Pantang Menyerah Jarak Sekolah Jauh Dari Rumah.
Karya. Ersalrif
Lulus sekolah dasar, harapan Ica adalah melanjurkan ke sekolah menengah pertama yang dekat dengan rumah. Dengan begitu dia  bisa membantu sang mama dalam usaha, dan juga mengasuh adiknya.
Apa daya harapannya harus hangus dalam sekejap. Sertifikat preatasinya ditolak mentah-mentah. Ica terjerembab dalam ketidak berdayaan.
"Kok bisa sertifikat prestasinya tidak ada yang diterima, Bu?" tanya Mama Ica memelas.
"Yang diterima sertifikat lomba berjenjang, dan dari dinas, Ma!" sahut Bu Opi singkat dan padat.
"Ooh, yang dari instansi indenpenden itu juga nggak diterima, ya?" tanya Mama Ica lagi sambil menunjuk sebuah plakat di lemari pajangan sekolah.
"Iya, itu juga ditolak!" sahut Bu Opi miris.
"Bagaimana nasib Ica, Bu? Usianya baru 12 tahun. Dia mengejar prestasi itu, agar bisa menghantarkannya ke jenjang berikutnya lewat jalur prestasi...," keluh Mama Ica bergetar, "bismillah ya, Nak!" katanya sambil menepuk bahu Ica pelan.
Ica sudah menangis dalam diam. Dia berdoa dan berharap ada mujijat untuknya. Dia menahan diri, untuk tidak bercerita tentang cibiran beberapa teman, tentang ditolaknya semua sertifikat lomba. Dia tak ingin membebani pikiran sang mama.
Mereka segera pulang setelah sang mama menandatangani SIDANIRA. Dalam perjalanan pulang, Ica melihat mamanya diam seribu bahasa. Ica tahu saat rapat tadi, ada pembahasan tentang sertifikat lomba yang ditolak.
Ada seorang ibu mengomentarinya dengan nyinyir, "waah, percuma dong, ya... punya sertifikat lomba seabreg, tapi nggak bisa lewat jalur prestasi. Jadi sampah dong tuh sertifikat, hihi..." .