Mohon tunggu...
evi wiwid
evi wiwid Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobi liburan

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Analisis Perkawinan Beda Agama di Indonesia

27 Mei 2024   09:02 Diperbarui: 3 Juni 2024   07:19 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

REVIEW SKRIPSI

ANALISIS PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

TENTANG PERKAWINAN

Evi Wiwid Widiastuti / 222121132

Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia

Pendahuluan: 

Dalam pendahuluan skripsi ini, Alya Salsabila Andaraaini Putri menjelaskan latar belakang pentingnya studi mengenai perkawinan beda agama di Indonesia. Dia menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan beragam suku, agama, dan budaya, sehingga fenomena perkawinan beda agama menjadi hal yang tidak terhindarkan. Penulis juga menyoroti bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi landasan hukum utama yang mengatur perkawinan di Indonesia, termasuk perkawinan beda agama.

Selain itu, penulis juga menjelaskan bahwa studi ini bertujuan untuk menganalisis implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam kasus perkawinan beda agama di Indonesia. Penulis berharap bahwa hasil analisis ini dapat memberikan kontribusi dalam pemahaman lebih lanjut mengenai permasalahan hukum perkawinan beda agama di Indonesia.

Dalam pendahuluan ini, penulis juga memberikan gambaran mengenai struktur penulisan skripsi, yaitu terdiri dari lima bab yang mencakup pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penelitian, hasil penelitian, dan penutup. Penulis juga menyebutkan bahwa skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia.

.

Alasan Mengapa Memilih Skripsi

Penulis memilih untuk meneliti perkawinan beda agama di Indonesia karena fenomena ini mencerminkan realitas sosial yang penting dalam masyarakat yang multikultural. Dalam konteks ini, memahami bagaimana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diimplementasikan dalam kasus perkawinan beda agama memberikan wawasan yang dalam mengenai dinamika hukum dan sosial yang terjadi.

Analisis ini tidak hanya memberikan kontribusi dalam pemahaman terhadap hukum perkawinan beda agama, tetapi juga dapat menjadi dasar untuk pembahasan kebijakan atau perubahan perundang-undangan yang lebih baik di masa depan. Selain itu, sebagai bagian dari syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, penulisan skripsi ini merupakan kesempatan bagi penulis untuk mendalami topik yang menarik minatnya dan mengaplikasikan pengetahuan yang telah dipelajari selama perkuliahan. Dengan adanya keterbatasan penelitian sebelumnya dalam konteks spesifik Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat mengisi celah pengetahuan yang ada dan menjadi landasan untuk penelitian lebih lanjut di masa depan.

Pembahasan

Perkawinan adalah hubungan hukum seseorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dan melahirkan hak dan kewajiban bagi masing-masing suami isteri. Perkawinan adalah bersatunya dua orang dalam suatu ikatan sah menurut hukum Negara yang melahirkan hak dan kewajiban satu sama lain terhadap harta-harta dan hal-hal yang terkait dari hubungan hukum tersebut. Pasal 1 dan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang sekarang menjadi Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang perkawinan (UUP). Menyatakan defenisi perkawinan dalam pasal tersebut perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan menurut pengertian tersebut mengandung unsur yaitu:

Adanya hubungan lahir batin yang kukuh.

Seorang pria dan wanita sebagai suami isteri

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal Landasan perkawinan adalah keyakinan dan pengamalan ajaran agama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Perkawinan merupakan salah satu lembaga keluarga yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu setiap manusia yang normal dan telah dewasa pasti akan menginginkan perkawinan, perkawinan bagi manusia mempunyai tata cara aturan yang ditentukan oleh hukum baik dalam hukum islam (syariat) maupun hukum positif Indonesia yang diatur melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang berubah menjadi Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yang pelaksaannya dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 Ayat (1)) UUP .

Berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) No. 1 Tahun 1964 ada 5 agama yang diakui di Indonesia yaitu: Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. UUP secara relatif dapat menjawab kebutuhan terhadap peraturan perudang-undangan yang mengatur perkawinan untuk semua golongan masyarakat di Indonesia, contoh persoalan yang tidak diatur oleh Undang-Undang Perkawinan adalah perkawinan beda agama, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bebeda agama. 

Perkawinan beda agama tidak diatur secara jelas dalam UUP, namun perkawinan semacam ini terus terjadi ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Banyak sekali selebritis yang melakukan perkawinan dengan pasangan yang tidak seagama, sebagai contoh seperti pasangan suami isteri Jamal Mirdad seorang muslim dan Lydia Kandou yang beragama Kristen sehingga di antara mereka sebagian besar melakukan perkawinan di luar negeri atau cara lain yaitu melakukan perkawinan menurut agama kedua belah pihak. 

Perkawinan bukan sekedar merupakan masalah pribadi dari mereka yang akan melangsungkan perkawinan, tetapi juga merupakan masalah yang berkaitan dengan keagamaan karena setiap agama mempunyai aturan tersendiri tentang perkawinan maka pada prinsipnya perkawinan diatur dan tunduk pada ketentuan-ketentuan dari ajaran agama yang dianut dan perkawinan juga dapat dianggap sebagai suatu perbuatan hukum. Perkawinan beda agama dari dulu sampai sekarang masih menimbulkan persoalan baik dibidang sosial, agama maupun bidang hukum.

Meskipun perkembangannya ini terdapat peraturan yang melarangnya secara jelas dan tegas sebagaimana yang dijelaskan di dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tahun 1980 dan Tahun 2005 serta Kompilasi Hukum Islam melalui Intruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 yang telah berlaku di Indonesia sejak tahun 1991 hingga sekarang ini khususnya bagi masyarakat islam.

Hasil dari penelusuran pustaka yang penulis lakukan terdapat bentuk-bentuk perkawinan beda agama yang terjadi dalam prakteknya di Indonesia, sebagaimana yang telah di kemukakan oleh Wahyono Darmabrata tentang perkawinan beda agama dimana beliau berpendapat ada 3 cara yang lazim ditempuh bagi pasangan beda agama yang akan menikah.

Meminta penetapan pengadilan terlebih dahulu atas dasar penetapan itu pasangan melakukan perkawinan di Kantor Catatan Sipil.

Perkawinan dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama

Yang sering dipakai adalah dengan melangsungkan perkawinan di luar Negeri

 Beberapa pasangan suami isteri yang memilih tetap berpegangan pada agama masing-masing maka ditemukan beberapa cara dalam melangsungkan perkawinan beda agama. Tata cara yang mereka lakukan beserta alasannya, bahwa dalam praktiknya perkawinan beda agama dilakukan berdasarkan otoritas agama, catatan sipil dan yang dilaksanakan di luar negeri. Hal itu dapat di uraikan sebagai berikut:

Berdasarkan Otoritas Agama

Berdasarkan Catatan Sipil

Bersadarkan Pencatatan Perkawinan Di Luar Negeri

Pendapat diatas dapat menjadi acuan atau pedoman bagi kita untuk memahami atau mngetahui tentang bentuk-bentuk perkawinan beda

agama yang terjadi di Indonesia. Sehubungan dengan penelitian ini, maka sebagai contoh penulis mengungkapkan kasus perkawinan beda agama yang terjadi. Penulis memperoleh melalui penelusuran dalam kepustakaan maupun melalui media elektronik

Praktik perkawinan beda agama tidak diatur pada undang-undang UUP, tetapi bukan berarti praktik perkawinan beda agama tidak terjadi sama sekali, karena faktanya tidak sedikit orang warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan beda agama dan ini didasari karena alasan dan latar belakang masing-masing pasangan.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) jelas melarang praktek perkawinan beda Agama. Hal ini ada pada Pasal 40 KHI didalam ayat (c) yang bunyinya: dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain, Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain, Seorang wanita yang tidak beragama islam. Disamping itu ketentuan yang sama terdapat pada Pasal 44 KHI yang mengatur sebaliknya bahwa seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Kompilasi Hukum Islam jelas melarang tentang praktek perkawinan beda agama, dijelaskan lebih lanjut bahwa KHI tidak membedakan kategori terhadap ahli kitab atau bukan, sepanjang itu bukan muslim atau muslimah maka itu dilarang untuk dinikahi.

Larangan perkawinan beda agama didalam Kompilasi Hukum Islam ini dilakukan tentu bukan tanpa adanya kajian yang komprehensif, larangan perkawinan ini merupakan bagian dari sebuah pembaharuan hukum islam dalam konteks Fiqih Indonesia. Negara Indonesia sebagai negara hukum terhadap praktek perkawinan beda agama tentu dapat dilihat dengan adanya suatu upaya hukum. Artinya apabila ada pasangan mempelai yang ingin melakukan perkawinan beda agama dapat melakukan upaya hukum permohonan gugatan di Pengadilan Negeri.

Upaya hukum dilakukan supaya pemerintah dapat mencatatkan secara hukum praktek perkawinan beda agama secara formal. Hal itu kembali pada putusan Pengadilan yang menetapkan untuk dikabulkannya atau tidak permohonan perkawinan beda agama. Melihat upaya hukum yang dilakukan untuk melangsungkan perkawinan beda agama menurut Wahyono Darmabrata ialah kecenderungan akan terjadinya penyelundupan hukum seperti:

Meminta penetapan pengadilan

Perkawinan dilakukan menurut masing-masing hukum agamanya

Menundukkan sementara pada salah satu hukum agama salah satu mempelai

Menikah di luar Negeri.

Akibat Hukum Yang Timbul Dari Perkawinan Beda Agama di Indonesia

Perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita yang bukan beragama Islam dilarang (dianggap tidak sah) menurut hukum Islam, karena dengan adanya larangan untuk melangsungkan pernikahan beda agama ini merupakan masalah penting bagi umat Islam. Perkawinan beda agama dalam KHI diatur secara khusus dalam Pasal 40 huruf (c) yang menyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu diantaranya, karena seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Dalam Pasal 44 disebutkan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Berdasarkan dua Pasal itu, dapat dikatakan bahwa menurut KHI, seorang wanita non muslim apapun agama yang dianutnya tidak boleh di nikahi oleh seorang pria yang beragama Islam dan seorang wanita muslim tidak boleh di nikahi oleh seorang pria non muslim, baik dari kategori ahli kitab atau pun bukan ahli kitab.

Perkawinan wanita muslim dengan pria non muslim adalah haram karena akan terjerumus nya si wanita itu kepada agama yang dianut oleh suaminya jika dia menikah. Begitu juga dengan perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim atau musyrik secara tegas AlQuran melarang hal itu walaupun ulama berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim menuai perbedaan pendapat dikalangan fuqaha, wanita muslim dengan pria non muslim yang menurut perspektif fiqih, fatwa MUI dan Majlis Tarjih serta KHI jelas di haramkan. Tetapi dalam ayat menyebutkan keimanan seseorang yang menjadi acuan dalam perkawinan beda agama. Maka dengan kejadian yang terjadi diperlukan pengkajian hukum perkawinan beda agama pada kenyataan yang terjadi di masyarakat kita dan perlu adanya payung hukum dalam bentuk undangundang yang secara tegas dan lugas ketentuannya.

  Ketika terjadi perkawinan beda agama yakni orang yang beragama islam menikah dengan yang non islam, perkawinan tersebut melanggar aturan hukum islam yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 221, sehingga perkawinan tersebut tidak sah dan harus di batalkan demi kebaikan pasangan yang melakukan perkawinan beda agama tersebut. Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama, penetapan fatwa yang disahkan oleh Komisi C Bidang Fatwa tersebut menghasilkan dua poin utama dan poin pertama berisi pernyataan, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Kemudian poin kedua berisi, perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu'tamad adalah haram dan tidak sah.

Fatwa yang di keluarkan MUI berlandaskan pada nash agama, baik itu Al-Quran, hadist, hingga qaidah fiqh. Seluruh kesepakatan merujuk serta mempertimbangkan akibat yang akan di timbulkan dari perkawinan beda agama. Sekh Ali Jumah salah satu ulama kontemporer yang secara tegas menyatakan keharaman nikah beda agama tidak boleh bagi wanita Muslimah untuk menikah dengan lelaki non muslim secara mutlak. Jika hal itu terjadi maka pernikahan nya batal dan relasi antara dua pasangan yang nekat melakukannya termasuk relasi zina yang di haramkan syariat. (Fatwa Darul Ifta-il Mishriyyah, 12 Februari 2012).

Perkawinan beda agama juga akan menimbulkan akibat terhadap status anak dari hasil perkawinan beda agama di karenakan untuk kedepannya nanti akan menimbulkan ketidakpastian agama mana yang akan di ikuti oleh anak tersebut. Anak hasil pernikahan beda agama yang di hukumi tidak sah dan zina, karena sejatinya anak yang lahir dalam keadaan fitrah, suci dan dalam keadaan Islam sama sekali tidak ada istilah buruk bagi anak yang lahir dari orangtua yang berbeda agama, sebagaimana disebutkan dalam hadist HR Bukhari: "Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani." (HR Bukhari).

Dalam beberapa ayat dan hadits yang telah disebutkan, Allah dan RasulNya telah menyebutkan tentang akibat dari melanggar perintah (nikah beda agama), seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 221, Allah menyebutkan akibat yang terjadi terhadap seorang muslim atau muslimah ketika menikah dengan pasangan musyrik yaitu, pasangan tersebut akan menariknya kedalam neraka. 31 Demikian halnya yang disebutkan oleh Rasul dalam haditsnya: "Wanita di nikahi karena empat hal karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya karena agamanya niscaya engkau akan beruntung". (HR. Al Bukhari dan Muslim) Dalam hadits ini Rasul menjelaskan bahwa bagi siapa yang memilih pasangan karena mengutamakan agamanya maka akan beruntung. Beruntung disini bersifat umum, bisa di dunia dan bisa juga di akhirat.

Akibat lain terhadap suami istri yang biasa di temukan terhadap nikah beda agama adalah:

Perasaan dan suasana yang tidak nyaman hidup bersama dengan orang yang menurut agama atau pasangan permasalahan tidak nyaman itu diakui atau tidak, lantaran pasangan yang akhirnya menikah itu tetap mempertahankan agama sebagai kepercayaan masing-masing. 

Pasangan nikah beda agama berpotensi memunculkan perasaan khawatir jika anak suatu saat akan mengikuti atau tertarik dengan agama yang dianut pasangan.

Rasa tidak nyaman secara sosial karena selalu menjadi sasaran pandang masyarakat.

Jumhur ulama (mayoritas ulama) sepakat tentang keharaman nikah beda agama ataupun menikah dengan ahli kitab sekalipun, terlebih ahlu kitab pada zaman sekarang tidak seperti ahlu kitab pada zaman Nabi Saw atau bahkan telah hilang. Tidak hanya dalam pandangan agama Islam, larangan menikah dengan pasangan beda agama juga berlaku pada agama-agama atau kepercayaan lain, seperti Kristen Protestan dan Katolik, Hindu dan Budha. Akibat yang di timbulkan oleh pernikahan beda agama sangatlah mengerikan dan berbahasa bagi keluarga dan keturunan, maka hendaknya orang tua benar-benar memikirkan matang- matang sebelum melakukan pernikahan atau mencari pasangan hidup.

Menurut Pasal 1 UUP, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuahanan Yang Maha Esa. Kata "ikatan lahir batin" dalam pengertian tersebut di maksudkan bahwa perkawinan itu tidak hanya dengan adanya ikatan lahir saja atau hanya dengan ikatan batin saja, namun harus keduanya ada dalam perkawinan. Ikatan lahir dapat dimaknai bahwa perkawinan adalah ikatan yang dapat dilihat, artinya adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Perkawinan sebagai salah satu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum dan mempunyai akibat hukum. Adanya akibat hukum penting sekali hubungannya dengan sah tidaknya perbuatan hukum itu.

Perkawinan beda agama berdasarkan pada UUP Pasal 2 ayat (1) dan (2). Jika dilihat pada Pasal 2 ayat 1 UUP, sahnya suatu perkawinan adalah menurut hukum agamanya atau keyakinannya masing-masing. Pada ayat 2 berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undang yang berlaku. Dengan itu, maka dapat diketahui bahwa dalam melakukan perkawinan di wajibkan seagama agar pelaksaannya sesuai dengan aturan hukum dan tidak terjadi hambatan maupun penyelewengan agama, karena dalam pelaksanaannya sesuai dengan hukum yang berlaku. Perkawinan beda agama tidak boleh di laksanakan dan tidak sah menurut hukum kecuali salah satu pihak mengikuti agama pasangannya. Jika kedua pasangan sudah segama barulah perkawinan dapat di langsungkan dan dianggap sah, jika dicatatkan dalam pencatatan perkawinan sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUP.

Dalam Pasal ini terdapat penegasan bahwa perkawinan baru dapat di katakan sebagai perbuatan hukum yang sah apabila dilakukan menurut ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing, sebagaimana dalam penjelasan Pasal 2 UUP bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayan itu.

Perkawinan Beda Agama menurut pemahaman para ahli dan praktisi hukum dalam UUP secara garis besar dapat dijumpai tiga pandangan. Pertama, perkawinan beda agama tidak di benarkan dan merupakan pelanggaran pada UUP Pasal 2 ayat (1): Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan Pasal 8 huruf (f): bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Kedua, UUP tidak mengatur masalah perkawinan beda gama. Kedua pendapat itu, ada kelompok yang berpendapat bahwa UUP perlu disempurnakan, karena mengingat adanya kekosongan hukum tentang perkawinan beda agama. Argumentasi yang dibangun kelompok itu didasarkan pada empat hal, yaitu:

UUP tidak mengatur perkawinan beda agama;

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural, sehingga perkawinan beda agama tidak dapat dihindarkan;

Persoalan agama adalah bagian dari hak asasi seseorang;

Kekosongan hukum dalam bidang perkawinan tidak dapat dibiarkan begitu saja, karena dari ketentuan pasal diatas dapat dikatakan bahwa UUP tidak mengenal perkawinan berbeda agama karena hukum masing-masing agama melarang adanya perkawinan dengan perbedaan agama.

  Perkawinan sah secara hukum apabila memenuhi syarat-syarat materil dan syarat-syarat formil. Di Indonesia syarat sahnya perkawinan di atur dalam UU Perkawinan yang berdasarkan Pasal 2 maka perkawinan sah secara hukum jika dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan dari masing-masing pihak yang akan menikah dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syarat materil dari perkawinan yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah adalah syarat sah menurut agama masing-masing pihak dan jika kemudian perkawinan akan dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama, maka kembali merujuk pada hukum agama masing-masing pihak. Syarat formil perkawinan terkait dengan masalah pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam UU Perkawinan dan juga peraturan pelaksanaannya. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUP, bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, sehingga lembaga agama diberikan wewenang untuk mengesahkan perkawinan. Sedangkan perkawinan beda agama dipandang dari hukum agama islam dan hukum non islam pada dasarnya tidak diperkenankan untuk dilaksanakan, sehingga apabila ada perkawinan beda agama yang dilaksanakan maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah. Karena, perkawinan beda agama yang dilaksanakan itu tidak memenuhi Pasal 2 ayat (1) UUP dan berakibat tidak dapat dicatatkan pada instansi yang berwenang baik Kantor Urusan Agama (KUA) untuk yang beragama islam ataupun Kantor Catatan Sipil (KCS) untuk non islam, maka perkawinan tersebut belum diakui sah oleh Negara. Tata cara pelaksaan dan Pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana di tentukan dalam pasal 2 s/d 9 PP No. 9 Tahun 1975.

Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemeberitahuan serta tidak terdapat suatu halangan untuk melangsungkan perkawinan, maka Pegawai Pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman tentang pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan. Namun adakalanya terjadi penolakan pelaksanaan dan pencatatan perkawinan baik di KCS ataupun di KUA karena masing-masing instansi yang menyelenggarakan perkawinan itu dianggap tidak sesuai dengan UUP yang berlaku di Indonesia. Terdapat beberapa perkawinan yang ditolak, salah satunya perkawinan beda agama yang ditolak untuk dilaksanakan dan dicatatkan oleh KCS ataupun KUA, alasan penolakan pelaksanaan dan pencatatan itu dikarenakan calon pasangan berbeda agamanya sehingga KCS ataupun KUA menilai bahwa perkawinan beda agama tidak memenuhi ketentuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UUP.

Tidak adanya pengaturan perkawinan antar agama secara tegas dan eksplisit dalam UUP termasuk pencatatannya mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum, sehingga jika benar-benar terjadi kasus seperti itu, maka status hukum perkawinan tersebut menjadi tidak jelas dan dapat memaksa orang untuk berpindah agama atau mengikuti agama salah satu pihak untuk menghindari permasalahan yuridis.

Pada Pasal 20 UUP, secara implisit memperbolehkan Pegawai Pencatat Perkawinan melangsungkan dan mencatat perkawinan antar agama atau berdasarkan Pasal 21, maka prosesnya harus melalui prosedur dengan mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri untuk mendapatkan kepastian hukum. Setelah disahkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Aminduk), dalam pasal 35 huruf a UU Aminduk yang menentukan bahwa pencatatan perkawinan sebagaimana yang dimaksud pasal 34 berlaku bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan.

Dalam penjelasan pasal 35 huruf a disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antara orang yang beda agama, sedangkan Pasal 34 ayat (1) menentukan bahwa: "Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan perundang-undang wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 hari (enam puluh hari) sejak tanggal perkawinan". Dan juga pada Pasal 34 Ayat (2) "Berdasarkan laporan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan."

Perkawinan beda agama jika sudah mendapat Penetapan Pengadilan dan dicatatkan di KCS, maka perkawinan itu sudah mempunyai status hukum yang sama seperti perkawinan pada umumnya menurut hukum negara, walaupun menurut hukum agama tidak demikian. Pencatatan perkawinan menjadi penting fungsinya dalam perspektif hukum positif di Indonesia yang pada akhirnya bertujuan untuk membedakan antara keturunan sah dan keturunan tidak sah.39

Adanya pencatatan perkawinan beda agama ini maka akan menimbulkan akibat hukum.

Akibat hukum terhadap status perkawinan

Dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan cenderung menyerahkan sepenuhnya kepada hukum agama masing-masing untuk menentukan boleh tidaknya perkawinan berbeda agama. Semua agama di Indonesia melarang perkawinan berbeda agama, bagi umat Islam setelah dikeluarkannya Inpres No. 1 tahun1991 tentang KHI, pada pasal 44 menyatakan bahwa perkawinan campuran berbeda agama, baik itu laki-laki muslim dengan perempuan non muslim, telah dilarang secara penuh.

Begitu pula dengan agama kristen yang melarang perkawinan berbeda agama antara umat kristen dengan non kristen, sama halnya dengan agama-agama lain yang melarang umatnya melakukan perkawinan dengan pasangan yang berbeda agama. Oleh karena semua agama melarang perkawinan berbeda agama, maka perkawinan berbeda agama juga dilarang oleh undang-undang No. 1 tahun 1974 dan hal tersebut mengakibatkan perkawinan tersebut tidak sah.

Akibat hukum terhadap status dan kedudukan anak

Bahwa anak sah dalam pasal 42 undang-undang No. 1 tahun 1974 yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Demikian juga dengan ketentuan pasal 99 KHI, yang menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa untuk menentukan sah atau tidaknya anak tergantung pada sah atau tidaknya suatu perkawinan. Maka menurut pemahaman penulis bahwa anak dari hasil perkawinan berbeda agama adalah anak tidak sah atau anak luar kawin. Karena perkawinan kedua orang tuanya pun tidak sah menurut hukum agama atau hukum perkawinan.

Oleh karena itu anak yang dilahirkan dari perkawinan berbeda agama adalah anak tidak sah atau anak luar kawin, maka akibatnya adalah anak tersebut tidak memiliki hubungan perdata dengan bapaknya, si anak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Hal tersebut diatur dalam pasal 43 ayat 1 undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan pasal 100 KHI, yang menyebutkan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Pertimbangan yang melatarbelakangi hakim dalam mengabulkan permohonan penetapan beda agama yaitu permohonan itu dikabulkan untuk mengisi kekosongan aturan Undang-Undang Perkawinan. Pertimbangan selanjutnya adalah pasal 21 ayat (3) UUP No. 16 Tahun 2019 Jo Pasal 35 huruf a UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yaitu: Pasal 21 ayat (3) UUP No. 16 Tahun 2019 "Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatatan perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusam dengan menyerahklan surat keterakan penolakan tersebut diatas".

 Dapat disimpulkan bahwa kewenangan untuk memeriksa dan memutus persoalan perkawinan beda agama terletak pada Pengadilan Negeri. Dalam sistem peradilan Indonesia berlaku asas "Ius Curia Novit" yang mengharuskan hakim menerima segala perkara yang masuk ke pengadilan meskipun tidak ada atau belum jelas pengaturan hukumnya, termasuk permasalahan perkawinan beda agama seharusnya hakim tidak tergesa-gesa membuat penetapan yang mengabulkan perkawinan beda agama dengan hanya berpedoman pada Pasal 35 huruf a UU Adminduk, melainkan harus memprtimbangkan juga perspektif UUP dan KHI. Hakim juga seharusnya menegaskankan kembali berdasarkan Pasal 2 UUP terhadap perkawinan beda agama karena perbuatan tersebut merupakan legalisasi dan perbuatan zina.

Oleh karena itu, terhadap penetapan hakim yang mengabulkan perkawinan beda agama seharusnya dibatalkan, karena perkawinan tersebut sejatinya bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Bahkan UUD Tahun 1945. Perkawinan beda agama jelas bertentangan dengan konstitusi yag berlaku di Indonesia, yaitu yang diatur dalam pasal 28B ayat (1) UUD 1945: "Setiap Orang Berhak Membentuk Keluarga Dan Melanjutkan Keturunan Melalui Perkawinan Yang Sah."

Perkawinan yang "sah", sudah jelas diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Perkawinan bahwa perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut hukum agama kedua pasangan. Sementara Agama Islam mengatur tidak sahnya perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama juga tidak seharusnya dimaknai sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia, Karena sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 :"Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang- undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis."

Larangan beda agama bukanlah pelanggaran dalam penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia. Karena sudah jelas bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia tidaklah liberal, tetapi mengakui adanya pembatasan praktek HAM dalam rangka menghormati HAM orang lain termasuk dalam hak untuk menikah yang salah satunya mempertimbangkan nilai-nilai agama. HAM yang hakikatnya merupakan hak kodrat yang diberikan Tuhan kepada manusia, maka tidak rasional apabila hak kodrat tersebut menyimpang dari aturan dan ketentuan Tuhan.

Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menjadikan nilai-nilai agama sebagai salah satu landasan dalam kehidupan bernegara. Meninjau dari kompleksnya problematika perkawinan beda agama, mengenai tidak diaturnya perkawinan beda agama secara kongkrit dalam UndangUndang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yang menimbulkan multi tafsir terhadap beberapa pasal didalamnya, maka perlu dilakukan perubahan terhadap Undang- Undang Perkawinan.

Terjadinya kekosongan hukum dalam pengaturan perkawinan beda agama tidak dapat dibiarkan terus menerus karena perkawinan beda agama jika dibiarkan dan tidak diberikan solusi secara hukum akan menimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama. Dampak negatif tersebut berupa dapat terjadinya penyelundupanpenyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum positif.

Oleh karenanya, larangan kawin beda agama telah memenuhi nilai keadilan karena :

Pertama, telah sejalan dengan nilai moral yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia, dalam hal ini telah memenuhi rasa keadilan mayoritas;

Kedua, berorientasi pada hubungan dengan Tuhan, namun juga memberi peluang bagi akidah anak-anak yang lahir dari hasil perkawinan beda agama. Keadilan yang memenuhi hukum Ilahi positif (ius divinium positivum) dan yang dijangkau akal manusia/hukum positif manusia (ius positivum humanum). Perkawinan beda agama juga tidak seharusnya dilegalkan karena menimbulkan banyak akibat negatif di kemudian hari.

 Salah satu akibatnya adalah status anak yang dilahirkan melalui proses perkawinan yang tidak sah (karena larangan pernikahan beda agama) adalah adanya pengakuan bahwa anak tersebut adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Maka konsekuensinya, anak tersebut tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, tidak berhak atas nafkah dan pemeliharaan dari ayah, kemudian ayah juga tidak dapat menjadi wali nikah bagi anak perempuannya, dan tidak mempunyai hak untuk mendapatkan harta waris apabila tidak seagama dengan pewaris (dalam hal ini pewaris beragama Islam).

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan mengenai akibat hukum penetapan perkawinan beda agama oleh pengadilan dalam persfektif Fiqih Islam dan Undang-Undang Perkawinan bahwa hukum islam jelas menganut asas perkawinan poligami terbatas tidak mengenal lembaga pembatalan perkawinan. Jika diantara suami istri atau keluarga ternyata tidak dapat rukun dalam hidup berumah tangga maka bukan diajukan permohonan pembatalan perkawinan tetapi langsung menjatuhkan talak.

Jika istri benci kepada suami maka istri akan menuntut perceraian dan sebaliknya suami benci kepada istri maka suami akan menjatuhkan talak, bukan menempuh jalan pembatalan perkawinan karena lembaga tersebut memang tidak ada dalam hukum islam.

Dalam hal ini penulis mengutip isi Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), pada pasal 40 disebutkan: "Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, salah satunya seorang wanita yang tidak beragama Islam". Dalam hal ini pernikahan dapat dibatalkan jika tidak ada kesepakatan diantara kedua belah pihak. Karena rumitnya birokrasi di Indonesia, untuk melegalkan pernikahan pasangan beda agama biasanya tunduk sementara pada salah satu hukum agama, yaitu salah satu pihak harus pindah agama. Berdasarkan hasil penelitian penulis mengenai akibat hukum penetapan perkawinan beda agama oleh pengadilan dalam persfektif Fiqih Islam dan Undang-Undang Perkawinan bahwa dalam Undang- Undang Perkawinan ada beberapa alasan-alasan yang dapat diajukan untuk pembatalan perkawinan yang dimuat dalam Pasal 26 dan Pasal 27 yaitu:

Perkawinan yang dilangsungkan dihadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang.

Wali nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah.

Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 orang saksi.

Perkawinan dilakukan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

Menurut pembahasan,maka penulis menyatakanbahwa Pembahasan mengenai Keabsahan Perkawinan Antar Orang Berbeda Agama Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Implikasi Hukumnya terhadap Penetapan Pengadilan tentang Perkawinan Beda Agama, Perkawinan beda agama jelas tidak sah atau tidak boleh dilakukan menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karena sudah dijelaskan bahwa sahnya perkawinan harus dilaksakan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

Berarti perkawinan hanya dapat dilangsungkan apabila para pihak (calon suami dan istri) menganut agama yang sama. Begitu juga pendapat dari berbagai agama bahwa tidak dibolehkan perkawinan beda agama. Sehingga melangsungkan perkawinan beda agama sama saja melanggar peraturan undang-undang nasional dan hukum Islam. Implikasi hukum terhadap penetapan pengadilan tentang perkawinan beda agama ini secara legal dinyatakan sah karena adanya Pasal 35 a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang memperbolehkan adanya perkawinan berdasarkan dari penetapan pengadilan yang menjelaskan bahwa perkawinan berdasarkan penetapan pengadilan itu adalah perkawinan beda agama.

Ketentuan tersebut merupakan ketentuan yangmmbrikn kmungkinn dittknny prkwinn yng trjdi ntr du rng yng brbd gm stlh dny pntpn pngdiln tntng hl trsbut. Tetapi, menurut Undang-Undang yang berlaku perkawinan beda agama tetap tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan. Pandangan agama, Kompilasi Hukum Islam, dan MUI bahwa perkawinan beda agama akan berimplikasi terhadap hubungan anak terhadap orang tuanya, yakni anak hanya memiliki hubungan dengan ibu sedangkan segala hak anak yang dimiliki oleh sang bapak akan hilang dan tidak diakui oleh hukum

Rencana Skripsi dan Argumen

Rencana Skripsi:

Skripsi ini bertujuan untuk mengeksplorasi isu pernikahan beda agama dari perspektif kebijakan dan dampak sosialnya. Penelitian akan memfokuskan pada analisis kebijakan yang mengatur pernikahan beda agama, serta dampaknya terhadap pasangan yang terlibat dan masyarakat. Studi kasus akan digunakan untuk memahami bagaimana kebijakan ini diterapkan dalam praktik, termasuk kendala dan solusi yang muncul.

Argumen:

Kebijakan pernikahan beda agama mempengaruhi tidak hanya pasangan yang bersangkutan tetapi juga masyarakat secara luas. Pengkajian mendalam terhadap kebijakan ini perlu dilakukan untuk memahami dampaknya secara menyeluruh. Pertanyaan yang muncul antara lain bagaimana kebijakan ini memengaruhi kebebasan beragama dan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Selain itu, juga penting untuk mengevaluasi apakah kebijakan ini membantu mempertahankan harmoni sosial atau justru memicu konflik antaragama. Dari sudut pandang sosial, penelitian ini akan menilai bagaimana persepsi masyarakat terhadap pernikahan beda agama memengaruhi norma-norma sosial seputar perkawinan dan toleransi antaragama. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih baik tentang kompleksitas isu ini serta rekomendasi kebijakan yang lebih efektif dan inklusif dalam mengatasi tantangan pernikahan beda agama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun