Dari aspek tulisan, makna bukanlah permasalahan sebelum atau sesudah tindakan. Bukankah apa yang disebut Allah dalam wahyu harus persis sama dalam tulisan?  Disamping itu, ada kemungkinan terjadi saat ditangguhkannya antara tulisan dan pembacaaan. Atas dialog antara wahyu dan tulisan, sehingga apa yang ingin ditulis telah dibaca dan apa yang ingin dibicarakan akan terjalin kelindang dengan makna atas teks Al-Qur’an dari penafsir.
Paling tidak, dua pertanyaan muncul. Apa jadinya jika wahyu tanpa tulisan? Bagaimana caranya jika seandainya terjadi keterbatasan penulis untuk menulis saat mendengar lafaz yang tidak elas pengucapannya?Â
Tulisan dalam suara batin sebagai syarat sebelum turunnya wahyu sulit ditulis oleh sosok penulis biasa. Tulisan seakan-akan menandai wahyu yang bertujuan untuk menghapus keraguan.
Karena itu, setiap kalimat atau kata-kata yang mengandung makna tidak terhunjam dalam kesadaran, tatanan makna tidak berasal dari citra pikiran. Ia tidak datang sebagai aliran hasrat untuk menulis atau ia tidak datang dari konsep dan metode. Tanda muncul dari sesuatu yang tidak diketahui dan ia tidak memiliki materi pikiran, tetapi, pembacaan atas materi jejak-jejak. Pada saat rujukan dan kelupaan terjatuh dalam perangkap kesejajaran dalam teks tertulis, maka kelengahan menjadi akhir tulisan suara-gambar.
Di situlah, kita tidak memanfaatkan rujukan atau sumber di luar Al-Qur’an sebagai teks tertulis. Efek ketidakhadiran tulisan dalam wahyu membuat kita tidak melakukan apa-apa.
Sebaliknya, diakui bahwa tulisan mengandung "titik buta," sehingga pembaca "rentan" mengalami ketidakhadiran makna transendental dalam teks Al-Qur'an yang ditulis oleh penafsir. Â Kita tahu, "titik buta" adalah titik yang tidak disadari oleh apa yang dimaksudkan dalam pikiran penulis atau penafsir berbeda dengan apa yang dimaksud dalam pikiran pembaca.Â
Jadi, ketidakpastian atau ketidakhadiran makna transendental bukan dari tahapan wahyu. Ia bukan berarti tulisan gagal menawarkan makna yang pasti setelah wahyu diturunkan. Toh, ketidakpastian atau ketidakhadiran makna transendental atas teks tertulis dalam mushaf Al-Qur'an terjadi karena pembaca hanya membacanya dari satu persfektif dan makna tunggal.Â
Setelah wahyu diturunkan dan dipadatkan dalam bentuk tulisan atau mushaf Al-Qur'an, maka terbuka kemungkinan terjadi interaksi antara pembaca dan penulis alias penafsir dari multipersfektif dan multitafsir atau penafsiran yang berbeda dan berubah-ubah. Â
Lalu, tulisan mendahului makna. Bisa dikatakan, setiap wahyu sebagai tulisan yang "belum menubuh" atau tanpa sentuhan tangan.Â
Tulisan tidak dilihat dari pentingnya proses secara bertahap dari wahyu, tetapi fungsi kemanusiaan. Wahyu bergerak melampaui sesuatu yang bersifat psikis dan mekanis melalui perantara Malaikat Jibril atau langsung dari Allah ke Nabi Muhammad SAW sesuai perkembangan zaman, sehingga tulisan muncul untuk memudahkan interaksi antara penulis dan pembaca.Â
Wahyu yang pada akhirnya dipadatkan melalui mushaf Al-Qur'an bukan karena tuntutan zaman, melainkan "tanda komunikatif asali" (arche communicative sign), petunjuk (hudan), dan tanda pembeda (furqan). Pelibatan tulisan atas wahyu tidak hanya untuk membuktikan Al-Qur'an sebagai kitab suci, tetapi juga tanda kemukjizatan. Di situlah pentingnya pemahaman, pemikiran, dan penafsiran hingga pengamalan nilai-nilai ajarannya untuk menguatkan tanda kemukjizatan Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.Â