Sosok itu berjalan ke arahku. Aku tidak bisa menggerakkan seluruh persendianku. Tanganku menggenggam erat bungkusan kresek putih berkatan untuk Pak Kades. Mulutku melengkung ke bawah. Bibir bawahku kugigit kuat-kuat. Mataku tidak bisa terpejam. Sosok itu semakin terlihat jelas di depan mataku. Aku harus apa?
"Gimana nduk? Kakimu wes waras?" Dia berbisik ke telingaku. Aku menelan ludah kepayahan. "Aku seneng karo kowe. Ambu-mu wangi."
Tuhan! Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak bisa berhenti menangis. Tiba-tiba kuku panjangnya menyentuh perutku. Aku melirik ke arah kuku hitam itu. Perlahan kuku itu ditekan ke perutku. Menembus jaket tebalku dan terasa di kulit luarku. Aku memasang wajah memelas memohon kepada nenek ini supaya melepaskanku.
Salah! Dia semakin menekan kukunya menembus kulitku. Aku tersentak. Rasa terperih dalam hidupku kini menjalar ke seluruh tubuhku. Tuhan, jika memang aku harus mati, aku tidak mau mati dengan cara begini.
Kukunya menembus perutku dan tertawa dengan keras memekakkan telingaku. Selagi melihatku yang kesakitan dia berbisik ke telingaku, "aku pengin awakmu, Nduk."
Gelap!
Setelah merasakan kesakitan yang luar biasa, aku merasa jauh lebih ringan. Terdengar suara burung-burung bersahutan. Aroma malam hilang berganti aroma hangat, tapi tetap sejuk. Aku membuka mataku. Sinar matahari menyilaukan mataku. Aku meraba perutku dan melihat bajuku. Tidak ada darah atau bekas kuku nenek itu. Aku tidak lagi memedulikan tugasku. Aku buru-buru beranjak dari tempatku dan berlari kembali menuju balai desa.
Dari gerbang balai desa, aku melihat banyak teman-temanku yang bergulat dengan kesibukannya. Aku berlari mencari Sisil.
"Sisil!" panggilku seraya berlari mendekatinya yang sedang mengenakan sepatu.
Aneh! Dia tidak merespon panggilanku.
"Sil?" panggilku sekali lagi.