Mohon tunggu...
Ersalrif Ersalrif
Ersalrif Ersalrif Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Saya seorang single mom, bekerja serabutan. Hobi saya membaca, menulis, melukis dan daur ulang barang bekas. Saya seorang yang introvert, tapi berusaha belajar untuk dua buah hati saya. Menulis adalah sarana healing untuk hidup saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pantang Menyerah Jarak Sekolah Jauh dari Rumah

31 Juli 2023   06:51 Diperbarui: 31 Juli 2023   07:03 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pantang Menyerah Jarak Sekolah Jauh Dari Rumah.
Karya. Ersalrif

Lulus sekolah dasar, harapan Ica adalah melanjurkan ke sekolah menengah pertama yang dekat dengan rumah. Dengan begitu dia  bisa membantu sang mama dalam usaha, dan juga mengasuh adiknya.

Apa daya harapannya harus hangus dalam sekejap. Sertifikat preatasinya ditolak mentah-mentah. Ica terjerembab dalam ketidak berdayaan.

"Kok bisa sertifikat prestasinya tidak ada yang diterima, Bu?" tanya Mama Ica memelas.

"Yang diterima sertifikat lomba berjenjang, dan dari dinas, Ma!" sahut Bu Opi singkat dan padat.

"Ooh, yang dari instansi indenpenden itu juga nggak diterima, ya?" tanya Mama Ica lagi sambil menunjuk sebuah plakat di lemari pajangan sekolah.

"Iya, itu juga ditolak!" sahut Bu Opi miris.

"Bagaimana nasib Ica, Bu? Usianya baru 12 tahun. Dia mengejar prestasi itu, agar bisa menghantarkannya ke jenjang berikutnya lewat jalur prestasi...," keluh Mama Ica bergetar, "bismillah ya, Nak!" katanya sambil menepuk bahu Ica pelan.

Ica sudah menangis dalam diam. Dia berdoa dan berharap ada mujijat untuknya. Dia menahan diri, untuk tidak bercerita tentang cibiran beberapa teman, tentang ditolaknya semua sertifikat lomba. Dia tak ingin membebani pikiran sang mama.

Mereka segera pulang setelah sang mama menandatangani SIDANIRA. Dalam perjalanan pulang, Ica melihat mamanya diam seribu bahasa. Ica tahu saat rapat tadi, ada pembahasan tentang sertifikat lomba yang ditolak.

Ada seorang ibu mengomentarinya dengan nyinyir, "waah, percuma dong, ya... punya sertifikat lomba seabreg, tapi nggak bisa lewat jalur prestasi. Jadi sampah dong tuh sertifikat, hihi..." .

Ica yang sedang berdiri di balik dinding kelas, mendengar jelas ucapan salah satu orang tua temannya itu. Tangannya mengepal keras. Hatinya sangat sedih.

"De, Mama masih rapat, kita turun ke bawah, ya?" ajak Ica kepada Danar yang ingin bertemu sang ibu.

Bocah berusia empat tahun itu, mengangguk. Dia menarik tangan Ica untuk segera menjauhi kelas. Danar bisa merasakan kesedihan hati sang kakak. Mata Ica sempat memerah dan dia mengusap air matanya yang sudah mengalir.

"Akak jangan sedih, Ade dan Mama sayang Akak looh!" hibur Danar sambil membalas genggaman tangan Ica.

Ica hanya mengangguk dengan senyuman terpaksa. Dia berusaha tegar menerima kenyataan ini.

"Alhamdulilah kita sampai rumah!" seru riang Mama Ica seraya mematikan mesin motor matiknya.

"Iya alhamdulillah, motornya nggak mogok juga, hihi..." celetuk Danar sambil turun dari motor.

Mama dan Ica tersenyum geli mendengar celotehan lucu Danar.

"Iya, motornya ngertiin keadaan kita!" sahut Mama Ica sambil menjetik hidung bangir Danar yang masih tersenyum lucu.

"Neng, jangan dengarkan komentar miring orang-orang tentang penolakan sertifikat lombamu, ya! Pengalaman menang lomba itu nggak lantas jadi sia-sia, kok! Sertifikatnya memang tidak membawa kamu lewat jalur prestasi, tapi pengalamanmu di lomba itu, akan menempa dirimu dan itu sangat berharga!' kata Mama Ica sambil merangkul pundak Ica hangat.

Mereka segera masuk ke rumah, setelah Ica berhasil membuka gembok rumah, tempat mereka menumpang. Yah, sejak ayah Ica meninggal dunia empat tahun lalu, mereka diperbolehkan menumpang di salah satu mess sebuah perusahaan, tempat almarhum sering dicharter membawa barang ke luar kota.

Alhamdulilah, pemimpin perusahaan itu bermurah hati, memberi tumpangan pada Ica, Danar dan mamanya.

Hari terus berganti. Penerimaan siswa barupun dimulai. Ica semakin sedih, saat nilai akhirnyapun tak mampu membuatnya lolos lewat jalur prestasi ke sekolah terdekat rumahnya.

Walau dia termasuk murid terpandai di peringkat lima besar di kelasnya, nilai akhir akademiknya termasuk kecil. Ica melihat sang mama tampak begitu serius melihat list di daftar penerimaan siswa baru. Hatinya menjadi sedih sekali, melihat wajah sang mama yang tampak lelah sekali.

"Kalo nggak bisa diadu, ya sudah Maa!" ujar Ica bergetar.

"Jalur prestasi sepertinya nggak bisa, Neng! Nanti kita usaha lewat jalur lain, ya?" sahut Mama Ica menyemangati, "masih ada jalur KJP dan PIP, kan? Bismillah...," kata Mama Ica penuh harap.

"Iya, Ma!" sahut Ica semangat.

"Mama berangkat nguli dulu, ya?" kata Mama Ica sambil meraih kunci motor bututnya, "titip adikmu, kalo sudah bangun, kamu kasih susu...!" ujarnya lagi sambil mengusap kepala Ica.

"Iya Ma, hati-hati!" sahut Ica seraya mencium punggung tangan sang mama.

*****

Hari berganti hari, saat jalur afirmasi dimulai. Ica kembali shock, karena jalur ini mengambil sistem zonasi. Lokasi rumahnya berada di area zonasi prioritas tiga. Tak ada satu sekolahanpun yang menempatkan posisinya di zonasi prioritas  satu atau dua.

Ica menarik napas berat. Harapannya untuk bisa sekolah negeripun lenyap. Jalur afirmasi lewat begitu saja. Hingga jalur zonasipun, Ica dan sang mama semakin sesak napas.

Harapan mereka semakin menjauh saja. Usia Ica yang masih di hitungan 12 tahun 11 bulan, tak mampu bersaing dengan usia 13 tahun. Ditambah lagi dia berada di zonasi prioritas tiga.

"Wassalam juga di jalur ini!" desis sang mama saat melihat daftar siswa di sekolah terakhir.

Ica tercekat. Diapun ikut melihat daftarnya, dan dia menyadari tak punya kesempatan di sana.

"Mama coba cari-cari info sekolah swasta ya, Neng?" ujar sang mama sambil berdiri.

"Tapi, Ma?" sahut Ica spontan.

Matanya menatap sang mama nanar. Otaknya berpikir keras, bagaimana itu akan sangat membebani hidup mereka nantinya. Di negeri saja mamanya keteteran biaya, apalagi di swasta?

"Jangan dipikirin dulu ituu! Yang penting kamu sekolah dulu!" kata Mama Ica tersenyum.

"Aku ikut ya, Ma? Kita cari sekolah yang biasa-biasa aja!" pinta Ica dengan wajah sedih.

"Ade ikuttt!" ujar Danar sambil meraih jaket.

Mama Ica tersenyum melihat kedua anaknya.

"Bismillah, semoga lancar dan motornya nggak mogok!" desis Ica memohon.

Dia terus berdoa dan berharap bertemu sekolah yang gratis. Walau itu tak mungkin, namun Ica tetap berdoa dan berharap.

Hingga sore mereka masuki satu persatu sekolah swasta yang ada di sekitar rumah mereka. Saat jam 16.30, merekapun memutuskan untuk pulang.

"Mahal-mahal semua, Ma!" keluh Ica sambil duduk di sofa.

"Ya begitulah!" sahut Mama Ica sambil menuju dapur.

Dia ingin menggoreng telur untuk makan kedua anaknya. Sejak siang mereka belum makan, hanya mengganjal perut dengan air putih saja.

"Kita makan dulu, ya?" katanya sambil mengangsurkan piring berisikan nasi putih dan telur mata sapi.

"Mama makan juga, ya?" kata Ica sambil melihat piring yang masih dipegang sang mama.

"Yaudah, kamu makan dulu!" sahut sang mama sambil mulai menyuapi Danar.

Ica segera menyuap nasi dan telur dengan lahap. dia menyisakan sedikit untuk sang mama makan. Dia tahu sekali, persediaan pangan mereka mulai menipis. Biasanya di minggu terakhir setiap bulan, mereka harus menghemat.

Bahan makanan akan ada lagi, saat mereka bisa membeli pangan subsidi dari dana KJP. Walau harus mengantri, Mama Ica tetap semangat demi bisa memberikan makan bergizi untuk kedua anaknya. Terkadang dia harus bolak-balik mengantri demi bisa membelinya.

Kadang kepanasan, kadang kehujanan. Namun dia tak menghiraukannya.

"Ma, bagaimana bayar sekolah swastanya?" tanya Ica hati-hati.

"Nanti kita pikirin, ya!" sahut Mama Ica sambil terus menyuapi Danar, "kamu habisi makannya, jangan disisain seperti itu!" tegur sang mama tegas.

Ica terjengkit kaget. Dia segera menghabisi makannya. Jika sang mama menyuruh dengan intonasi seperti itu, dia tak berani membantah. Biasanya jika sudah berintonasi seperti itu, menandakan sang mama sedang stress dan banyak pikiran.

****

"Ma, cari sekolah di luar wilayah sini, bagaimana? Yang penting negeri" ujar Ica pada suatu kesempatan.

Dia baru saja mendengar salah satu orangtua temannya berdebat tentang itu. Di luar wilayah mereka, nilai akhirnya masih bisa bersaing. Namun sang ayah tak mengijinkan sang anak, karena lokasinya jauh sekali.

"Jauh, Neng!" sahut Mama Ica dengan nada sedikit mengeluh.

"Tapi, setidaknya Ica bisa sekolah negeri, Maa!" kata Ica menegaskan.

"Mama sudah melihat hingga ke luar sana, Sayang! Jauh banget, kamu nanti kecapean!" kata Mama Ica lagi keberatan.

"Hidup yaaa harus cape, Ma!" sahut Ica pantang menyerah, "yang penting Ica bisa sekolah negeri!" katanya lagi dengan yakin.

Akhirnya Mama Icapun segera membuka link pendaftaran lagi dan mulai melihat-lihat, mengukur jarak, dan browsing transportasi.

"Duh, ada ini jaraknya dua puluh kilo meter, ditempuh dengan dua kali naik jaklinko dan sekali naik busway!" kata Mama Ica akhirnya.

"Yaudah ambil!" kata Ica tanpa pikir banyak.

"Neng?" tanya Mama Ica tampak bingung.

"Ma, ini hari terakhir pepedebe, kalo nggak sekarang, Ica nggak bisa sekolah di negeri. Ica tahu Mama khawatir, tapiii, tolong doakan saja, Ica bisa selamat dan sehat trus. Ica nggak mau makin membebani Mama semakin berat. Adik juga sebentar lagi akan sekolah. Biayanya dibagi-bagi, Ma!" kata Ica membuat sang mama yakin.

Mama Ica memeluk sang putri dengan terharu. Dia mengusap rambut putrinya dengan sayang.

"Kita ambil satu ini aja ya, Neng! Kalo kamu kegeser, berarti ya..., nasibmu harus sekolah di swasta!" kata Mama Ica sambil mulai mendaftar di salah satu sekolah lanjutan tingkat pertama.

Ica mengangguk pasti. Saat mulai tampak namanya di urutan ke tujuh dari 12 siswa yang terdaftar dia menarik napas lega.

"Bismillah!" desisnya sambil memeluk tubuh sang mama.

"Ya, bismillah!" sahut Mama Ica bergetar.

Pikirannya mulai kalut dengan jarak tempuh sekolah Ica nantinya. Putri sulungnya itu terlalu kecil, untuk naik turun transportasi. Mama Ica menangis dalam hati.

Dia menangisi nasib anak-anaknya, yang kehilangan ayah. Tak ada tempat untuk dirinya bertukar pikiran. Tak ada sanak saudara yang perduli akan nasib kedua anaknya.

Dia mulai menggiring rasa pasrahnya pada Sang Pencipta. Dia menarik napas dan tersenyum tulus pada Danar yang muncul dari balik tirai kamar.

"Mama dan Akak berpelukan, Ade nggak diajak?" tanyanya sambil menghambur ke dalam pelukan keduanya.

"Ayo sini kita berpelukan!" ajak Mama Ica riang.

"Berpelukan!" seru mereka bertiga.

Kring...., kring....!

Mama Ica langsung mengangkat gadget yang masih digenggamnya itu.

"Assalamu'alaikum Mama Ica! Bagaimana kabarnya?" salam Bunda Andra di seberang sana.

"Wa'alaikumsalam, alhamdulillah baik, Bun!" sahut Mama Ica sambil mengurai pelukan.

"Ica bagaimana, Ma..., dapat es em pe mana?" tanya Bunda Andra lagi.

"Mmm, ini terpaksa nyoba di daerah seberang, Bun!" sahut Mama Ica dengan bergetar.

"Ya Allah..., itu jauh Maaa! Kasian Ica nantinya...!" ujar Bunda Andra prihatin.

"Mau bagaimana lagi, Bun?" sahut Mama Ica yang mulai tak bisa menahan rasa sedihnya, "Ica yang mau, karena dia tak ingin saya kewalahan jika memaksanya sekolah di swasta!" lanjutnya menjelaskan.

Ica menggenggam tangan kiri sang mama, dan tersenyum untuk menguatkan.

"Aaargh, menyedihkan banget ya? Saya barusan mendengar kabar, seluruh anak dengan nilai paling rendah di kelas, sudah aman, karena sudah mendaftar ulang di sekolah negeri. Saya tidak menemukan nama Ica di antara nama-nama yang sedang daftar ulang itu. Makanya saya telpon, Ma!" kata Bunda Andra menjelaskan.

"Iya, Bun. Kami di area zonasi prioritas tiga!" sahut Mama Ica kemudian.

"Sekarang untuk dapat sekolah negeri, nggak perlu pintar, berprestasi dan berbakat, Ma! Yang penting lokasi rumah dekat sekolahan dan umurnya tua, pasti diterima!" ujar Bunda Andra dengan suara getir.

"Andra dapet di mana, Bun?" tanya Mama Ica saat tersadar belum menanyakan tentang Andra.

"Andra kan memang tidak melanjutkan ke es em pe, Ma. Dia masuk ke pesantren aja, Ma!" sahut Bunda Andra gamblang, "doain Andra betah di sana ya, Ma!" katanya meminta dukungan doa.

"InsyaAllah kami doakan ya, Bun. Semoga Andra betah, sehat trus dan keluar dari pesantren makin soleh dan membawa ilmu yang bermanfaat untuk dirinya dan juga lingkungan sekitarnya...," kata Mama Ica mendoakan.

"Aamin ya robal alamin!" ujar mereka mengaminkan berbarengan.

"Ica, kamu juga semangat, ya! Di manapun nanti kamu sekolah, kamu harus tetap semangat, hari-hati selalu ya, Nak! Jaga diri dalam pergaulanmu, Nak! Semoga kamu menjadi anak sukses di dunia maupun di akherat, yang mengangkat derajat ibumu!" kata Bunda Andra mendoakan.

"Aamin ya robal alamin." kata mereka semua kembali mengaminkan.

"Terima kasih, Bunda!" ujar Ica.

"Sama-sama, Nak!"sahut Bunda Andra senang, "oiya, Bunda Andra transfer sedikit untuk jajan kamu dan adik tadi, semoga bermanfaat untuk kalian, ya!" katanya lagi.

"MasyaAllah..., terima kasih Bundaaa, semoga membawa keberkahan untuk usaha Bunda sekeluarga, aamin." sahut Ica mendoakan.

"Aamin...," sahut Bunda Andra seraya pamit untuk menyudahi percakapan mereka.

"Alhamdulillah, ada rezeki untuk kamu daftar ulang minggu depan, Nak!" kata Mama Ica sambil mengusap kepala Ica.

"Alhamdulillah...!" sahut Ica dan Danar berbarengan.

Setelah terpotong cuti bersama dan libur akhir pekan. Pengumuman siswa yang lolos seleksi bangku kosongpun digelar, dan nama Ica masih berada di urutan nomer tujuh.

Pihak sekolah menghubungi Mama Ica untuk lapor diri. Diapun mengajak Ica survey sekolah, dan berangkat sehabis sholat subuh untuk mengukur waktu.

Sempat bingung karena petunjuk google maps, akhirnya merekapun sampai di tujuan pada jam 06.11.

"Alhamdulilah..., bagaimana?" tanya Mama Ica seraya memandang wajah putrinya dalam.

Dia ingin memastikan Ica yakin mengambil sekolah itu yang berjarak 20 kilometer lebih dari rumah mereka itu.

"Ya Ma, bismillah!" sahut Ica yakin.

Merekapun melihat-lihat lokasi sekolah yang masih sepi, karena belum ada aktifitas belajar mengajar.

Mereka menunggu sekitar dua jam, sebelum dipersilahkan masuk ke ruang panitya penerimaan calon siswa baru angkatan 2023-2024.

"Bismillah...!" ujar mereka bertiga sebelum keluar gerbang sekolah dan menunggu angkutan Jaklinko di depan sekolah.

"Mama tenang aja, ya! Doain Ica agar bisa sekolah di sini dengan baik. InsyaAllah Ica tetap semangat belajar di sini hingga lulus." kata Ica menguatkan hati mamanya.

"Bismillah ya, Neng!" sahut Mama Ica sembari menggenggam tangan Ica dengan erat.

Mama Ica melambungkan doa setiap saat untuk keselamatan putrinya. Sering dia menangis, atas ketidak berdayaannya. Dia hanya mengantarkan Ica selama semingguan ke sekolah. Setelah itu dia melepas putrinya pergi ke sekolah sendirian.

Hatinya sering menangis menatap sosok putrinya pergi menghilang, berangkat sekolah 10 menit setelah bubaran orang sholat subuh dari mesjid depan rumahnya.

"Semoga kamu menjadi orang sukses, sehat trus dan selamat selama perjuanganmu bersekolah tiga tahun nanti, aamin!" doa Mama Ica setiap kali melepas Ica pergi.

"Bismillah ya, Ma! Ica masih harus bersyukur looh, Ma! Di Jakarta masih terhitung mudah menuju ke sekolah. Di pelosok masih banyak anak-anak berangkat sekolah harus melewati rute yang sulit!" kata Ica pada suatu ketika, sambil memperlihatkan video anak berbaju merah putih, tengah melewati jembatan yang rapuh.

"Ya Nak..., alhamdulillah!" sahut Mama Ica tersenyum.

Dia bersyukur atas semangat yang dimiliki Ica. Putrinya itu tak pernah patah semangat. Dia selalu bersemangat dalam bersekolah.

Tamat.

Jakarta, 31 Juli 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun