“Ya, aku kan masih kepala tiga, belum tua-tua banget juga, kan? Aku masih betah begini,” aku menimpali dengan malas.
“Kalau sudah kepala tiga itu rentan kalau hamil, Kay. Kamu tak ingin punya keturunan? Bayi mungil dari rahimmu.” Airin mencoba membujukku. “Dia laki-laki mapan, Kay. Dia tak pernah pacaran, karna tekadnya dia hanya ingin taaruf lalu menikah,” sambungnya.
Aku paling malas membahas tentang laki-laki, siapa pun itu. Mungkin karena aku belum bisa melupakan masa lalu. Kenangan itu sangat pahit dan membuatku merasa kapok untuk memulai hubungan lagi. Luka itu menghantuiku. Entah sampai kapan ini harus terjadi.
“Kay, Kay, Kay.” Airin mengguncang tubuhku yang terasa kaku.
“Kay, ayo dong move on. Mau sampai kapan kamu begini? Lupakan dia. Orang yang dengan bodoh telah menyia-nyiakan kamu. Kamu itu istimewa, Kay. Kamu juga harus menemukan seseorang yang istimewa, nah Haris orangnya,” Airin menasihatiku.
“Oh, jadi namanya Haris?”
“Iya, dia seorang PNS di salah satu dinas pariwisata. Ikutlah denganku, ya!” dengan semangat Airin membujukku.
“Baiklah. Tapi, aku tak menjamin tentang hubungan.”
“Nah gitu dong. Siapa tau dia jodohmu,” Airin tersenyum penuh kemenangan.
*****
Pertemuanku dengan Haris berjalan lancar. Dia memang baik dari kacamataku mengenai kesopanan, tapi seminggu mengenalnya aku tidak srek. Dia banyak menuntut. Aku harus berhenti bekerja, aku harus ikuti semua permintaan lainnya. Taaruf macam apa ini? Aku jenuh. Kejadian seperti inilah yang membuatku males mengenal laki-laki.