"Aaaaaakkk!!!" Yunita menjerit. Aku buru-buru menoleh dan menghampirinya.
Dia menutup kedua matanya, menggigit bawah bibirnya, dan melemparkan penyuara telinga yang tadi dipakainya. Sore itu balai desa memang sepi. Hanya ada beberapa orang di sana. Hanya ada Radit, Yunita, Nathan, aku dan Cebi yang sedang beristirahat di ruangannya. Namun, tampaknya si anggota boyband sedang melakukan prosesi luluran dan perawatan badan yang lain di kamar mandi.
"Kenapa Yun?" tanyaku menepuk-nepuk bahunya. Layar laptop di depannya memperlihatkan video wawancara tadi siang yang sedang ter-pause.
"Yang benar aja! Ini ide siapa sih? Kamu atau Nathan?" tanyanya kesal.
Aku menautkan kedua alisku dan memiringkan kepalaku. "Maaf, Yun. Maksud lo apa sih?"
"Ada apa sih, Yun?" Radit yang duduk di sebelahnya menatapnya sepersekian detik. Dia mengambil penyuara telinga yang dilempar Yunita dan mem-play video yang ada di layar.
Aku hanya menatap bingung. Tidak ada yang aneh bagiku. Tidak sampai beberapa detik kemudian, Radit juga beristighfar kaget.
"Astaghfirullah!" Dia buru-buru melepas penyuara telinga dan mem-pause video di layar. "Lo sadar nggak sih, Del?"
Aku semakin menautkan kedua alisku. Tidak ada yang aneh di layar itu. Sungguh!
Yunita menarikku duduk di tengah di antara mereka berdua. Aku menatap layar monitor. Terpampang wajah Nathan dan bapak pembawa kayu tadi. Radit mengangsurkan TWSÂ kepadaku. Aku pun memakainya. Kemudian, Radit mulai memutar video di layar.
Bola mataku membesar sama seperti bulu kudukku yang meremang perlahan. Indera pendengaranku menangkap sesuatu yang membuat jantungku kini berpacu. Seperti perilaku Yunita dan Radit, aku juga buru-buru melepaskan penyuara telinga.