Pada Pasal 20 UUP, secara implisit memperbolehkan Pegawai Pencatat Perkawinan melangsungkan dan mencatat perkawinan antar agama atau berdasarkan Pasal 21, maka prosesnya harus melalui prosedur dengan mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri untuk mendapatkan kepastian hukum. Setelah disahkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Aminduk), dalam pasal 35 huruf a UU Aminduk yang menentukan bahwa pencatatan perkawinan sebagaimana yang dimaksud pasal 34 berlaku bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan.
Dalam penjelasan pasal 35 huruf a disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antara orang yang beda agama, sedangkan Pasal 34 ayat (1) menentukan bahwa: "Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan perundang-undang wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 hari (enam puluh hari) sejak tanggal perkawinan". Dan juga pada Pasal 34 Ayat (2) "Berdasarkan laporan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan."
Perkawinan beda agama jika sudah mendapat Penetapan Pengadilan dan dicatatkan di KCS, maka perkawinan itu sudah mempunyai status hukum yang sama seperti perkawinan pada umumnya menurut hukum negara, walaupun menurut hukum agama tidak demikian. Pencatatan perkawinan menjadi penting fungsinya dalam perspektif hukum positif di Indonesia yang pada akhirnya bertujuan untuk membedakan antara keturunan sah dan keturunan tidak sah.39
Adanya pencatatan perkawinan beda agama ini maka akan menimbulkan akibat hukum.
Akibat hukum terhadap status perkawinan
Dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan cenderung menyerahkan sepenuhnya kepada hukum agama masing-masing untuk menentukan boleh tidaknya perkawinan berbeda agama. Semua agama di Indonesia melarang perkawinan berbeda agama, bagi umat Islam setelah dikeluarkannya Inpres No. 1 tahun1991 tentang KHI, pada pasal 44 menyatakan bahwa perkawinan campuran berbeda agama, baik itu laki-laki muslim dengan perempuan non muslim, telah dilarang secara penuh.
Begitu pula dengan agama kristen yang melarang perkawinan berbeda agama antara umat kristen dengan non kristen, sama halnya dengan agama-agama lain yang melarang umatnya melakukan perkawinan dengan pasangan yang berbeda agama. Oleh karena semua agama melarang perkawinan berbeda agama, maka perkawinan berbeda agama juga dilarang oleh undang-undang No. 1 tahun 1974 dan hal tersebut mengakibatkan perkawinan tersebut tidak sah.
Akibat hukum terhadap status dan kedudukan anak
Bahwa anak sah dalam pasal 42 undang-undang No. 1 tahun 1974 yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Demikian juga dengan ketentuan pasal 99 KHI, yang menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa untuk menentukan sah atau tidaknya anak tergantung pada sah atau tidaknya suatu perkawinan. Maka menurut pemahaman penulis bahwa anak dari hasil perkawinan berbeda agama adalah anak tidak sah atau anak luar kawin. Karena perkawinan kedua orang tuanya pun tidak sah menurut hukum agama atau hukum perkawinan.
Oleh karena itu anak yang dilahirkan dari perkawinan berbeda agama adalah anak tidak sah atau anak luar kawin, maka akibatnya adalah anak tersebut tidak memiliki hubungan perdata dengan bapaknya, si anak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Hal tersebut diatur dalam pasal 43 ayat 1 undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan pasal 100 KHI, yang menyebutkan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pertimbangan yang melatarbelakangi hakim dalam mengabulkan permohonan penetapan beda agama yaitu permohonan itu dikabulkan untuk mengisi kekosongan aturan Undang-Undang Perkawinan. Pertimbangan selanjutnya adalah pasal 21 ayat (3) UUP No. 16 Tahun 2019 Jo Pasal 35 huruf a UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yaitu: Pasal 21 ayat (3) UUP No. 16 Tahun 2019 "Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatatan perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusam dengan menyerahklan surat keterakan penolakan tersebut diatas".