Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Wahyu Tanpa Tulisan Secara Otomatis Lenyaplah Makna: Catatan untuk Sukidi, Ph.D

18 April 2023   16:33 Diperbarui: 10 Desember 2024   23:08 1196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok pemikir Islam Sukidi Mulyadi, Ph.D. jebolan Harvard University (Sumber gambar: geotimes.id)

Sekitar dua tahun lalu, dua tulisan Sukidi Mulyadi, Ph.D. menghiasi majalah Suara Muhammadiyah, Edisi 10/106, 16-31 Mei 2021 dan Edisi 11/106, 1-15 Juni 2021. Kedua tulisan dalam majalah tersebut berjudul: “Tidak Ada Makna Dalam Al-Qur’an” dan “Kontradiksi Makna dalam Mekanisme Pewahyuan.” 

Saya tidak akan jauh menanggapi apa konten dari kedua tulisan mas Sukidi. Terus terang, saya bukan ahli, saya tidak tahu apa-apa.

Kita langsung pada sesuatu yang nampak sederhana, tetapi perlu kita mengajukan beberapa pertanyaan. Katakanlah, jika membicarakan tentang wahyu dan tulisan. Jangankan makna, wahyu tanpa teks tertulis dalam bahasa anak gaul disebut Gaje, “Gak jelas” malah kita tidak tahu apa-apa. Wahyu tanpa dipadatkan dalam bentuk tulisan dan tanpa dimaterialisasi dalam bentuk buku dan bentuk material lainnya, maka kita bisa apa?

Sejauh ini, kita sadar, bahwa tulisan sebagai tanda-tanda dan jejak-jejak. “Sang Penulis–Penyuara” lebih mengetahui apa yang dimaksud dengan tulisan atau teks tertulis. 

Suara belaka apalagi tidak diketahui darimana sumbernya, bisa jadi orang cuma melongoh. Ini mungkin terlalu jauh, firman Tuhan tanpa tulisan, maka “aku tidak tahu.” 

Jadi, jangan nanya bagaimana dengan makna. Belum lagi mengenai ketidakpastian makna atau ketidakhadiran makna transendental setelah tulisan muncul dihadapan kita.

Seandainya wahyu hanya mengandalkan suara atau lafas, betapa naif dan begitu sulitnya kita mengetahui, memahami, memikirkan, menghayati, menafsirkan hingga mengamalkan apa-apa kandungan ayat demi ayat Allah. Apa jadinya wahyu tanpa mushaf, tanpa teks tertulis dalam Al-Qur’an. Saya yakin, kita tidak bisa berbuat apa-apa.

Kita membayangkan, bahwa setiap wahyu turun ke Nabi SAW melalui perantara Malaikat Jibril AS yang tidak dicatat dan ditulis, maka bukan hanya makna, tetapi juga jejak-jejak akan ikut lenyap. Bisa jadi, jejak-jejak lenyap karena tidak ada teks tertulis membuat wahyu tinggal suara atau lafas belaka. 

Wahyu tanpa tulisan akan sulit tertanam dalam ingatan setiap individu akan berimplikasi pada ketidakhadiran penafsiran hingga pemikiran baru dan berbeda.

Dari bahasa tulisan, ia tidak lebih kuat daripada tubuh. Tulisan berkorespondensi dengan wahyu, bacaan dengan suara Ilahi dan dengan lafas yang sempurna. Kita bisa membayangkan tentang apa dan bagaimana suara Ilahi menggema dan menggetarkan menandai wahyu turun dari langit. Hanya Malaikat Jibril AS dan Nabi Muhammad SAW yang bisa menggambarkannya.

Pernyataan seperti belum tentu apa yang dimaksudkan oleh wahyu sama dengan maksud dari tulisan yang ditulis oleh penulis. Persis, belum tentu apa yang dimaksudkan dari makna atas teks Al-Qur’an dari penafsir dengan pikirannya sama dengan pikiran pembaca.

Dari aspek tulisan, makna bukanlah permasalahan sebelum atau sesudah tindakan. Bukankah apa yang disebut Allah dalam wahyu harus persis sama dalam tulisan?  Disamping itu, ada kemungkinan terjadi saat ditangguhkannya antara tulisan dan pembacaaan. Atas dialog antara wahyu dan tulisan, sehingga apa yang ingin ditulis telah dibaca dan apa yang ingin dibicarakan akan terjalin kelindang dengan makna atas teks Al-Qur’an dari penafsir.

Paling tidak, dua pertanyaan muncul. Apa jadinya jika wahyu tanpa tulisan? Bagaimana caranya jika seandainya terjadi keterbatasan penulis untuk menulis saat mendengar lafaz yang tidak elas pengucapannya? 

Tulisan dalam suara batin sebagai syarat sebelum turunnya wahyu sulit ditulis oleh sosok penulis biasa. Tulisan seakan-akan menandai wahyu yang bertujuan untuk menghapus keraguan.

Karena itu, setiap kalimat atau kata-kata yang mengandung makna tidak terhunjam dalam kesadaran, tatanan makna tidak berasal dari citra pikiran. Ia tidak datang sebagai aliran hasrat untuk menulis atau ia tidak datang dari konsep dan metode. Tanda muncul dari sesuatu yang tidak diketahui dan ia tidak memiliki materi pikiran, tetapi, pembacaan atas materi jejak-jejak. Pada saat rujukan dan kelupaan terjatuh dalam perangkap kesejajaran dalam teks tertulis, maka kelengahan menjadi akhir tulisan suara-gambar.

Di situlah, kita tidak memanfaatkan rujukan atau sumber di luar Al-Qur’an sebagai teks tertulis. Efek ketidakhadiran tulisan dalam wahyu membuat kita tidak melakukan apa-apa.

Sebaliknya, diakui bahwa tulisan mengandung "titik buta," sehingga pembaca "rentan" mengalami ketidakhadiran makna transendental dalam teks Al-Qur'an yang ditulis oleh penafsir.  Kita tahu, "titik buta" adalah titik yang tidak disadari oleh apa yang dimaksudkan dalam pikiran penulis atau penafsir berbeda dengan apa yang dimaksud dalam pikiran pembaca. 

Jadi, ketidakpastian atau ketidakhadiran makna transendental bukan dari tahapan wahyu. Ia bukan berarti tulisan gagal menawarkan makna yang pasti setelah wahyu diturunkan. Toh, ketidakpastian atau ketidakhadiran makna transendental atas teks tertulis dalam mushaf Al-Qur'an terjadi karena pembaca hanya membacanya dari satu persfektif dan makna tunggal. 

Setelah wahyu diturunkan dan dipadatkan dalam bentuk tulisan atau mushaf Al-Qur'an, maka terbuka kemungkinan terjadi interaksi antara pembaca dan penulis alias penafsir dari multipersfektif dan multitafsir atau penafsiran yang berbeda dan berubah-ubah.  

Lalu, tulisan mendahului makna. Bisa dikatakan, setiap wahyu sebagai tulisan yang "belum menubuh" atau tanpa sentuhan tangan. 

Tulisan tidak dilihat dari pentingnya proses secara bertahap dari wahyu, tetapi fungsi kemanusiaan. Wahyu bergerak melampaui sesuatu yang bersifat psikis dan mekanis melalui perantara Malaikat Jibril atau langsung dari Allah ke Nabi Muhammad SAW sesuai perkembangan zaman, sehingga tulisan muncul untuk memudahkan interaksi antara penulis dan pembaca. 

Wahyu yang pada akhirnya dipadatkan melalui mushaf Al-Qur'an bukan karena tuntutan zaman, melainkan "tanda komunikatif asali" (arche communicative sign), petunjuk (hudan), dan tanda pembeda (furqan). Pelibatan tulisan atas wahyu tidak hanya untuk membuktikan Al-Qur'an sebagai kitab suci, tetapi juga tanda kemukjizatan. Di situlah pentingnya pemahaman, pemikiran, dan penafsiran hingga pengamalan nilai-nilai ajarannya untuk menguatkan tanda kemukjizatan Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan. 

Efek besar dari tulisan yang termuat dalam mushaf Al-Qur'an ketika ia mampu mengeluarkan umat manusia dari kegelapan (zulumat) ke cahaya (nur) adalah wahyu yang membumi. Membaca wahyu melalui tulisan yang termuat dalam mushaf Al-Qur'an berarti cara membaca tentang harapan masa depan umat manusia.

Lantas, kita betul-betul tidak terperangkap dalam perangkap ganda: lisan dan tulisan, tetapi, perangkap citra-suara yang melibatkan pikiran. Perangkap dalam perangkap dari benda-benda yang dipantulkan oleh pikiran, bukan materi jejak-jejak. 

Setiap bacaan kita atas teks tertulis atau tanda-tanda lain selalu menunjukkan materi jejak-jejak. Materialisasi ketidaksadaran tidak berada di luar pikiran, tetapi dalam tanda yang terlacak dalam tulisan. Tanda itu bukanlah kata-kata biasa, tetapi, “sang penghimpun tulisan” bagi keterserakan jejak-jejak setelah wahyu.

Ketidakhadiran makna yang satu menjadi makna yang beragam dan menyebar setelah terjadi proses penafsiran ulang dan baru, dari satu masa ke masa yang lain. Makna memerlukan petunjuk ke arah jalan yang lebih berliku. Ia tidak lebih dari kekuatan untuk melepaskan diri kita dari masalah bahasa. Keguncangan rujukan telah kuat terhadap kekosongan retakan dengan cara memalsukan ciri khas tanda-tanda baru yang tidak ditampilkan oleh sebuah permukaan tulisan sebagai tubuh yang sama.

Itulah mengapa makna mengalami keterapungan rujukan seiring dengan berakhirnya kedalaman rahasia kata-kata dari seseorang yang berbincang, bukan terhadap pihak yang terlibat di dalam pembicaraan dengannya, tetapi, teks-teks yang telah keluar dari dirinya atau dunia dalam. Kata-kata yang tertuliskan tidak datang dari pikiran (sang penulis dan pembaca buku filsafat), tatkala ketidakhadiran makna dirahasiakan dengan orang yang menikmati surat cinta setelah membacanya tidak lebih menarik melepaskan kata-kata yang menghanyutkannya. 

Kalimat menjadi ruang hasrat untuk menulis (teks tertulis Al-Qur’an setelah wahyu turun). Pernyataan-pernyataan yang mengundang teka-teki yang tidak pasti pengukurannya dan hanya mengambang di sekitar obyek bacaan dan perbincangan yang tidak menantang bagi orang-orang yang menemaninya berinteraksi, sekalipun menjadi ruang teks tertulis beroperasi dari segala penjuru: arah yang diketahui dan tanpa diketahui dari mana ia muncul.

Bebas diri untuk bertindak semaunya tidak berarti teks tertulis digiring dalam permainan bebas tanda tanpa tanggungjawab dibebankan pada penulis yang mengabaikan rujukan. Tulisan dengan ego cogito telah berakhir untuk diperbincangkan sejauh permainan tanda memberi energi bagi yang lain. 

Hasrat untuk menulis dan kesenangan untuk mengingat teks-teks tertulis yang menggoreskan kehidupan dalam kemajemukan. Keadaan mental tidak sejajar dengan pluralitas, karena daya mental sering tidak mampu memikul beban dari sistem mekanis yang bersentuhan dengan pluralitas kehidupannya sendiri.

Tidak ada lagi rujukan jelas jika melulu mendengar pembicaraan, yang ada hanya keluar dari ‘pembebanan makna yang tidak logis’ dan ‘tidak menantang hasrat’. Jika tidak ada lagi yang menggerakkan dunia eksternal, maka dunia internal menyusun kembali wilayah keretakan isi bagi mereka yang tidak mendapatkan bentuk-bentuk kesenangan yang terbayarkan melalui pertukaran makna yang dangkal. Ia bukan pula datang dari kedalaman hasrat yang terputus relasinya antara apa yang telah dibagi-bagi dengan dunia luarl dan apa yang belum dipikirkan sebelumnya.

Sebagai sesuatu yang tidak berada dalam dunia internal, stabilitas, dan ketidakstabilan suara-lisan paling menantang dalam produksi kehidupan. Kedua sisi ini ada di dalam tanda kehidupan. Bukan kehampaan, tetapi pertarungan arus tanda. Bukan lagi hak istimewa yang terlucuti dari makna yang menggunakannya, tetapi persemaian bagi wicara atau lisan dan tulisan. 

Rantai tulisan tentang ironi dan khayalan, tragedi dan jenaka membantu titik kemunculan pluralitas kehidupan. Mereka tidak dapat diabaikan dan bahkan dihancurkan, tetapi, ditunda dan didekap sebagaimana hasrat dan ingatan mengalir dalam teks. Ia menjadi buaian dan rangsangan tersendiri dengan jalan menyebar atau berinteraksi dengan yang lainnya.

Perangkap rujukan dan tekstualitas menjadi sesuatu yang tidak ada maknanya bagi orang-orang yang berkubang dengan buta tanda dan jejak atau kemiripan pada mimpi. Mereka tidak lagi membutuhkan jejak, karena jejak itulah mereka terbuai dan lebih meraba-raba setelah hilangnya kegelapan. Mereka tidak memiliki predikat bangsa primitif, karena jejak-jejak yang ditinggalkannya telah direpresi dan diserap kembali oleh libido bacaan melalui hasrat, mimpi atau ingatan yang khas. 

“Kami bukan lagi golongan orang-orang primitif! Sekarang, khayalan, hasrat, dan kesenangan primitif ditiru oleh manusia modern, seru mereka.” 

Semuanya ada dalam pengulangan. Memang betul, teks tertulis menjadi satu jejak bagi generasi baru, tetapi muncul pula penyelewengan teks dalam bentuk penggunaan alpabetik atau sistem tanda sebagai sesuatu yang “terpusat” dari ras manusia tertentu sebagai krisis makna kemanusiaan. 

Sebagai kalimat atau pernyataan-pernyataan yang meneror setelah terjatuh dalam kefatalan penafsiran teks. Demi (bom-tulisan otomatis) perjuangan yang mereka salurkan, teks-teks tertulis berubah menjadi korban pembicaraan atau narasi yang liar di dunia virtual aliran kode yang tidak terduga.

Inilah penandaan dari teks-teks perjuangan menjadi hasrat untuk membunuh “hasrat untuk menusli yang lain” benar-benar dalam ketidaksadaran. Cukupkah kita mengucapkan selamat tinggal mimpi buruk atau ilusi? Dimana lagi batas-batas garis ketidakstabilan makna, dibandingkan model matematika yang tidak tergoyahkan yang membuat kita untuk tetap waswas terhadap perangkap teks? 

Tidak ada lagi arah dan rujukan, kecuali kesenangan untuk mencumbui seluruh titik celah.

Apa yang terjadi dari akhir konsumsi melalui kekerasan kode, yaitu tanda hasrat yang kabur, bukan dari teks-bacaan asing yang sulit dipahami. Karena kekaburannya, hasrat murni dan hasrat mengambang ditelan oleh hasrat ‘sang lain’. Seseorang di sekitar kita mengatakan: “hasrat ‘sang lain’ merasukiku, hasratku yang menggelikan dalam diriku keluar diantara obyek-obyek yang tidak dapat disalurkan.” Hasrat untuk menulis yang terkekang menghadapi kekaburan realitasnya sendiri. Kecuali disalurkan oleh hasrat seseorang pada sang lain tidak mudah goyah. 

Kata lain,  perangkap dari nilai tanda yang menggelincirkan orang berhasrat yang terkekang dan gerakannya dibutakan oleh teks tertulis, karena hasrat yang terkekang menetralisirnya. 

Dapat saja seseorang memilih bacaan yang disenanginya dan memberinya suatu penilaian, bahwa segalanya mudah termakan oleh nikmatnya kefanatikan ideologi dari seseorang dalam membaca teks yang dengan cara sembrono menafsirkan apa yang dikandungnya. Tidak ada teks agung, jika seseorang sangat haus kebenaran dirinya dan melupakan sang luar yang bukan dirinya. 

Kebutaan makna dari teks, berarti melupakan dirinya sendiri. Justeru, setiap orang yang dengan mudah terperangkap dalam kefanatikan buta dengan teks tertulis yang dimilikinya adalah semudah-mudahnya perangkap. 

Satu perangkap dari kefanatikan buta atas teks (terutama taraf ideologi) yang dimilikinya setelah kita keluar dari permainan ego cogito yang tertutup bagi dunia lain. Terhadap kesalahan penafsiran, mungkin hanya satu sisi, tatkala kita melarutkan diri tanpa diagnosis, pengacakan, peretakan, dan pembaruan kembali apa-apa yang menjadi bahaya perangkap teks yang kita gumuli secara tidak sadar.

Tulisan yang dimaterialisasi dari wahyu bukan dua kutub yang berlawanan. Keduanya tidak terdiri secara bebas satu sama lain dan bukan dua entitas yang setara. Kita sudah mengetahui, tulisan setelah wahyu sebagai bagian dari bentuk kepedulian. Karena itu, tulisan dan wahyu selalu merupakan satu komponen, kaya makna, dan banjir kata-kata yang mengalir deras keluar dari satu penafsiran ke penafsiran lainnya.

Kata lain, makna dari teks Al-Qur’an yang bersifat plural dan bahkan kontradiktif terjadi saat tulisan muncul dalam kehidupan intelektual dan sosial. Tetapi, makna yang bersifat plural tidak bisa direduksi oleh adanya tulisan baru dan berbeda dari sebelumnya. Tulisan baru dan berbeda muncul karena justeru dikotomi ini tidak mencerminkan makna yang saling berlawanan satu sama lain, tetapi telah ditentukan secara hierarkis, di mana yang pertama selalu mendapatkan prioritas baik secara temporal maupun makna kualitatif kata tersebut.

Satu hal yang sebenarnya tidak menggelikan untuk disebut berulangkali adalah mekanisme. Tulisan sebagai mekanisme. Menurut Sukidi, penafsiran atas teks Al-Qur’an yang memproduksi yang plural dan kontradiktif merupakan mekanisme. 

Untungnya, penafsiran sebagai mekanisme dan tulisan sebagai mekanisme begitu memikat. Mekanisme bisa melampaui sintaksis atau tata bahasa.

Sebagian yang lain, mekanisme hasrat untuk menulis seiring mekanisme pendisiplinan ilmu pengetahuan. Mekanisme tersebut keluar dari makna ritual-persembahan terhadap sang abstrak. Seorang yang hanya tertarik membaca tentang pendisiplinan ilmu pengetahuan atau mekanisme penulisan usai wahyu diturunkan. Menjalankan mekanisme secara sepintas lalu atau secara dangkal berarti menyediakan waktunya sejenak untuk berada dalam “pra mesin tulisan.”

Suatu teks tertulis yang tidak menimbulkan kecabulan berarti bukan kebutuhan bagi liur dan darah untuk memiliki aliran produksi-sirkulasi, kecuali produksi-sirkulasi abstrak. Setiap kalimat atau proposisi atau logika yang dimuat dalam buku-teks tertulis diminati karena alasan, seperti bagus sampulnya, menarik judulnya, pengarangnya terkenal atau bentuknya membuat penasaran pembaca melalui arus hasrat yang terjaga atau tersteril dari titik gelap akan menjadi suatu mesin ingatan yang tentu saja pada awalnya ditandakan ruang kosong. 

Saya melihat, bahwa setiap kata dan suara di sekitar kita yang jauh dari prasangka buruk tetap selalu menjadi rangkaian mesin ingatan yang seringkali tidak membutuhklan sesuatu yang berkekuatan abstrak dan pengulangan, karena dengan energi yang tidak rapuh, tertanam dalam-dalam dan bergerak leluasa untuk berinteraksi dengan aliran hasrat, pikiran, khayalan, dan yang lainnya.

Mesin abstrak menjadi mesin abadi. “Mesin hasrat” Deleuze-Guattari sebagai sesuatu yang tidak dilupakan oleh mesin ingatan. Identifikasi mengenai ingatan sama dengan kekuatan abstrak masih menjadi teka-teki atau sesuatu yang masih misterius di dunia ini bersama aliran hasrat untuk pengetahuan dan aliran tulisan. Ditambahkan, tulisan tidak diganggu khayalan, mimpi, pikiran, dan kesenangan yang melimpah. Semuanya dibentuk oleh tulisan (kulit onta, papirus, dan seterusnya) setelah wahyu diturunkan. Semuanya digambarkan sebagai sesuatu yang tidak asing dan rahasia dalam setiap zaman. Ada waktu seluruhnya produktif, dipuja-puja dan di waktu lain disepelehkan, abortif, bahkan dicurigai, persis seluruhnya tidak mengurangi energi manusia dalam kehidupan.

Suatu tulisan tentang kehidupan yang dirindukan melalui “mesin abadi” datang dari teks tertulis tentang kasih sayang dan kebencian, kepedulian dan keacuhan, keadilan dan kezaliman, kerajinan, dan kemalasan serta seluruh irama yang bergerak saling bergulat, bersilih ganti dan berebah. 

Setelah menghilang dalam teks visual, “mesin abadi” muncul kembali dalam model-model baru yang tidak terpikirkan sebelumnya. Ini mungkin pasca model sinematik sebagai citra atau penjelajahan yang dapat melumpuhkan nalar. Seluruhnya samar kembali dalam keluh kesah, ketulian dan keborosan.

Kita tidak memulai perbincangan setelah teks dirampungkan hanya dengan mesin kata-kata, tetapi juga mesin ingatan melalui bank kenangan, album foto, kaleidoskop, dan arsip film yang tidak melawan relasi antara arus produksi hasrat dan ekonomi, seperti rokok atau busana. Tidak peduli harga dan indeksnya menjadi wilayah permainan dengan kode yang dibentuknya. Telinga-telinga dipasang alat pendengar jauh dari ambang batas teks filsafat, ilmiah-revolusi, peperangan, dan penaklukan.

Tetapi, untuk sang penulis besar (penafsir besar Al-Qur’an), saya mengatakan (sang penulis pemula). “Saya ingin menulis kisah pahit getir Anda.” ”Saya tidak memulai kisah Anda dengan permasalahan bulu kuduk, kecuali rumus atau teori baru anda tentang energi tidak terhingga.” Kadangkala, selingan lelucon adalah prasyarat tulisan baru dalam ingatan atau imajinasi. Energi untuk menulis atau penaklukan atas hasrat untuk menulis tidak datang dari penafsiran, tetapi langsung dari suara bisikan murni di luar makna sesudah ditafsirkan oleh sang penafsir.

Penafsir dan penulis lebih dari tanda yang tidak dapat dicatat di halaman terakhir dari buku harian, tetapi sebagian kata harus ditebalkan, dikurungkan atau dipertanyakan kembali apa yang dimaksud. Setelah berjalan cukup lama, mungkin kita akan lebih berhati-hati terhadap setiap pergerakan tulisan aneh. “Anda ingin mengkonsumsi obat sambil membaca buku,” “saya bukan manusia pembaca,” atau “saya melawan suatu tulisan yang mengumbar kata-kata manis saja di dalamnya.” 

Rangkaian ilusi dan ironi dalam kebebasan itulah yang perlu kita cumbui melalui model tulisan. Relasi-relasi penampakan tidak bertahan lama selama hanya sampai di bibir belaka. 

Suatu gerakan di sekitar kita yang tidak tertumpahi aliran revolusi tulisan. Untuk setiap makna yang kosong dari gerakan dan luapan kesenangan membaca kolom berita tentang kredit atau pinjaman yang kita butuhkan. Tidak ada makna, kebutuhan atau pemuasan hasrat.

Semuanya adalah hasrat untuk mengelabui diri, revolusi dalam revolusi. Model mekanis dan tulisan menjadi mesin ganda yang kita temukan dan digunakan setelah revolusi filosofis dan masih berlangsung, kecuali kita telah berhenti memainkan permainan sederhana yang melekat pada diri kita. Kecuali rantai revolusi makna yang kabur akibat penghianatan hasrat dan seksual. 

Kita menghadapi krisis dari dalam, bukan dari tubuh kita, karena satu sisi permainan kedalaman teks tertulis melawan kegelapan makna yang digumuli, dibandingkan hasrat untuk melunasi atau menikmati produk mewah dari merek dagang tertentu. Mungkin kita masih mengingat, bahwa merek dagang adalah bagian dari aparatur tulisan yang bisa jadi setiap saat akan meneror atau menyiksa pikiran, dimana aliran hasrat dan kesenangan mengambilalih ruang kosong-titik celah dalam peristiwa.

Sebagai sesuatu yang tidak berasal dari permukaan atau instrumen, revolusi-model filosofis-ilmiah mendahului model mekanis-teknik, seperti mesin cetak, mesin foto kopi. teks tertulis benar-benar dalam ruang dan waktu yang berbeda. Ia sama dengan di saat ditulis, dicetak, didistribusi, dibaca, dan seterusnya. Penindasan atau eksploitasi manusia bukan lagi teks tertulis dari teater atau drama biasa. Bukan hanya tidak ada dalam ruang psikis kita, tetapi juga mimpi. Alirannya nyata dan bergerak sebagaimana hasrat memiliki relasi dengan kesenangan bahkan pikiran. 

Suatu teks tertulis dalam proposisi dan logika yang dibangunkan dari pinggiran aliran hasrat. Ia tidak ada titik celah bagi orang  yang berhenti menulis, sekalipun tintanya habis dialirkan, ditorehkan, dan diabaikan oleh pembaca kritis.

Misalnya, teks tertulis  masih tetap mampu bangun dari citra-suara penindasan atau teror begitu dekat dengan kita. Dalam ketidaksadaran, ia menerobos teks tertulis-buku perpustakaan di benua Eropa, Asia, Afrika atau Amerika. Apapun isinya, gelora-teks tidak terkondisikan dengan tulisan hieroglyphic Mesir atau ideogram. Selain mengingat kembali, titik celah keluar dari “sunyi” dan teks tertulis juga kembali menghadapi dirinya sendiri dalam keterpenuhan kata untuk diteliti.

Mungkin perlu diungkapkan, bahwa setiap bentuk perjuangan berbahaya yang tidak dimaknai datang dari maksud penulisnya, bukan dari kelengahan pembacanya. Teks tanpa kertas. Kita masih tetap menghadapi “sunyi” dan “kosong” menjadi agensi dari teks tertulis menciptakan pusaran dan sedotan yang tidak dalam. 

Kini, bentuk berubah dari ideogram ke hologram. Kita masih berada di era hologram yang mencapai permukaan yang retak diantara kekerasan citra-tulisan.

Kembali ke tema yang mungkin dilupakan sejenak dalam pergerakan ingatan dan khayalan yang menerawang kosong. Setelah tidak ada lagi yang dapat dipertahankan dari kerapuhan kata yang dikendalikan oleh nalar sebagai “sistem narasi yang terpusat” bagi yang lain. 

Setiap celah kata yang dituliskan yang selanjutnya menjadi bahan pembicaraan tidak akan pernah solid tanpa pergerakan teks yang benar-benar hidup untuk diresapi melalui teks tertulis.

Tema yang bicarakan dalam Al-Qur’an terus menerus bersama teks tertulis tidak pernah berlawanan arus. Teks tertulis adalah jalinan antara mimpi, ingatan dan kesenangan. Teks tertulis seiring meditasi dan kebebasan. Teks tertulis adalah penandaan yang independen. Aliran citra dalam teks tertulis bergerak di sekitar kita. 

Misalnya, “Filsuf membaca kurs mata uang   terdepresiasi di berita utama koran” atau “Dokter membaca teks berjalan sebuah iklan parfum di televisi.” Kedua frasa tersebut bukanlah relasi antara permukaan dan rangsangan, melainkan “kebutaan rujukan.” Teks sebagai tubuh menunda rujukan bagi pembentukan relasi antara istilah dan produksi, akhirnya dikaburkan dengan makna lain yang bersifat plural tidak direpresi dalam tulisan. 

Tetapi, wilayah pergerakan teks tertulis ditemukan dalam ketidakhadiran aliran ganda, yakni tanda ingatan dan hasrat yang dimolekulerisasi menjadi kesenangan untuk menghitung kumpulan celah kelengahannya sendiri.

Peristiwa kecil dalam aliran teks tertulis menelan korban kesadaran. Kurs mata uang dan iklan parfum bukan lagi bagian dari citra modal atau tanda hasrat sepanjang masih berada pada taraf makna, kecuali ia membebaskan dirinya dari kata yang menipu dirinya di balik maksud dari pemanfaat istilah. Setiap “kebutaan atas rujukan” berlangsung dalam taraf makna menjadi teks tertulis, tatkala rangkaian tanda hasrat atau teks visual tidak memiliki keterkaitan dengan “tanda kelaparan” atau ketidakpedulian pada hasrat atau kesenangan untuk berbagi tulisan

Ada sesuatu yang belum dirampungkan dalam ungkapan sederhana dari kematian ke kematian tanpa surat wasiat, tanpa kuburan dari penulis dan pembaca, kematian narator dan editor.

Teks tertulis mengenai hasrat seksual yang dieksploitasi, misalnya. Lain halnya, istilah melawan citra yang didramatisasi sedemikian rupa, seperti terpikat oleh suara setelah menonton atau membaca iklan perawatan tubuh.

Apa yang berbahaya, bukan teks, bukan buku, tetapi dalam dirinya sendiri: dari jiwa penulis atau pengarang. Karena kepamriahannya untuk disanjung-sanjung, dihadiahkan, ditawarkan dan ditukarkan dengan status atau gengsi, akhirnya tidak sebanding dengan nilai perjuangan hakiki, gerakan hasrat untuk menciptakan perjuangan baru. 

Jadi, dia hadir bukan untuk diingat kembali. Paling berbahaya dari hasrat seseorang, tatkala dia menciptakan trik-trik dalam permainan politik sebagai permainan kata dan kalkulasi. 

Kata-kata, naskah atau teksnya dinilai sangat berbahaya, sehingga bukan hanya pergerakannya dikendalikan, dibatasi dan dijinakkan oleh lembaga kuasa yang cenderung tiranik, tetapi jiwanya. Dunia jiwa dan teks tertulis diistirahatkan oleh khayalan dan hasratnya sendiri. Kita melihat teks melimpah, memenuhi semua ruang, berarti taktik atau cara beragam dijalankan teks untuk menciptakan relasi kuasa tersendiri. 

Semuanya itu tidak ada relasinya dengan rangkaian aliran kode moral, melainkan hasrat dan perjuangan dari kesenangan. Mesin abadi merupakan pengantar yang baik bagi rangkaian gelak tawa dan jeritan ditemukan di dalam dan di luar jaringan tulisan.

Banyak pelajaran dari jaringan ini melalui layar yang ditonton, ternyata luapan hasrat birahi tidak menjadi sekedar diangkat dalam kisah nyata, dituliskan yang bertujuan untuk mengurangi overproduksi gelak tawa dan jeritan manusia. Ia tidak menyembuhkan, malahan ia menjadi kekerasan citra-teks melalui layar yang menciptakan mimpi dan kesenangan nyata dari tulisan.

Tetapi, citra-teks tertulis-suara Ilahi dalam Al-Qur’an yang bergerak terus menerus tetap tidak merubah teks aslinya. Meskipun citra virtual menggantikan novel melalui reproduksi, sang sutradara tidak serta merta menghancurkan sang penulis. Maka dari itu, keduanya dikembalikan pada penonton atau pembacanya untuk menilai yang mana sisi gelap dan sisi terangnya. Seluruhnya diserahkan pada teks tertulis yang datang wahyu. 

Akhirnya, penulisan atas wahyu dalam periode sahabat Nabi SAW menjadi "kisah nyata" mampu menerobos dinding zaman atau batas-batas waktu dan melampaui buku fiksi. Kisah nyata yang tertulis menghimpun terang dan gelap hanya menjadi sisi samar-samar. Titik lupa diri direnggut oleh penerobosan aliran tulisan paling tua dari zaman awal penulisan mushaf Al-Qur’an. Penulisan tersebut bukan kehadiran ganda, yaitu terang dan gelap. Jalinan dalam jalinan. 

Ingatan tidak muncul dalam teks tertulis tanpa jalinan korespondensi jiwa dari penulis, kecuali menerobos ingatan yang lambat. Ingatan bukanlah representasi bahasa lisan bagi yang lain.

Bagaimana membunuh kejenuhan, kita mungkin terlalu banyak bersenang-senang membaca kartu. Tatkala Anda melepaskan semua kengerian, maka bacalah di dalam pikiranmu!

Terlalu banyak membuang kotak suara publik. Tidak ada gaya mengambang atau datar di nol gravitasi apabila teks tertulis tertanam atau tergoreskan tanda tidak membebani kotak suara kosong. Pernyataan dan proposisi tentang deus ex machina keluar dari fungsi sutradara, aktor dan panggung atau pengarang, pembaca dan kertas. 

Terlalu lambat untuk diawasi secara ketat, dimana represi hasrat menjadi “kekerasan teks.” Pergolakan persepsi akan dimasukkan dalam kolom, paragraf, dan fragmen yang tersusun untuk dintimi.“Anda tahu ini adalah produksi citra yang dipasarkan. Kami sedang mengawasi produk terlarang. Demikian juga kami. Terima kasih pada Anda. Berkat pergerakan Anda, produksi tuilisan akan merosot. 

Anda memainkan permainanmu, saya menghentikan tulisan yang sudah kadaluwarsa. Tidak ada pengadilan, tidak ada hukuman, kecuali hanya daftar tuntunan, jika tulisan yangbsudah usang setelah sekian lama wahyu sudah tidak ada lagi.

Wahyu, tulisan, Al-Qur’an, dan pengetahuan selalu dalam bentuk yang bisa disentuh dengan tubuh murni. Tetapi, citra ditopang oleh hasrat dan kesenangan dari banyak orang melalui tubuh, tatkala tokoh penafsir muncul sebagai bahan pembicaraan. Teks tertulis sebagai tubuh menyerap abjad dan numerik dalam naskah atau kertas. Ejaan dan lafasnya sejajar dengan aliran hasrat dan kesenangan untuk pengatahuan tentang tulisan. Suatu daftar permainan sedang dibacakan. Kotak suara publik menjadi permainan, suatu ruang mengambang bebas bagi mesin citra-kata. Ingatan, ejaan, dan lafaz dari tokoh legendaris sedalam dan sedekat dengan mesin citra-kata yang dapat ditekstualkan kembali melalui permainan yang diproduksinya. 

Penulis atau penafsir tidak memerlukan lagi kotak suara publik. Dia menciptakannya sendiri dari pemikiran dan penafsiran baru ke pemikiran  dan penafsiran baru lainnya.

Sebagaimana kesenangan untuk merenungkan tulisan dari seseorang, suatu tubuh tidak lagi digunakan untuk saluran pemuasan, dari pengakuan ke kesaksian di dalam relasi antara produksi dan teks. 

Tubuh fisik bukan digunakan untuk menawarkan dan mengendalikan, tetapi sebaliknya digunakan oleh hasrat dan kesenangan, tatkala ada sesuatu yang tidak terpikirkan. Tubuh dapat muncul, tatkala teks ditemukan didalamya. 

Tetapi, tubuh fisik bukanlah kumpulan teks. Semakin teks dicari di belantara musik atau lukisan, semakin meningkat arus produksi hasrat yang tidak terbendungkan. Segalanya terjadi bukan lantaran penggunaan persepsi atau representasi ingatan. Kita akan kehilangan jejak karena tubuh tidak ditemukan lagi teks yang ada didalamnya. Sejauh orang-orang yang memiliki kesenangan untuk membebaskan dunia dari kecanduan teks tampak cukup dekat dengan hasrat sebagai kuasa yang memprogram dan mengendalikan permainan.

Dalam permulaan kata terakhir di tengah malam dan “dari seluruh kalimat yang muncul, dari terbit sampai tenggelamnya matahari.” Saya meletakkan tulisan setelah hasrat untuk pengetahuan dan kesenangan menulis bilangan ganjil, dari terminal ke terminal lain. 

Titik bacaan terhadap tanda yang terang muncul di tengah kata-kata sunyi sekaligus bergelora. Ia bergerak di dalam diri saya dari teks bacaan yang tidak akan selesai untuk ditulis secara tuntas. 

Segalanya adalah kesenangan abstrak yang mesti dicari jalannya kembali untuk menemukan sesuatu yang tidak diketahui dari mana memulai menuangkan kata-kata yang tertulis, tatkala perjuangan masih berada di dalam teka-teki mimpi. Tanda mimpi membuat penasaran untuk ditulis titik celah yang belum pernah dibaca.

Pembacaan berulang-ulang memiliki teka-teki penggodaan yang memproduksi kesenangan untuk berbagi dan hasrat untuk mengetahui wahyu melalui Al-Qur’an yang tertuliskan. Satu contoh. “Saya menyenangi bacaan yang belum pernah dibaca." Bentuk kesenangan atau hasrat ini melintasi citra modal atau bahkan glosari dan katalog buku sebagai penjelajahan. Dalam aliran kata yang terlepas dengan dunia luar, saya melihat pergerakan ingatan dan kata-kata yang diucapkan keluar dari segala yang mudah tergelincir dalam obyek benda-benda tiruan, kecuali kata-kata dari kekaguman ke ketularan, dari perenungan ke penggodaan. 

Membaca teks tertulis atau mengucapkan kata-kata yang disenangi dan disadari benar-benar saya melihat gelombang arus dan gejolak murni yang tidak datang dari luar, tidak lebih sebagai titik penggodaan.

Meskipun kata berubah menjadi bentuk perbincangan berlangsung dalam benteng atau ruangan yang berlapis-lapis, segalanya masih terbawa arus oleh penggodaan dari dalam. Sepanjang yang kita ketahui, molekulerisasi hasrat untuk menulis secara bebas dari sekian lama wahyu diturunkan dengan perbedaan bentuk tulisan dan basis material (mesin cetak mushaf Al-Qura’an pasca revolusi industri hingga era digital). 

Wahyu memang tidak bergantung pada teks tertulis tertulis yang dikagumi, melainkan tulisan yang menggoda pembaca dan setiap relasi yang didekatkan dengannya. Apakah saya telah digoda oleh tulisan fiksi atau tiruan? 

Dari kekaguman ke penggodaan, berarti permainan ketularan melawan kekebalan kata-suara nyata, sekalipun citra artifisial menerima teks tertulis dari siapapun tidak dapat dibelokkan. Sang peniru akan bangkit dari hasrat untuk mengetahui seberapa jauh tangannya tetap melayang, tatkala menekan kata “menyimpan” istilah menjadi ketidaksadaran aksara dalam buku catatan elektronik, tanpa kertas. Setelah bermain, teks tertulis sebagai tubuh dalam layar tanpa bayangan menyerap makna Al-Qur’an yang bersifat plural setelah penafsiran dari penafsir. 

Sedikit demi sedikit, rangkaian kalimat atau huruf demi huruf dalam mesin tulisan menunjukkan tidak ada perbedaan bahasa matematika dalam mesin hitung. Istilah yang satu tidak menggeser istilah yang lain.

Dalam model permainan nyata, sistem kuasa mengemas dan menyebar teks tertulis di dalam rangka mengontrol pertumbuhan penduduk, seksualitas remaja atau obat terlarang. Sistem kuasa tidak membekali dirinya dengan teknik penggodaan, melainkan mengembangkan rantai produksi ketularan pada sesuatu yang terlanjur disenangi atau digemari. 

Sampai saat ini, tulisan bisa dimainkan melalui tanda kuasa tidak berasal dari sistem politik atau sistem ekonomi, melainkan sirkulasi dan jaringan kontrol. Sudah tentu, wahyu dimaksudkan bukan buku Foucaldian melihat institusionalisasi tulisan yang mengontrol publik. 

Nah, setiap teks tertulis terlepas apakah membujuk atau tidak, ia hanyalah  bagian dari aparatur kuasa yang menyenangkan oleh siapa saja, bukan satu individu, dominasi dan hirarki belaka, tetapi pluralitas untuk menjelajah. Model teks tertulis dalam kuasa adalah penaklukan. Kuasa tulisan adalah untuk mengabadikan membaca Al-Qur’an yang dipadatkan melalui tulisan.

Kita tidak akan terburu-buru mengatakan bahwa wahyu adalah relasi kuasa alam pengertian yang sempit, terutama relasi produksi, kecuali kuasa dan tanda yang dialirkannya memiliki relasi antara teks tertulis dan penerapan, strategi dan kesejahteraan, jaringan dan keadilan. Ataukah, semuanya ini hanyalah tulisan? 

Suatu ungkapan bagi jaring laba-laba yang rapuh. Teks tertulis memperkaya dirinya sendiri karena wahyu yang mengarahkannya. 

Jadi, setiap teks tertulis dalam tanda keilahian menjadi suatu mekanisme yang serasi dengan wahyu. Teks tertulis melalui mushaf Al-Qur’an sebelumnya sebagai penandaan secara tertulis telah diprogram, dicetak, disebar, dan dievaluasi dalam tanda zaman. Dari titik ini, kata-kata yang telah diperbincangkan tidak lagi untuk diledakkan keluar, melainkan berada dalam mekanisme kontrol yang dimainkan melalui tulisan.

Coba tengok tulisan bakal berhubungan dengan yang lain!

Setiap permainan yang disenangi dituntut mengejar posisi dan level status. Tulisan-simbol diproduksi oleh tulisan-simbol. Hakikat produksi kehidupan dan cara mekanis, kuasa dan pengetahuan adalah peperangan abadi yang disimbolisasi atau ditandai oleh dirinya sendiri. 

Bukan perpecahan, melainkan jalinan kelindang. Dari teks tertulis bergerak secara mekanis menerobos tubuh menjadi mekanisme hasrat untuk mengetahui.

Kini dan sampai batas yang tidak dapat kita tentukan, makna tidak lagi sebatas sisi gelap dan terang, tetapi juga begitu kompleks pergerakannya makna menjadi permainan kembali dari tanda atau kata. Berapapun luasnya wilayah ketidakstabilan makna, saat ketidakhadiran bahasa lisan dari wahyu lantaran tulisan mengambil-alihnya. 

Lain halnya, ketika Anda berada dalam mekanisme pembacaan atas teks tertulis diisyaratkan dengan setiap babakan, pertukaran, pergeseran, pembalikan, dan hentakan perlu dibaca ulang agar pembaca dibuat lebih kepo tentang pentingnya tulisan.  

Naskah yang dihafal atau dibaca berulang-ulang agar lebih fasih diucapkan di atas panggung sesungguhnya perkara metode untuk memikul beban dari proses pembacaan atau penyelidikan atas teks tertulis setelah wahyu. Teks tertulis dari Al-Qur’an tidak datang dengan sendirinya. Selain tulian dan mesin tulisan (apapun bentuknya) itu sendiri, penafsir terlibat langsung untuk memperkenalkan sejauh mungkin tentang cara pembacaan dalam setiap relasi yang dibentuknya. 

Sebuah jalin kelindan menjadikan pembaca, penikmat, penonton, dan seluruh pihak yang terlibat atau tidak secara langsung akan mengagumi lekak-lekuk menggiurkan dari kesenangan yang nyata.

Sudah tentu, teks tertulis masih perlu ditafsirkan kembali secara luas dan beragam sampai pembaca bergerak dari satu celah ke celah lain. Penafsiran atas teks tertulis Al-Qur’an tidak keluar dari wahyu, kecuali kontekstualitas perlu dikembangkan akibat perkembangan zaman yang selalui dinamis dan cair.

Dalam pemikiran Islam, bahasa lisan selalu diberi nilai tinggi.

Tetapi,  bahasa tulisan diberi nilai “lebih” tinggi. Kita mengetahui, bahasa bahasa lisan menandai pembicara dan pendengar hadir secara serempak. Mereka tidak ada jarak spasio-temporal antara pembicara, pembicaraan, dan pendengar. Karena pembicara dan pendengar diandaikan terjalin kelindang dalam satu momen pembicaraan, dimana pembicara dan pendengar saling mendengarkan satu sama lain. 

Masih ada anggapan bahwa dalam bahasa lisan belum tentu diketahui apa yang pembicara maksudkan. Memahami apa yang kita katakan berarti mengatakan apa yang kita tuliskan, serta mengetahui apa yang telah kita tuliskan. 

Gambaran mengenai makna yang hadir secara penuh ini dari penafsir atau penulis. Menurut Derrida, ia merupakan wujud ideal yang melatarbelakangi pemikiran atau peradaban modern (Barat).

Mesin kertas atau tulisan otomatis yang menopang penafsiran atas teks memungkinkan akan melebihi wahyu karena konteks yang berbeda. Penulisan sebanyak penafsirang atas teks Al-Qur’an setelah diwahyukan. Tidak jauh dari hal tersebut, tulisan yang disusun dan memistifikasi siapa saja yang memiliki melek huruf yang tinggi. 

Huruf-huruf yang tersembunyi apalagi yang nampak dalam mesin uang atau mesin kertas dinikmati oleh orang pada saat muncul tulisan otomatis yang tersibernisasi. “Tulisan dalam wahyu.” Tulisan bersifat imanen membuat wahyu melalui Al-Qur’an akan dipahami dan ditafsirkan dari segala macam persfektif.

Kesenangan atas tulisan adalah ketidakhadiran tidur atau malas. Ketidakhadiran total karena hilangnya sebagian tulisan. 

Karena itu, para pembaca bisa menelusuri bentuk tulisan dari model tulisan dalam wahyu. Bisa dikatakan, wahyu sebagai tulisan tanpa tinta.

Di sini, saya pikir, tidak diragukan lagi, bahwa model tulisan dalam Al-Qur’an setelah wahyu tidak bisa direduksi menjadi bahasa lisan seperti piktografik, ideogrammatik, dan elemen fonetik. Tulisan dalam Al-Qur’an bisa dibaca dalam bentuk kode apa pun.

Dalam batas yang terlalu jauh, saya setuju dengan Derrida, bahwa tulisan tulisan merupakan aktivitas yang dilakukan dalam rangka mengatasi jarak. Penafsir atau penulis menuangkan pikiran-pikirannya dalam tulisan di atas kertas hingga di layar medsos, berjarak dengan dirinya sendiri, berkelindang sejauh mungkin menjadi sesuatu yang  bisa dinikmat dengan ragam bacaan, sekalipun orang tidak hidup periode pewahyuan.

Sampai kemuadian, mereka yakin bahwa tulisan akan mengatasi wahyu yang turun bukan di zaman kita melalui teks Al-Qur’an. 

Terus, seseorang yang doyan membaca teks agama di tengah makna yang berbeda dan kerap berubah dalam pemikiran, pemahaman, dan penafsiran. 

Saya kira, makna yang beragam dan selalu berubah dalam teks Al-Qur’an setelah penafsiran dari penafsir tidak hanya mewujudkan dirinya, tetapi juga melampaui “jejak” (tulisan) itu sendiri. Maka sebagai akibatnya, tulisan akan melahirkan makna. Mustahil makna mendahului tulisan dalam teks Al-Qur’an. 

Kata lain, tulisan sebagai aliran hasrat untuk mengetahui yang dipadatkan setelah Al-Qur’an diwahyukan. Ajaibnya, teks tertulis dalam wahyu (Al-Qur’an yang dipadatkan) telah mengatasi rujukan yang tidak stabil. Teks tertulis dalam mushaf Al-Qur’an dengan makna selalu berubah dalam relasinya dengan pembaca dan situasi pembacaan yang berbeda-beda karena tidak cukup hanya sampai pada tahapan wahyu. Karena itu, wahyu niscaya dituliskan dengan tulisan yang hidup dan tidak setara dengan tulisan lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun