“Untuk apa?”
Ia pun meraih tanganku dan membimbing memegang perutnya. “Aku hamil, Mbak. Empat bulan.”
“Lalu apa urasannya denganku, Sely?” Jelas aku kebingungan.
“Mas Firman ayah bayi dalam kandunganku ini.”
Petir di siang bolong itu pun menghempaskanku. Menghanguskan kesabaranku. Meluluh-lantakkan pertahananku selama ini. Bingkai pernikahanku pun hancur berkeping-keping tak berbentuk.
“Kami nikah siri. Tapi, sejak seminggu Mas Firman tidak bisa dihubungi. Makanya, Sely memberanikan diri ke sini menemui Mbak Kayla,” jelasnya. “Aku minta maaf, Mbak,” sambungnya. Air matanya pun berderai membanjiri pipinya yang berkulit sawo matang. Kuraih tubuhnya dan kupeluk ia. Wanita yang sudah merenggut dengan paksa kebahagiaan pernikahanku itu kini ada didekapanku.
Amarahku berkecamuk membuat darahku memanas. “Mas Firman, kau...” gumamku geram. Ia telah menyakiti dua wanita yang benar-benar mencintainya dalam keadaan sama-sama mengandung buah cintanya.
“Tinggallah bersamaku, Sely.” Kataku memecah keheningan. Kata-kata bodoh itu entah mengapa meluncur dari bibirku. Apakah karena perasaan yang senasib itu tlah membuyarkan kekesalanku terhadap wanita yang tlah merebut suamiku? Ah, entahlah. Aku kasihan terhadap wanita yang masih muda itu harus menanggung bebannya sendiri.
Kini, hari-hari kulewati bersama Sely. Perutku semakin membesar, begitu juga dengan perutnya yang kian membuncit. Ia tidak bekerja, ia habiskan hari-harinya hanya di rumah. Ia rajin menbantuku membereskan rumah. “Wanita yang malang,” aku membatin. Mungkin, semalang diriku.
Ia seperti adikku sendiri yang setia menemaniku sampai tiba waktunya aku melahirkan. Bayi laki-laki lucu tlah lahir ke dunia. Menghapus sedikit luka yang tertoreh di hatiku. Kebahagiaan kurasa begitu sempuran, meski tanpa Mas Firman di kehidupanku lagi yang menghilang bak ditelan bumi dan tak tahu di mana rimbanya. Walau sisa-sisa luka itu masih menganga dengan sempurna, kehadiran Rayyan, bayi mungilku tlah mengisi ruang kosong di hatiku.
*****