak nasional 2024.

 

Tentang konsep serta gagasan peradilan khsusus perselisihan hasil pemilihan (PHP). bisa mungkinkan Bawaslu untuk bertransformasi menjadi pengadilan pemilu (election court). Sebagaimana di beberapa negara di antaranaya meksiko menerapkan tren menjadikan Bawaslu sebagai lembaga yang menangani sengketa untuk menyelesaikan sengketa pemilihan dapat pula menjadi celah hukum untuk menjadikan Bawaslu sebagai lembaga pertama yang dapat menyelesaikan sengketa perselisihan hasil pilkada. Ketentuan ini dikarenakan sengketa hasil pilkada dalam praktiknya hanya dapat disidangkan manakala memenuhi syarat selisih suara bersadarkan sebaran jumlah penduduk dalam ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada Syarat lainnya yang harus terpenuhi juga adalah soal selisih suara. UU Pilkada telah mengatur patokan selisih suara yang bisa mengajukan gugatan. Untuk provinsi yang jumlah penduduknya dibawah 2 juta, syarat selisih suara adalah 2 persen. Untuk provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta sampai 6 juta, selisih suara 1,5 persen dan 6 juta sampai 12 juta selisihnya 1 persen serta diatas 12 juta selisihnya 0,5 persen. Maka terhadap kabupaten atau kota, di dasarkan sama dengan sebaran jumlah penduduk dibawah 150 ribu selisih suara adalah 2 persen, 150 ribu sampai 250 ribu 1,5 persen, 250 ribu sampai 500 ribu 1 persen dan diatas 500 ribu selisihnya 0,5 persen. Selisih suara di luar ketentuan tersebut tentu tidak masuk dalam perselisihan hasil.

 

ketentuan undang-undang ini menjadi ketentuan syarat materil. Bahwa Bawaslu dapat segera menindak adanya kesalahan administratif atas penjumlahan atas selisih yang didalilkan, karena Bawaslu secara kelembagaan memiliki petugas-petugas berjenjang yang secara langsung ada pada tiap Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS) dan ada pada tiap tahap penghitungan suara. secara hukum harus tetap ada forum untuk melakukan banding ke pengadilan. Bahwa melihat metode untuk menjadikan Bawaslu sebagai lembaga tahap pertama untuk menyeleksi sengketa hasil pilkada dapat dikombinasikan dengan banding selanjutnya ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN). Sehingga para pasangan calon yang tidak puas atas keputusan Bawaslu dapat mengajukan permohonan ke PT-TUN sebagai forum (ultimum remedium) upaya terakhir untuk menangani sengketa hasil penghitungan suara pilkada.

 

Dalam lingkup peradilan lembaga Mahkamah Agung merupakan badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 24A ayat 1 Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang di berikan oleh undang-undang. Jadi yang menjadi user terhadap pelaksanakan kekuasaan kehakiman ada pada Mahkamah Agung yang membawahi salah satunya Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN) Sebagaimana juga di tegaskan UU No. 48 Tahun 2009 dalam Pasal 20 bahwa lembaga yang menjadi kewenangan di bawah Mahkamah Agung mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.

 

Selanjutnya dalam UU No. 48 Tahun 2009  Pasal 23 Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan. dengan demikian seluruh aspek formil maupun materil terhadap proses penegakan hukum dalam menegakan keadilan di dasarkan sebagaimana ketentuan hierarki istilah dalam ilmu perundang-undangan. Maka dalam kedudukannya kemudian bawaslu sebagai lembaga qwasi peradilan yang menyelenggarakan bagian dari kekuasaan kehakiman pada perselisihan hasil pemilihan (PHP) dalam bidang penegakan hukum pemilu.

 

 

 

BAB III

 

PENUTUP

 

 

 

Simpulan

 

 

 

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 bukan termasuk dalam rezim pemilihan umum. Sehingga terjadi perubahan krangka hukum dalam proses (PHP) penyelsaian perselihan hasil pemilihan. Yang kemudian diperlukan adanya kepastian hukum, kemanfaatan hukum, serta kadilan hukum. peradilan merupakan tempat  terhadap proses untuk menerapkan dan menegakkan hukum demi keadilan, maka peradilan khusus (PHP) perselisihan hasil pemilihan yang kemudian diberikan kewenangan untuk mengadili sengketa perselisihan hasil pemilihan. memberikan rasa keadilan serta merupakan kewenangan kelembagaan yang di berikan mandat oleh UU No. 10 Tahun 2016 Pasal 1 dan 2 untuk mengadili perselisihan hasil pemilihan pada (Pemilihan Kepala Daerah) Pilkada dalam pemilihan serentak nasional. Konsep dan model semi lembaga peradilan khusus dapat diberikan pada Badan Pengawas Pemilihan Umum, dengan mekanisme pengadilan ad hoc yang selama ini sedang berlangsung sebagai miniatur lembaga qwasi peradilan. pada Pilkada Serentak Nasional yang dilaksanakan lima tahun sekali di Indonesia. hal ini tentu dapat diharapkan akan memberikan pemaknaan bahwasannya Pilkada serentak Nasional adalah demokrasi (lokal) nasional yang dalam krangka hukum merupakan bagian rezim pemilihan umum sehingga adanya kepatian hukum, kemanfaatan hukum, serta keadilan hukum.

 

Perlu segera penegasan perihal peradilan khususus tersebut yang mana secara khusus menangani perselisihan hasil pemilihan pada Pilkada serentak nasional tahun 2024 tersebut, yang saat ini masih di lakukan pada lembaga Mahkamah Konstitusi, dalam krangka hukum pemilihan sebagaimana dalam UU No. 10 tahun 2016 pasal 157 ayat 1 dan 2 secara ksusus kemudian lembaga peradilan khusus tersebut menangani perselisihan hasil pemilihan serta mendapatkan krangka hukum tentang Badan Peradilan Khusus. hal ini disebabkan perlu adanya penyesuaian dan proses persiapan yang matang di berbagai tingkatan dalam menangani perselisihan Pilkada yang tidak mudah. Sehingga pada peradilan khusus Pilkada di kemudian nanti akan siap digunakan pada pemiihan Serentak Nasional.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Buku 

 

Bagja, Rahmat dan Dayanto, Hukum Acara Penyelsaian Sengketa Proses Pemilu, Depok, Rajawali Pres, 2020

 

Umam, Khairul, Teori dan Metode Perubahan Undang Undang Dasar 1945, Yogyakarta, Thafa Media, 2016

 

Martakusumo, Sudikno, Penemuan Hukum, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 1996

 

Pettalolo, Ratna Dewi & Fahmi, Khairul, Kajian Evaluatif Penanganan Pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020, Jakarta: Badan Pengawas Pemilihan Umum, 2020

 

Kherid, Nizar, Evaluasi Sistem Pemilu Di Indonesia Sebuah Pluralisme Hukum, Jakarta, Rayyana Komunikasinndo, 2020

 

Romsan, Achmad, Altrenative Dispute Resolution, Teknik Penyelsaian Sengketa Negoisasi dan Mediasi, Jakarta, Setara Press, 2016

 

Satriawan, Iwan, Politik Hukum Pilkada dan Desain badan Peradilan Khusus, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2019

 

Suhardi Sumomoeljono, Gesekan Kewengan Eksekutif & Legislatif Sebuah Telaah bail Out Bank Century, Penerbit Moksa Press Cetakan ke-II dan Ke-III tahun 2019

 

 

E-Journal

 

Qurrata Ayuni, Gagasan Pengadilan Khusus Untuk Sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah, Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 1 (2018): 199-221

 

Susilo, dan Budi, Agus, Penegakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutika Hukum: Suatu Alternatif Solusi Terhadap Problematika Penegakan Hukum Di Indonesia. Jurnal: Perspektif Volume XVI No. 4 Tahun 2011 Edisi September

 

                                        

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun