Dapat disimpulkan bahwa kewenangan untuk memeriksa dan memutus persoalan perkawinan beda agama terletak pada Pengadilan Negeri. Dalam sistem peradilan Indonesia berlaku asas "Ius Curia Novit" yang mengharuskan hakim menerima segala perkara yang masuk ke pengadilan meskipun tidak ada atau belum jelas pengaturan hukumnya, termasuk permasalahan perkawinan beda agama seharusnya hakim tidak tergesa-gesa membuat penetapan yang mengabulkan perkawinan beda agama dengan hanya berpedoman pada Pasal 35 huruf a UU Adminduk, melainkan harus memprtimbangkan juga perspektif UUP dan KHI. Hakim juga seharusnya menegaskankan kembali berdasarkan Pasal 2 UUP terhadap perkawinan beda agama karena perbuatan tersebut merupakan legalisasi dan perbuatan zina.
Oleh karena itu, terhadap penetapan hakim yang mengabulkan perkawinan beda agama seharusnya dibatalkan, karena perkawinan tersebut sejatinya bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Bahkan UUD Tahun 1945. Perkawinan beda agama jelas bertentangan dengan konstitusi yag berlaku di Indonesia, yaitu yang diatur dalam pasal 28B ayat (1) UUD 1945: "Setiap Orang Berhak Membentuk Keluarga Dan Melanjutkan Keturunan Melalui Perkawinan Yang Sah."
Perkawinan yang "sah", sudah jelas diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Perkawinan bahwa perkawinan sah apabila dilaksanakan menurut hukum agama kedua pasangan. Sementara Agama Islam mengatur tidak sahnya perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama juga tidak seharusnya dimaknai sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia, Karena sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 :"Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang- undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis."
Larangan beda agama bukanlah pelanggaran dalam penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia. Karena sudah jelas bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia tidaklah liberal, tetapi mengakui adanya pembatasan praktek HAM dalam rangka menghormati HAM orang lain termasuk dalam hak untuk menikah yang salah satunya mempertimbangkan nilai-nilai agama. HAM yang hakikatnya merupakan hak kodrat yang diberikan Tuhan kepada manusia, maka tidak rasional apabila hak kodrat tersebut menyimpang dari aturan dan ketentuan Tuhan.
Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menjadikan nilai-nilai agama sebagai salah satu landasan dalam kehidupan bernegara. Meninjau dari kompleksnya problematika perkawinan beda agama, mengenai tidak diaturnya perkawinan beda agama secara kongkrit dalam UndangUndang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yang menimbulkan multi tafsir terhadap beberapa pasal didalamnya, maka perlu dilakukan perubahan terhadap Undang- Undang Perkawinan.
Terjadinya kekosongan hukum dalam pengaturan perkawinan beda agama tidak dapat dibiarkan terus menerus karena perkawinan beda agama jika dibiarkan dan tidak diberikan solusi secara hukum akan menimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama. Dampak negatif tersebut berupa dapat terjadinya penyelundupanpenyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum positif.
Oleh karenanya, larangan kawin beda agama telah memenuhi nilai keadilan karena :
Pertama, telah sejalan dengan nilai moral yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia, dalam hal ini telah memenuhi rasa keadilan mayoritas;
Kedua, berorientasi pada hubungan dengan Tuhan, namun juga memberi peluang bagi akidah anak-anak yang lahir dari hasil perkawinan beda agama. Keadilan yang memenuhi hukum Ilahi positif (ius divinium positivum) dan yang dijangkau akal manusia/hukum positif manusia (ius positivum humanum). Perkawinan beda agama juga tidak seharusnya dilegalkan karena menimbulkan banyak akibat negatif di kemudian hari.
 Salah satu akibatnya adalah status anak yang dilahirkan melalui proses perkawinan yang tidak sah (karena larangan pernikahan beda agama) adalah adanya pengakuan bahwa anak tersebut adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Maka konsekuensinya, anak tersebut tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, tidak berhak atas nafkah dan pemeliharaan dari ayah, kemudian ayah juga tidak dapat menjadi wali nikah bagi anak perempuannya, dan tidak mempunyai hak untuk mendapatkan harta waris apabila tidak seagama dengan pewaris (dalam hal ini pewaris beragama Islam).
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan mengenai akibat hukum penetapan perkawinan beda agama oleh pengadilan dalam persfektif Fiqih Islam dan Undang-Undang Perkawinan bahwa hukum islam jelas menganut asas perkawinan poligami terbatas tidak mengenal lembaga pembatalan perkawinan. Jika diantara suami istri atau keluarga ternyata tidak dapat rukun dalam hidup berumah tangga maka bukan diajukan permohonan pembatalan perkawinan tetapi langsung menjatuhkan talak.