Sekitar dua tahun lalu, dua tulisan Sukidi Mulyadi, Ph.D. menghiasi majalah Suara Muhammadiyah, Edisi 10/106, 16-31 Mei 2021 dan Edisi 11/106, 1-15 Juni 2021. Kedua tulisan dalam majalah tersebut berjudul: “Tidak Ada Makna Dalam Al-Qur’an” dan “Kontradiksi Makna dalam Mekanisme Pewahyuan.”
Saya tidak akan jauh menanggapi apa konten dari kedua tulisan mas Sukidi. Terus terang, saya bukan ahli, saya tidak tahu apa-apa.
Kita langsung pada sesuatu yang nampak sederhana, tetapi perlu kita mengajukan beberapa pertanyaan. Katakanlah, jika membicarakan tentang wahyu dan tulisan. Jangankan makna, wahyu tanpa teks tertulis dalam bahasa anak gaul disebut Gaje, “Gak jelas” malah kita tidak tahu apa-apa. Wahyu tanpa dipadatkan dalam bentuk tulisan dan tanpa dimaterialisasi dalam bentuk buku dan bentuk material lainnya, maka kita bisa apa?
Sejauh ini, kita sadar, bahwa tulisan sebagai tanda-tanda dan jejak-jejak. “Sang Penulis–Penyuara” lebih mengetahui apa yang dimaksud dengan tulisan atau teks tertulis.
Suara belaka apalagi tidak diketahui darimana sumbernya, bisa jadi orang cuma melongoh. Ini mungkin terlalu jauh, firman Tuhan tanpa tulisan, maka “aku tidak tahu.”
Jadi, jangan nanya bagaimana dengan makna. Belum lagi mengenai ketidakpastian makna atau ketidakhadiran makna transendental setelah tulisan muncul dihadapan kita.
Seandainya wahyu hanya mengandalkan suara atau lafas, betapa naif dan begitu sulitnya kita mengetahui, memahami, memikirkan, menghayati, menafsirkan hingga mengamalkan apa-apa kandungan ayat demi ayat Allah. Apa jadinya wahyu tanpa mushaf, tanpa teks tertulis dalam Al-Qur’an. Saya yakin, kita tidak bisa berbuat apa-apa.
Kita membayangkan, bahwa setiap wahyu turun ke Nabi SAW melalui perantara Malaikat Jibril AS yang tidak dicatat dan ditulis, maka bukan hanya makna, tetapi juga jejak-jejak akan ikut lenyap. Bisa jadi, jejak-jejak lenyap karena tidak ada teks tertulis membuat wahyu tinggal suara atau lafas belaka.
Wahyu tanpa tulisan akan sulit tertanam dalam ingatan setiap individu akan berimplikasi pada ketidakhadiran penafsiran hingga pemikiran baru dan berbeda.
Dari bahasa tulisan, ia tidak lebih kuat daripada tubuh. Tulisan berkorespondensi dengan wahyu, bacaan dengan suara Ilahi dan dengan lafas yang sempurna. Kita bisa membayangkan tentang apa dan bagaimana suara Ilahi menggema dan menggetarkan menandai wahyu turun dari langit. Hanya Malaikat Jibril AS dan Nabi Muhammad SAW yang bisa menggambarkannya.
Pernyataan seperti belum tentu apa yang dimaksudkan oleh wahyu sama dengan maksud dari tulisan yang ditulis oleh penulis. Persis, belum tentu apa yang dimaksudkan dari makna atas teks Al-Qur’an dari penafsir dengan pikirannya sama dengan pikiran pembaca.