Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kambing Curian

5 November 2022   21:22 Diperbarui: 6 November 2022   21:30 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua kambing dibiarkan merumput di balik ilalang setinggi tubuh kecilnya. Baru kelas empat di sekolah dasar di kampungnya, Misin rajin menunggu kambing itu kenyang.

Sudah satu tahun ia mengawal dan memeliharanya dengan telaten.

Ia tidak tahu sama sekali darimana kambing-kambing ini datang. Setahun lalu, dua kambing yang masih kecil ini mendadak terikat di pohon randu di  belakang pondoknya.

Bapaknya, juga ibunya tidak menjelaskan asal kambing ini. Titipan orang, ataukah dapat membeli. Jika hasil membeli tentu Misin Senang. Bapaknya tidak lagi miskin.

Sebab kemiskinan sudah ia rasakan sejak lahir. Untung saja perihal sekolah sudah gratis. Jadi Misin masih punya harapan untuk sekadar bisa baca dan tulis.

Di balik ilalang dekat pematang sawah itu, Misin termenung dan sedang mencari tahu asal kambing-kambing ini.

***

"Kambing-kambing itu sudah besar, Pak. Tolong kembalikan pada yang punya," pinta ibunya Misin.

"Biar saja. Saatnya saya akan jual."

"Tolonglah, Pak. Bukan punya kita. Saya tahu bapak mencuri setahun lalu."

"Aku tidak mencuri. Kambing itu ditelantarkan."

"Itu bukan ditelantarkan, Pak. Mereka dibiarkan mencari makan di padang rumput."

"Tapi tidak ada orang. Saya kasihan pada kambing kecil itu."

"Pemiliknya pasti mencari dan lapor polisi."

"Sudah setahun, tidak ada satu orang pun yang datang mencari. Ini jadi kambing kita."

"Itu kambing curian. Bukan punya kita."

Ibunya Misin pergi menjauh menuju tetangga terdekatnya yang berjarak 50 meter. Perbincangan itu dihentikan, dan tidak lagi punya arti.

Suaminya punya pikiran semrawut soal kambing. Baru anak kambing yang merumput tanpa dijaga sudah diakui sebagai miliknya, bagaimana jika sapi atau kerbau.

 Ia juga tidak tahu kepada siapa mau mengadu. Jika ke kantor kepala desa, maka suaminya bakal punya urusan. Maka dibiarkan saja begitu. Lebih baik keadaannya, dan tiada yang mengganggu.

"Aku tadi lihat Misin di pematang sawah sana,"kata mbok Yum, tetangga terdekat yang dikunjungi ibunya Misin.

"Iya, dia sedang menjaga kambing."

"Kambing siapa?"

"Bapaknya."

"O syukurlah. Suamimu mulai maju usahanya. Mana daun pisangnya?"

"Di luar."

"Ini uangnya."

"Terima kasih, Mbok."

Ibunya Misin berlalu setelah menerima uang itu. Ia lewati jalan yang tidak biasa untuk kembali ke pondoknya. Beberapa saat kemudian, Wasir tiba di rumah mbok Yum, kakak tertuanya.

Wasir hendak mampir setelah satu tahun lebih tidak mengunjungi kakak tertuanya ini yang seorang janda. Walau kediaman mereka hanya di belah sungai, tapi rasanya jarak yang ditempuh sangat jauh.

Sebab tidak ada jembatan penyebrangan, dan bila hendak ke rumah kakaknya ini mesti putar jalan darat yang lumayan melelahkan.

"Tumben, mampir ke sini?"

"Iya mbak, maaf."

"Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa Hanya menengok saja. Kenapa mbak tidak mau tinggal dengan kami?"

"Tidak usah. Nanti malah merepotkan."

"Tidak akan, mbak. Anak-anak pasti senang, juga istri saya."

Mbok Yum tetap ingin di rumahnya sendiri. Lantas ia menanyakan urusan usaha Wasir yang didengarnya mulai maju ternak kambing.

Terlebih setahun lalu, kambing-kambing yang diternaknya laris di musim haji.

"Bersyukur mbak. Semuanya lancar."

"Di sini juga ada yang pelihara kambing. Dua ekor, dan lumayan besar."

"Siapa, mbak?"

"Bapaknya Misin. Tadi aku lihat anaknya, Misin sedang menjaga kambingnya merumput."

"Di mana?"

"Dekat saja dari sini, di pematang sawah. Tapi di balik ilalang."

Wasir bergegas kemudian, sekaligus pamit hendak kembali ke desanya. Ia sedikit menahan diri untuk tidak menunjukkan amarahnya soal kambingnya yang hilang setahun lalu.

 Ia susuri jalan, kemudian terlihat dari jarak yang tidak terlalu jauh. Misin tampak olehnya sedang memangku dagu, dan membiarkan kambing-kambing itu tetap merumput.

Wasir mendekat, dan Misin gugup. Wasir tersenyum, Misin ketakutan. Misin sudah berpikir Wasir adalah pemilik kambing ini.

Karena tidak ada orang yang bila melihatnya bersama kambing akan mendekat ketika sedang menjaga kambing-kambing ini.

Kata Misin, polos.

"Ini kambing bapak?"

Wasir tidak menjawab. Hanya memperhatikan Misin, dan kambing-kambing itu. Jawabnya,"kenapa berpikir begitu?"

"Saya hanya menerka saja. Karena pasti bukan bapak saya pemiliknya. Bapak miskin, dan tidak punya uang untuk punya kambing."

"Bapak kerja apa?"

"Tidak tahu."

Wasir tidak meneruskan pertanyaan. Ia lebih banyak memuji kambingnya yang terawat dengan baik. Terlebih setelah ia tahu, Misin yang selama ini merawat, dan menjaganya.

Sekaligus membiarkan kambing-kambing ini merumput bebas.

"Itu kambing saya,"ujar Wasir.

"Ambil pak,"pinta Misin yang bersiap pergi.

"Tidak. Sekarang kambing ini punyamu, Nak."

"Bukan, pak. Pasti nanti diakui punya bapak saya."

"Bilang pada bapakmu. Sekarang kambing ini punyamu. Bilang juga pak Wasir pemilik kambing ini sudah menemukan kambingnya yang hilang setahun lalu."

Sembari mengatakan itu, Wasir tersenyum, dan mengusap kepala Misin lembut. Misin terdiam, tidak tahu lagi mau mengatakan apa.

Wasir lalu pergi, dan Misin kembali pulang bersama kambing-kambing itu.

***

Pagi itu dua ekor kambing hendak dibawa, entah kemana oleh bapaknya Misin. Namun Misin mencegah ketika mau berangkat sekolah.

"Mau dibawa kemana, Pak?"

"Ke pasar, Lumayan sudah matang untuk dijual."

"Jangan  pak. Itu kambing saya."

"Ini kambing bapak moyangmu!"

"Bukan pak. Itu kambing pak Wasir."

Bapaknya Misin tersentak kaget. Ia ikat kembali kambing-kambing itu.

"Dari mana kamu tahu?"

"Pak Wasir kemarin mendatangi saya di pematang sana."

"Terus.."

"Ia memberikannya pada Misin untuk dijaga dan dipelihara."

Bapaknya Misin masih punya hati untuk tidak bersikeras. Ia mendekat pada Misin, dan mengatakan padanya akan datangi Wasir untuk meminta maaf.

Misin kemudian tersenyum senang. Ia berangkat sekolah dengan tenang.

***

Janji bapaknya Misin untuk datangi Wasir di desa tetangga ditunaikan. Ia meminta maaf, dan bersimpuh di hadapan juragan kambing itu.

Oleh karena kesungguhannya meminta maaf itu,  justru kemudian Wasir menitipkan pada bapaknya Misin dua ekor kambing sebagaimana usia yang dicuri dulu.

"Di tanganmu, dan anakmu dua kambing ini kemungkinan akan berkembang biak. Aku titip dua, dan yang dua sebelumnya itu milik Misin. Ingat itu."

Bapaknya Misin tertunduk malu, dan ia ingat anaknya yang sungguh-sungguh telah memelihara kambing curiannya dulu itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun