Aku tersentak begitu menyadari tanganku yang menembus tubuh Sisil. Mataku membulat. Begitu pula mulutku. Bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi, aku nyaris menangis. Namun, tiba-tiba Nathan mendekati Sisil. Dia mengajak Sisil untuk berbicara di tempat yang lebih sepi. Aku mengikuti mereka.
"Kayaknya ada yang aneh sama Adel," bisik Nathan seraya menunjuk seorang cewek yang duduk di depan ruang rapat dengan dagunya.
Aku mengikuti arah tunjukannya. Aku duduk di sana! Bagaimana bisa? Aku hendak mendekati sosok tubuhku, tetapi suara Nathan terdengar dan lebih menarik perhatianku.
"Sehabis nganter berkatan ke Pak Kades, si Adel aneh banget! Gue sapa, malah natap gue pake innocent face gitu. Terus, pas gue ke kamar mandi malam-malam, gue lihat dengan mata kepala gue, si Adel jongkok di dekat tong sampah sambil ketawa ngikik gitu. Kan ngeri!"
"Serius?" Nathan mengangguk mantap. "Gue sebenarnya kemarin malam ngedenger suara cewek ketawa. Pas gue cari tahu, ada Adel yang lagi ketawa di sebelah tandon air."
"Kita harus lapor, Sil!"
Setelah Nathan berkata begitu, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang sangat keras. Namun, saat aku menolehkan pandanganku untuk mencari sumbernya, semua berubah menjadi gelap.
Aku sudah tidak berada di balai desa. Aku berada di sebuah hutan dengan pencahayaan minim. Aku mendongak ke atas berharap ada cahaya matahari yang menelisik. Akan tetapi yang kulihat hanya langit yang mendung. Udara semakin dingin menembus tubuhku. Aku menggosokkan kedua tanganku berharap ada kehangatan di sana.
Aku bingung harus berjalan ke mana. Aku melangkahkan kakiku perlahan. Gemerisik dedaunan kering yang diinjak terdengar. Aku kira itu suara langkah kakiku, ternyata bukan. Aku tidak sendirian. Aku mendengar suara kaki-kaki kecil berlarian. Aku terus berjalan maju. Tampak sekelebatan bayangan putih bertengger di atas pohon yang kulalui. Aku berjalan dan menunduk, serta merapalkan beberapa ayat yang aku hafal.
Aku memohon pertolongan-Mu ya, Tuhan.
"Kukuku ... kukuku ... kukuku."