Karena itu, para pembaca bisa menelusuri bentuk tulisan dari model tulisan dalam wahyu. Bisa dikatakan, wahyu sebagai tulisan tanpa tinta.
Di sini, saya pikir, tidak diragukan lagi, bahwa model tulisan dalam Al-Qur’an setelah wahyu tidak bisa direduksi menjadi bahasa lisan seperti piktografik, ideogrammatik, dan elemen fonetik. Tulisan dalam Al-Qur’an bisa dibaca dalam bentuk kode apa pun.
Dalam batas yang terlalu jauh, saya setuju dengan Derrida, bahwa tulisan tulisan merupakan aktivitas yang dilakukan dalam rangka mengatasi jarak. Penafsir atau penulis menuangkan pikiran-pikirannya dalam tulisan di atas kertas hingga di layar medsos, berjarak dengan dirinya sendiri, berkelindang sejauh mungkin menjadi sesuatu yang bisa dinikmat dengan ragam bacaan, sekalipun orang tidak hidup periode pewahyuan.
Sampai kemuadian, mereka yakin bahwa tulisan akan mengatasi wahyu yang turun bukan di zaman kita melalui teks Al-Qur’an.
Terus, seseorang yang doyan membaca teks agama di tengah makna yang berbeda dan kerap berubah dalam pemikiran, pemahaman, dan penafsiran.
Saya kira, makna yang beragam dan selalu berubah dalam teks Al-Qur’an setelah penafsiran dari penafsir tidak hanya mewujudkan dirinya, tetapi juga melampaui “jejak” (tulisan) itu sendiri. Maka sebagai akibatnya, tulisan akan melahirkan makna. Mustahil makna mendahului tulisan dalam teks Al-Qur’an.
Kata lain, tulisan sebagai aliran hasrat untuk mengetahui yang dipadatkan setelah Al-Qur’an diwahyukan. Ajaibnya, teks tertulis dalam wahyu (Al-Qur’an yang dipadatkan) telah mengatasi rujukan yang tidak stabil. Teks tertulis dalam mushaf Al-Qur’an dengan makna selalu berubah dalam relasinya dengan pembaca dan situasi pembacaan yang berbeda-beda karena tidak cukup hanya sampai pada tahapan wahyu. Karena itu, wahyu niscaya dituliskan dengan tulisan yang hidup dan tidak setara dengan tulisan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H