Mohon tunggu...
evaseba
evaseba Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Saya mempunyai banyak hobi.

Selanjutnya

Tutup

Kkn

Kukuku

28 Juni 2024   19:13 Diperbarui: 29 Juni 2024   10:27 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://www.freepik.com/free-ai-image/photorealistic-view-owl-bird-night

Aku menemukannya lagi. Bekas goresan di punggung telapak kakiku. Jelas kutemukan karena rasa perihnya menjalar saat terkena guyuran air segar nan dingin. Rasa perihnya sampai membuat bahuku terangkat.

Awalnya aku berpikir bahwa ini adalah luka biasa. Luka yang disebabkan karena diriku sendiri. Penyakit orang tidur. Setiap malam aku mengira bahwa kuku panjangku menggaruk sendiri tanpa sadar. Akan tetapi setelah kuperhatikan, bekas goresan sebelumnya agak lebar dan mengering seiring berjalannya waktu. Dari ukurannya jelas bukan aku pelakunya.

Entah siapa. Aku tidak berani berasumsi aneh-aneh. Terlebih lagi, aku sekarang berada di desa orang. Bukan tempatku sendiri. Aku sendiri juga tidak berani memberitahukan hal ini kepada temanku. Aku takut mereka menyebutku halu atau parahnya mereka yang akan histeris.

Sebenarnya KKN adalah kegiatan yang sangat kunantikan. Aku menantikan kisahku dengan genre romantis atau komedi romantis di kegiatan ini. Setelah melihat kakakku yang menikah dengan teman KKN-nya, aku pun ingin merasakannya. Bagaimana rasanya cinlok? Bagaimana rasanya menaruh hati pada orang yang baru kukenal? Itu adalah hal-hal yang kunantikan saat KKN.

Aku berdebar-debar setiap kali berganti semester. Bahkan, aku sampai mencari informasi mengenai para cowok yang berada dalam satu tim KKN denganku. Tentu saja hal ini kulakukan untuk melihat siapa yang sekiranya cocok dalam kisah romantisku.

Sedihnya adalah mereka termasuk cowok dengan wajah standar. Tentu hal ini sangat berdampak kepada rasa antusiasku. Akhirnya aku pun mengincar hal lain. Nilai. Aku banting setir ke arah lain untuk menyibukkan diriku dengan kegiatan dan merelakan kisah romantisku.

Namun, apa yang kini aku dapatkan? Kisah horor? Kisah mengerikan? Sesuatu yang bahkan membuat bulu kudukku meremang tanpa kuperintah. Aku benar-benar tidak pernah mengharapkannya.

"Del, kaki kamu kenapa lagi?" tanya Sisil, yang masih satu jurusan denganku.

"Kegaruk kayaknya." Aku menjawab asal. Sebenarnya aku ingin tidak memakai sepatu. Lukanya masih basah dan perih.

"Lagi?"

Iya, Lagi. Beberapa hari yang lalu, wajahku pun mendapatkan luka goresan tipis. Lukanya tidak panjang. Aku pun pernah mendapatkannya dulu. Hal itu membuatku tidak terlalu menaruh curiga. Namun, memang dalam waktu hampir dua minggu di sini, aku sudah mendapatkan hampir tiga luka. Luka itu ada di lenganku, di wajahku, dan yang paling baru dan masih agak perih di punggung telapak kakiku.

Aku hanya membalas Sisil dengan mengangguk dan tersenyum. Tapi, luka yang kudapati saat ini memang agak berbeda. Lukanya tidak panjang, tapi cukup lebar. Setidaknya butuh obat merah dan plester luka. Untungnya aku bisa mendapatkannya.

Setelah membalut lukaku, aku pun bersiap untuk survei tempat untuk perpustakaan mini bersama dengan Nathan. Jangan salah sangka, meskipun namanya terdengar tampan, percayalah dia tidak setampan itu. Badannya kurus tinggi. Warna kulitnya yang membuatnya terlihat tampan, tapi kelakuannya sama sekali tidak. Dia cukup absurd dan terkenal tidak mau mengerjakan tugas yang diberikan dengan baik.

Desa KKN-ku kali ini berada di atas gunung dan di tengah hutan, tapi di dekat laut. Tergambar begitu indah panorama pegunungan di sekeliling desa dan hawa sejuk yang tak ada hentinya meskipun terik matahari menyengat. Terkadang gemuruh ombak juga terdengar ketika kami berkendara melintasi jalanan.

Aku memakai kardigan cokelatku dengan celana training yang tidak ketat. Sedangkan Nathan memakai jaket tebal berwarna hitam dengan celana longgar sepertiku. Dia berusaha tampak seperti seorang member boyband, tapi percayalah penampilannya hanya didukung warna kulitnya. Aku akui, lumayan.

Aku membawa kamera untuk merekam tempat survei. Awalnya aku akan survei bersama Cebi. Namun, cowok berbadan gembul itu mendadak meriang dan digantikan oleh Nathan yang kini di depanku.

"Kita jalan kaki ya, Del?" Aku hanya mengangguk. Aku juga hanya memakai sandal karena luka di kakiku.

Jalanan yang terjal dan belum dibalut aspal seluruhnya membuat kami memutuskan untuk berjalan kaki. Aku paham. Nathan sebenarnya ingin berjalan kaki karena dia tidak bisa mengendarai motor di medan curam seperti ini. Dia terlalu takut jatuh.

Perjalanan yang kami tempuh sebenarnya cukup jauh. Namun, pemandangan yang ada di depan mata memberikan kami waktu cukup singkat untuk menikmatinya. Udara yang menyambar indra penghidu kami pun serasa lebih jernih daripada oksigen kalengan yang ada di apotek.

"Del, semalam lo dengar nggak?" Aku spontan menoleh kepadanya. "Suaranya datang dari ruangan cewek."

"Suara apa?" tanyaku.

Kamar cowok dan cewek memang terpisah. Kami ditempatkan di balai desa. Bangunannya berbentuk letter U menghadap ke arah gerbang. Bangunannya ada tiga sisi, yaitu bangunan di sisi kiri, tengah dan sisi kanan. Ada juga bagunan seperti joglo tanpa dinding, hanya tiang di antara sisi kanan dan kiri. Bangunan di sisi kiri terdapat ruangan staf balai desa. Bangunan di tengah terdiri dari empat ruangan, yaitu ruangan imunisasi, ruangan rapat, ruangan Pak Kades, dan ada kamar mandi di ujung bangunan. Bangunan di sisi kanan adalah bangunan yang terdiri dari empat ruangan. Namun, ruangan itu hanya dipisah dengan papan triplek dan masih saling terdengar antara ruangan satu dengan ruangan lainnya.

Kamar cowok ada di ruangan imunisasi yang tidak terlalu besar. Karena memang jumlah cowok dalam kelompok kami tidak terlalu banyak. Sedangkan kamar cewek di bangunan sisi kanan. Namun, hanya tiga ruangan yang ditempati. Di ujung ruangan dipergunakan sebagai gudang.

"Suara cewek nangis." Aku menautkan kedua alisku. "Se ... serius! Gue nggak ada niatan bohong sama lo!"

"Gue nggak dengar!" jawabku. "Udah ah, Nat! Lo jangan bahas gituan! Kita cuma berdua nih!"

Nathan tiba-tiba langsung terkesiap diam dan mengangguk. Udara di sekitar kami mendadak lebih sejuk dari biasanya. Tanganku masih memegang kamera. Belokan di sebelah kiri setelah ini adalah lokasinya. Nathan membantuku menaiki jalanan menanjak ini. Jalanan didominasi kerikil dan bebatuan terjal. Sampai di atas, aku menyalakan kamera dan mulai merekam sekeliling.

Tampak hamparan tanah cokelat yang kosong dan pepohonan di sekeliling kami. Aku tidak melihat siapa pun di sini kecuali kami. Padahal harusnya ada Mas Gilang, ketua karang taruna. Tapi mungkin kami yang memang datang terlalu cepat.

"Eh, Del! Ada orang tuh!" Pandanganku mengarah kepada sosok pria paruh baya yang mengangkat tumpukan kayu di bahunya. "Kita wawancara yuk! Buat dokumentasi!"

"Kayaknya ja-"

Nathan sudah berjalan ke arah bapak itu sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Beberapa menit kemudian,  dia menoleh kepadaku dan memanggilku dengan lambaian tangannya. Aku mendekat. Sepertinya sang bapak tidak masalah diwawancarai. Nathan pun memulai mewawancarai bapak itu. Nathan memang termasuk cowok yang cerewet. Sepertinya dia sudah sering menjadi pembawa acara di event kampus.

Setelah bapak itu pergi, tak lama kemudian datang Mas Gilang. Kami juga menyebutkan bapak yang berhasil kami waancarai. Namun, wajah Mas Gilang menunjukkan kebingungan. Kami tidak terlalu mempermasalahkannya. Kami bertiga pun akhirnya membicarakan pembangunan perpustakaan yang akan ditempatkan di sini. Setelah beberapa pertimbangan, kami pun mencoba mencari tempat lain yang lebih mudah dicapai dengan jalan kaki atau bahkan bersepeda.

Kami kembali ke balai desa sekitar pukul lima sore. Setelah membersihkan diri, aku menyerahkan kartu SD card kamera kepada Radit dan Yunita. Mereka bertugas di bagian dokumentasi. Seluruh file yang berhubungan dengan kegiatan harus diserahkan kepada mereka. Selain menyerahkan laporan tertulis, kami harus menyerahkan laporan berupa file video kegiatan.

"Aaaaaakkk!!!" Yunita menjerit. Aku buru-buru menoleh dan menghampirinya.

Dia menutup kedua matanya, menggigit bawah bibirnya, dan melemparkan penyuara telinga yang tadi dipakainya. Sore itu balai desa memang sepi. Hanya ada beberapa orang di sana. Hanya ada Radit, Yunita, Nathan, aku dan Cebi yang sedang beristirahat di ruangannya. Namun, tampaknya si anggota boyband sedang melakukan prosesi luluran dan perawatan badan yang lain di kamar mandi.

"Kenapa Yun?" tanyaku menepuk-nepuk bahunya. Layar laptop di depannya memperlihatkan video wawancara tadi siang yang sedang ter-pause.

"Yang benar aja! Ini ide siapa sih? Kamu atau Nathan?" tanyanya kesal.

Aku menautkan kedua alisku dan memiringkan kepalaku. "Maaf, Yun. Maksud lo apa sih?"

"Ada apa sih, Yun?" Radit yang duduk di sebelahnya menatapnya sepersekian detik. Dia mengambil penyuara telinga yang dilempar Yunita dan mem-play video yang ada di layar.

Aku hanya menatap bingung. Tidak ada yang aneh bagiku. Tidak sampai beberapa detik kemudian, Radit juga beristighfar kaget.

"Astaghfirullah!" Dia buru-buru melepas penyuara telinga dan mem-pause video di layar. "Lo sadar nggak sih, Del?"

Aku semakin menautkan kedua alisku. Tidak ada yang aneh di layar itu. Sungguh!

Yunita menarikku duduk di tengah di antara mereka berdua. Aku menatap layar monitor. Terpampang wajah Nathan dan bapak pembawa kayu tadi. Radit mengangsurkan TWS kepadaku. Aku pun memakainya. Kemudian, Radit mulai memutar video di layar.

Bola mataku membesar sama seperti bulu kudukku yang meremang perlahan. Indera pendengaranku menangkap sesuatu yang membuat jantungku kini berpacu. Seperti perilaku Yunita dan Radit, aku juga buru-buru melepaskan penyuara telinga.

Bapak yang diwawancarai Nathan mengeluarkan suara aneh berulang-ulang.

"Kukuku ... kukuku... kukuku." Suara yang dikeluarkan benar-benar membuat kami bertiga bergidik ngeri.

"Ngeri! Gue skip aja ya!" seru Yunita. Aku dan Radit langsung mengangguk bersamaan.

Nathan yang baru keluar dari kamar mandi menemui kami dengan terburu-buru.

"Lo ngetuk pintu kamar mandi, Dit?" Radit menggeleng.

Wajahnya pucat. Tangannya mengusap wajahnya yang masih basah. Beberapa tetes air terlempar di kaos Radit. Belum sempat rasa ketakutan di wajahnya sirna, Radit memperlihatkan hasil wawancaranya tadi. Nathan memberikan ekspresi yang sama seperti dengan Yunita, Radit, dan juga diriku.

"Del, lo tadi dengar sendiri di sana, kan?" tanyanya panik. Aku mengangguk. Nathan menyenggol lengan Yunita."Terus ini kenapa jadi begini? Lo yang ngedit, kan?"

"Kok gue sih?" Yunita merasa tak terima dengan tuduhan Nathan.

"Sudah! Nggak usah dibahas lagi, bentar lagi anak-anak pada pulang. Kita rahasiain ini berempat!" ujar Radit. Wajahnya menunjukkan keseriusan. Kami bertiga mengangguk serentak.

Malam ini dan beberapa hari ke depannya kami berempat tidak lagi menemukan hal aneh. Lukaku juga sedikit demi sedikit pulih. Namun sebenarnya beberapa hari belakangan ini teman-temanku mengalami kejadian aneh. Sebenarnya kejadian yang sepeleh, tapi membuat mereka risau karena kejadiannya terus berulang.

Barang mereka berpindah tempat.

Sisil pernah kebingungan mencari di mana bedak taburnya. Dia hanya bisa melongo ketika melihat bedak taburnya berada di dalam sepatu kets-nya. Lain halnya dengan Sisil, Cebi juga sering merasa linglung. Pernah suatu hari ketika dia mandi, dia kehilangan sabun mandinya. Akan tetapi ketika dia keluar dari kamar mandi, sabun mandi itu masih ada di tempatnya.

Ada satu hal yang membuat kami semua serentak melongo.

Beberapa malam ini kami mengadakan rapat selama lima hari berturut-turut. Biasanya kami selesai pukul 22.00 WIB. Setiap kami keluar dari ruang rapat di balai desa, sandal kami tertata dengan pasangan sandal yang salah. Awalnya kami mengira ini adalah kerjaan iseng salah satu mahasiswa. Namun, kami serentak melongo untuk ke-lima kalinya. Mendapati hal ini.

Kami pun bercerita kepada Pak Kades. Namun, beliau hanya mengangguk dan tersenyum tanpa membalas apa pun. Hal itu kami anggap bukan masalah serius. Kami menjalankan aktivitas biasanya meskipun gangguan itu memang kerap kali muncul. Bagi kai asal tidak mengganggu kegiatan KKN.

Kegiatan KKN sudah hampir selesai. Aku mendapat tugas untuk mengantarkan berkatan tasyakuran malam ini ke rumah Pak Kades. Karena tidak terlalu jauh, aku pun mengantarkannya seorang diri.

Jalanan desa ini masih belum serata jalanan aspal. Masih ada kerikil di pinggir jalan yang terkadang menggelinding ke tengah. Di bagian tengah jalannya terdapat tanah berwarna cokelat kemerah-merahan. Jalanan cukup rata karena sering dilalui motor atau sepeda. Jujur saja, di sini sangat jarang orang yang memakai mobil untuk berkendara. Jalanan yang sempit terkadang membuat para warga dan kami -mahasiswa KKN- memilih berjalan kaki.

Langit yang sudah menghitam dihiasi cahaya bintang. Bukan menjadikan jalanan malam ini terang, tapi cukup remang. Penerangan yang hanya dari lampu jalanan berwarna kuning redup menambah sensasi horor. Suara binatang-binatang malam pun membuat bulu kudukku agak meremang.

Sesekali terdengar suara burung hantu yang spontan mengingatkanku pada bapak yang aku dan Nathan temui waktu itu. Kalau didengarkan dengan saksama, suara yang kudengar dari video rekaman itu benar-benar mirip dengan suara burung hantu!

Aku mempercepat langkahku. Rasanya rumah Pak Kades harusnya sudah dekat, tapi kenapa belum terlihat rumah bercat hijau itu? Aku masih melewati jalanan tanpa rumah. Hanya tanah kosong dan lereng di samping kananku.

Aku menghentikan langkahku. Sekitar satu meter sebelum lampu jalanan di depanku. Tepat di bawah lampu jalanan itu aku bisa melihat sesuatu. Sosok gemuk dengan rambut panjang terjuntai sampai mata kaki. Jari-jari di tangannya terpampang kuku-kuku panjang yang mengerikan. Lukaku yang mengering terasa nyeri melihatnya. Matanya merah menyala di tengah redupnya cahaya lampu. Wajahnya penuh keriput. Mulutnya tersenyum sampai telinga. Menunjukkan gigi taringnya yang berlumuran cairan merah.

Aku tidak bisa bergerak. Mungkin seperti ini rasanya berhadapan langsung dengan sosok hantu. Seharusnya aku sudah berbalik dan melarikan diri, tapi aku tidak bisa. Tahu begini, tadi aku akan menerima tawaran Nathan untuk menemaniku.

Sosok itu berjalan ke arahku. Aku tidak bisa menggerakkan seluruh persendianku. Tanganku menggenggam erat bungkusan kresek putih berkatan untuk Pak Kades. Mulutku melengkung ke bawah. Bibir bawahku kugigit kuat-kuat. Mataku tidak bisa terpejam. Sosok itu semakin terlihat jelas di depan mataku. Aku harus apa?

"Gimana nduk? Kakimu wes waras?" Dia berbisik ke telingaku. Aku menelan ludah kepayahan. "Aku seneng karo kowe. Ambu-mu wangi."

Tuhan! Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak bisa berhenti menangis. Tiba-tiba kuku panjangnya menyentuh perutku. Aku melirik ke arah kuku hitam itu. Perlahan kuku itu ditekan ke perutku. Menembus jaket tebalku dan terasa di kulit luarku. Aku memasang wajah memelas memohon kepada nenek ini supaya melepaskanku.

Salah! Dia semakin menekan kukunya menembus kulitku. Aku tersentak. Rasa terperih dalam hidupku kini menjalar ke seluruh tubuhku. Tuhan, jika memang aku harus mati, aku tidak mau mati dengan cara begini.

Kukunya menembus perutku dan tertawa dengan keras memekakkan telingaku. Selagi melihatku yang kesakitan dia berbisik ke telingaku, "aku pengin awakmu, Nduk."

Gelap!

Setelah merasakan kesakitan yang luar biasa, aku merasa jauh lebih ringan. Terdengar suara burung-burung bersahutan. Aroma malam hilang berganti aroma hangat, tapi tetap sejuk. Aku membuka mataku. Sinar matahari menyilaukan mataku. Aku meraba perutku dan melihat bajuku. Tidak ada darah atau bekas kuku nenek itu. Aku tidak lagi memedulikan tugasku. Aku buru-buru beranjak dari tempatku dan berlari kembali menuju balai desa.

Dari gerbang balai desa, aku melihat banyak teman-temanku yang bergulat dengan kesibukannya. Aku berlari mencari Sisil.

"Sisil!" panggilku seraya berlari mendekatinya yang sedang mengenakan sepatu.

Aneh! Dia tidak merespon panggilanku.

"Sil?" panggilku sekali lagi.

Aku tersentak begitu menyadari tanganku yang menembus tubuh Sisil. Mataku membulat. Begitu pula mulutku. Bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, aku nyaris menangis. Namun, tiba-tiba Nathan mendekati Sisil. Dia mengajak Sisil untuk berbicara di tempat yang lebih sepi. Aku mengikuti mereka.

"Kayaknya ada yang aneh sama Adel," bisik Nathan seraya menunjuk seorang cewek yang duduk di depan ruang rapat dengan dagunya.

Aku mengikuti arah tunjukannya. Aku duduk di sana! Bagaimana bisa? Aku hendak mendekati sosok tubuhku, tetapi suara Nathan terdengar dan lebih menarik perhatianku.

"Sehabis nganter berkatan ke Pak Kades, si Adel aneh banget! Gue sapa, malah natap gue pake innocent face gitu. Terus, pas gue ke kamar mandi malam-malam, gue lihat dengan mata kepala gue, si Adel jongkok di dekat tong sampah sambil ketawa ngikik gitu. Kan ngeri!"

"Serius?" Nathan mengangguk mantap. "Gue sebenarnya kemarin malam ngedenger suara cewek ketawa. Pas gue cari tahu, ada Adel yang lagi ketawa di sebelah tandon air."

"Kita harus lapor, Sil!"

Setelah Nathan berkata begitu, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang sangat keras. Namun, saat aku menolehkan pandanganku untuk mencari sumbernya, semua berubah menjadi gelap.

Aku sudah tidak berada di balai desa. Aku berada di sebuah hutan dengan pencahayaan minim. Aku mendongak ke atas berharap ada cahaya matahari yang menelisik. Akan tetapi yang kulihat hanya langit yang mendung. Udara semakin dingin menembus tubuhku. Aku menggosokkan kedua tanganku berharap ada kehangatan di sana.

Aku bingung harus berjalan ke mana. Aku melangkahkan kakiku perlahan. Gemerisik dedaunan kering yang diinjak terdengar. Aku kira itu suara langkah kakiku, ternyata bukan. Aku tidak sendirian. Aku mendengar suara kaki-kaki kecil berlarian. Aku terus berjalan maju. Tampak sekelebatan bayangan putih bertengger di atas pohon yang kulalui. Aku berjalan dan menunduk, serta merapalkan beberapa ayat yang aku hafal.

Aku memohon pertolongan-Mu ya, Tuhan.

"Kukuku ... kukuku ... kukuku."

Aku mengenal suara itu. Suaranya ada tepat di depanku. Dengan takut-takut aku melirik ke depan. Aku melihat sosok manusia dengan kepala burung hantu. Ya Tuhan, apa lagi sekarang? Namun, siluman burung hantu itu mendekatiku perlahan. Sementara itu aku berjalan mundur seraya menangis. Kulihat siluman itu mengulurkan tangannya perlahan.

"Kukuku ... kukuku ... kukuku." Dia menunjuk jalanan di belakangnya seraya mengulurkan tangannya. Aku menautkan kedua alisku. Sepertinya dia tidak berbahaya.

Aku berjalan maju ke arahnya. Dia kemudian berbalik dan berjalan ke depan. Aku mengikutinya dari belakang seraya melafalkan doa. Di samping kanan-kiriku terdengar suara cekikikan, bahkan umpatan kekesalan. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin pulang. Bantu aku ya, Tuhan.

Di ujung jalan yang kami lalui terdapat cahaya putih. Siluman itu berhenti dan berdiri di samping cahaya itu. Dari gesturnya dia seolah menyuruhku untuk melanjutkan perjalanan sendiri. aku menunduk perlahan seraya bergumam pelan, "terima kasih."

"Kukuku ... kukuku ... kukuku."

Aku melangkah ke depan. Cahaya putih seolah menutupi tubuhku. Mataku tidak kuat dengan cahaya yang masuk. Aku memejamkan mata seraya tetap terus berjalan.

"Adel!" seru suara yang kukenal. "Adel!"

Aku membuka mataku dan melihat sosok Sisil yang sedang terisak di sampingku. Dia memelukku dengan air mata yang sudah menggenang. Aku membalas pelukannya dan ikut menangis. Aku juga melihat teman-temanku yang bernapas lega setelah melihatku. Ada Pak Kades dan satu orang dengan songkok di kepalanya.

Setelah aku cukup tenang, Nathan menceritakan semuanya kepadaku. Hal mengenai bagaimana aku bisa kesurupan dan tertawa cekikikan. Bahkan suaraku yang berubah menjadi suara nenek tua. Nathan dan Radit langsung memberi tahu Pak Kades terutama mengenai video yang kami rahasiakan. Beliau pun datang bersama seorang pemuka agama di desa itu. Kemudian, aku dibacakan ayat-ayat Al-Qur'an.

"Lo ingat bapak paruh baya yang kita temui di lahan kosong?" Aku mengangguk. "Ternyata dia itu siluman kukuku, Del. Pak Kades juga bilang kalau dia siluman baik. Dia sering menolong warga yang tersesat di hutan."

"Ah," responku. Aku ingin menceritakan semua yang kualami, tapi rasanya aku sudah terlalu lelah. Aku memutuskan untuk mengangguk dan tersenyum.

Setelah beberapa saat kemudian, kami pun berkemas dan buru-buru meninggalkan desa itu. Kami juga berterima kasih kepada Pak Kades dan Pak Ustaz yang ikut membantu pada detik-detik terakhirku.

Mugkin, memang seharusnya aku meniatkan diriku untuk berkegiatan KKN dengan lebih tulus. Bukan karena menginginkan kekasih di sini.

Kata Pak Kades hari lahirku menjadi pemicu aku disukai oleh sosok nenek itu. Namun, karena aku rajin beribadah, nenek itu hanya bisa menjangkauku ketika tidur. Akan tetapi, karena aku sedang datang bulan pada hari-hari terakhir KKN, nenek itu dengan mudah bisa mengambil alih tubuhku.

Sebenarnya siluman Kukuku sudah memperingatkanku sebelumnya. Dan untungnya dia juga menyelamatkanku atas izin Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kkn Selengkapnya
Lihat Kkn Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun