“Ya, dia tinggal di sekitar rumah. Katanya sering melihatku pulang-pergi mengajar. Nah, dari situlah dia tertarik padaku,”
“dan kamu main percaya saja dengannya?” Airin meragukan niat laki-laki itu.
“Iya.” Jawabku singkat.
“Rin, kamu sholat istiharoh dulu, deh. Minta petunjuk,” saran Airin.
“Sudah, Rin. Hatiku mengarah padanya. Aku juga kepikiran dia. Dua hari lagi dia mau menemui Om Prasetyo untuk meminangku.”
“Kay, apakah harus secepat itu? Kamu yakin nggak bakal nyesel?” Airin menyangsikan keputusanku. Aku hanya bisa mengangguk tanda aku yakin.
“Baiklah. Semoga ini keputusan yang tepat. Aku bahagia kalau kamu sudah menemukan tambatan hati. Artinya, sebentar lagi aku akan gendong ponakan,” guraunya diiringi gelak tawa.
*****
Hari pernikahanku berjalan khidmat. Akad nikah diucapkannya dengan penuh khusyuk dan hati yang teguh, tergambar jelas dari suaranya yang bergetar. Tak kuasa air mata menganak sungai di kedua pipiku. Acara yang begitu sakral itu mengubah statusku menjadi seorang istri. Hari-hari kulewati dengan penuh kebahagiaan. Mas Firman, aku memanggil laki-laki yang baru kukenal itu yang kini resmi menjadi suamiku. Dia sangat menyanjungku. Kesan pertama yang sangat membuatku terpana dalam lembaran kehidupanku yang baru. Dia selalu menanyakan apa yang kumau dan selalu mengabulkan apa yang kupinta. Dia sangat menghargaiku sebagai istri yang sekaligus sebagai wanita yang bekerja.
“Dik, aku ada kerjaan di Kotabaru. Ya, mungkin tiga hari baru pulang. Baik-baik di rumah, ya istriku,” ucapannya lembut.
Suaranya selalu lembut dan menyejukkan hatiku. Membuatku tenggelam dalam kebahagiaan yang sekian lama ini kurindukan. Syukurku pada Sang Maha Kasih yang telah memilihkan jodoh untukku. Hingga, aku benar-benar tenggelam dalam surga rumah tangga. Aku bak putri di rumah mungil yang dipersembahkan Mas Firman setelah seminggu aku resmi menjadi istrinya.