“Mas Firman tahu?”
“Tak akan kuberi tahu,” jawabku tegas. Airin melepaskan dekapannya.
“Dia perlu tahu, Kay. Siapa tahu dengan calon anaknya itu dia berubah dan kembali lagi pada pernikahannya,” ucap Airin menasihatiku.
“Biarkan dia tidak tahu, Rin. Tolong kamu jangan memberi tahu dia,” pintaku.
“Apa dengan semua bukti yang kamu punya, Mass Firman mengakui kesalahannya?”
“Tidak. Aku ingin mengajukan cerai, Rin. Aku bisa merawat anakku sendiri.”
“Tidak. Kamu tak boleh bercerai. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Aku yakin, bayi di rahimmu itu adalah jawaban terbesar yang disiapkan Tuhan,” Airin masih saja menasihatiku yang sudah bertekad ingin bercerai.
“Kay, bercerai itu memang jalan yang terbaik untukmu. Tapi, tidak untuk masa depan anakmu. Jadi, kamu harus memberi tahu Mas Firman tentang kandunganmu,” Airin menyambung nasihatnya. “Semoga Allah menjaga hati Mas Firman. Hanya Dia yang mampu membolak-balik hati hambanya,” sambungnya.
“Aku lelah, Rin.” Kuhela nafas panjang. Terasa sesak dadaku, terhimpit luka yang menyiksaku. Kuelus perut yang kian membuncit.
*****
Mas Firman melucutiku dengan tatapannya. Menyapu tubuhku dari kaki hingga ujung kepala. Aku merasa risih di pandangi laki-laki yang telah menghianati pernikahan. Matanya bukan mata yang kukenal dulu saat ia mengutarakan niatnya melamarku.