Perangkap rujukan dan tekstualitas menjadi sesuatu yang tidak ada maknanya bagi orang-orang yang berkubang dengan buta tanda dan jejak atau kemiripan pada mimpi. Mereka tidak lagi membutuhkan jejak, karena jejak itulah mereka terbuai dan lebih meraba-raba setelah hilangnya kegelapan. Mereka tidak memiliki predikat bangsa primitif, karena jejak-jejak yang ditinggalkannya telah direpresi dan diserap kembali oleh libido bacaan melalui hasrat, mimpi atau ingatan yang khas.
“Kami bukan lagi golongan orang-orang primitif! Sekarang, khayalan, hasrat, dan kesenangan primitif ditiru oleh manusia modern, seru mereka.”
Semuanya ada dalam pengulangan. Memang betul, teks tertulis menjadi satu jejak bagi generasi baru, tetapi muncul pula penyelewengan teks dalam bentuk penggunaan alpabetik atau sistem tanda sebagai sesuatu yang “terpusat” dari ras manusia tertentu sebagai krisis makna kemanusiaan.
Sebagai kalimat atau pernyataan-pernyataan yang meneror setelah terjatuh dalam kefatalan penafsiran teks. Demi (bom-tulisan otomatis) perjuangan yang mereka salurkan, teks-teks tertulis berubah menjadi korban pembicaraan atau narasi yang liar di dunia virtual aliran kode yang tidak terduga.
Inilah penandaan dari teks-teks perjuangan menjadi hasrat untuk membunuh “hasrat untuk menusli yang lain” benar-benar dalam ketidaksadaran. Cukupkah kita mengucapkan selamat tinggal mimpi buruk atau ilusi? Dimana lagi batas-batas garis ketidakstabilan makna, dibandingkan model matematika yang tidak tergoyahkan yang membuat kita untuk tetap waswas terhadap perangkap teks?
Tidak ada lagi arah dan rujukan, kecuali kesenangan untuk mencumbui seluruh titik celah.
Apa yang terjadi dari akhir konsumsi melalui kekerasan kode, yaitu tanda hasrat yang kabur, bukan dari teks-bacaan asing yang sulit dipahami. Karena kekaburannya, hasrat murni dan hasrat mengambang ditelan oleh hasrat ‘sang lain’. Seseorang di sekitar kita mengatakan: “hasrat ‘sang lain’ merasukiku, hasratku yang menggelikan dalam diriku keluar diantara obyek-obyek yang tidak dapat disalurkan.” Hasrat untuk menulis yang terkekang menghadapi kekaburan realitasnya sendiri. Kecuali disalurkan oleh hasrat seseorang pada sang lain tidak mudah goyah.
Kata lain, perangkap dari nilai tanda yang menggelincirkan orang berhasrat yang terkekang dan gerakannya dibutakan oleh teks tertulis, karena hasrat yang terkekang menetralisirnya.
Dapat saja seseorang memilih bacaan yang disenanginya dan memberinya suatu penilaian, bahwa segalanya mudah termakan oleh nikmatnya kefanatikan ideologi dari seseorang dalam membaca teks yang dengan cara sembrono menafsirkan apa yang dikandungnya. Tidak ada teks agung, jika seseorang sangat haus kebenaran dirinya dan melupakan sang luar yang bukan dirinya.
Kebutaan makna dari teks, berarti melupakan dirinya sendiri. Justeru, setiap orang yang dengan mudah terperangkap dalam kefanatikan buta dengan teks tertulis yang dimilikinya adalah semudah-mudahnya perangkap.
Satu perangkap dari kefanatikan buta atas teks (terutama taraf ideologi) yang dimilikinya setelah kita keluar dari permainan ego cogito yang tertutup bagi dunia lain. Terhadap kesalahan penafsiran, mungkin hanya satu sisi, tatkala kita melarutkan diri tanpa diagnosis, pengacakan, peretakan, dan pembaruan kembali apa-apa yang menjadi bahaya perangkap teks yang kita gumuli secara tidak sadar.