Mohon tunggu...
Erick M Sila
Erick M Sila Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Menulis adalah mengabadikan diri dalam bentuk yang lain di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pentingnya Pendidikan STEM Menurut Ki Hadjar Dewantara

27 Juli 2024   09:19 Diperbarui: 27 Juli 2024   09:29 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://kihajar.kemdikbud.go.id/p/


1. Pendahuluan

Di era globalisasi yang semakin berkembang pesat, pendidikan memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk generasi mendatang yang kompeten dan siap menghadapi tantangan zaman. Salah satu pendekatan yang kini semakin mendapat perhatian adalah pendidikan STEM, yang merupakan singkatan dari Science, Technology, Engineering, dan Mathematics. Pendidikan STEM tidak hanya fokus pada penguasaan materi pelajaran, tetapi juga mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kreatif, dan problem solving, yang sangat dibutuhkan dalam era digital ini.

KI Hadjar Dewantara, seorang tokoh pendidikan nasional yang dikenal dengan sebutan K.H. Dewantara, telah lama menekankan pentingnya pendidikan yang komprehensif dan kontekstual. Filosofi pendidikan yang beliau kembangkan sangat relevan dengan konsep pendidikan STEM yang mementingkan keterkaitan antara teori dan praktik. Oleh karena itu, memahami pandangan beliau terhadap pendidikan, khususnya dalam konteks STEM, menjadi sangat relevan untuk diterapkan dalam sistem pendidikan modern.

Artikel ini akan membahas tentang pentingnya pendidikan STEM dalam perspektif K.H. Dewantara. Pembahasan ini diawali dengan pemberian biografi singkat mengenai K.H. Dewantara untuk memberikan latar belakang yang memadai mengenai tokoh ini. Selanjutnya, akan dijelaskan konsep pendidikan yang beliau anut, dan bagaimana filosofi tersebut dapat diimplementasikan dalam pendidikan STEM. Selain itu, artikel ini juga akan melihat lebih dalam tentang definisi dan manfaat pendidikan STEM, serta pentingnya integrasi prinsip-prinsip K.H. Dewantara dalam pendidikan tersebut.

Dengan memahami dan mengimplementasikan konsep pendidikan yang diusung oleh K.H. Dewantara, diharapkan sistem pendidikan kita dapat lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan zaman. Pendidikan STEM yang diintegrasikan dengan nilai-nilai dan pendekatan yang diajarkan oleh K.H. Dewantara akan mampu mencetak generasi yang tidak hanya pintar secara akademis, tetapi juga memiliki karakter yang kuat, kreatif, dan siap menghadapi tantangan global.

2. Biografi Singkat K.H. Dewantara

K.H. Dewantara, yang lebih dikenal dengan sebutan KI Hadjar Dewantara, adalah tokoh penting dalam sejarah pendidikan Indonesia. Nama asli beliau adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Pakualaman, Yogyakarta. Beliau berasal dari keluarga bangsawan yang menjadikannya mendapatkan pendidikan yang baik sejak kecil. Kewibawaan dan kecerdasan yang dimilikinya membuat beliau tumbuh sebagai seorang pemikir dan visioner dalam bidang pendidikan.

Sejak muda, K.H. Dewantara telah menunjukkan kegigihannya dalam memperjuangkan hak-hak rakyat Indonesia yang pada saat itu berada di bawah penjajahan Belanda. Perjuangannya tidak lepas dari dunia penulisan dan jurnalisme. Pada tahun 1908, beliau aktif dalam organisasi Budi Utomo, kemudian mendirikan Indische Partij bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Dr. Douwes Dekker. Indische Partij dikenal sebagai partai politik pertama yang bersifat nasional di Indonesia.

Namun, keterlibatannya dalam gerakan nasionalisme membuatnya diasingkan ke Belanda pada tahun 1913. Selama pengasingannya, beliau tetap melanjutkan pendidikannya di bidang pendidikan dan budaya, serta terus memikirkan masa depan bangsa Indonesia. Sepulangnya ke Indonesia pada tahun 1919, pemikiran K.H. Dewantara akan pentingnya pendidikan semakin mantap.

Pada 3 Juli 1922, beliau mendirikan Taman Siswa, sebuah lembaga pendidikan yang berlandaskan pada konsep pendidikan nasional yang inklusif dan progresif. Taman Siswa tidak hanya berfokus pada aspek akademik, namun juga pada pengembangan karakter, keterampilan, dan patriotisme. K.H. Dewantara percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk mencapai kemerdekaan bangsa dan pembentukan manusia yang berakal budi.

2.1. Latar Belakang

K.H. Dewantara, yang juga dikenal dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, dilahirkan pada tanggal 2 Mei 1889 di Pakualaman, Yogyakarta. Beliau merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah pendidikan Indonesia, dimana perannya sangat signifikan dalam merintis dan mengembangkan sistem pendidikan nasional. Dalam upaya memajukan pendidikan, Dewantara mendirikan Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922, sebuah lembaga pendidikan yang bertujuan untuk memberikan pendidikan bagi pribumi Indonesia di tengah dominasi kekuasaan kolonial Belanda.

Sebagai seorang tokoh pendidikan dan pemikir, K.H. Dewantara memiliki pandangan bahwa pendidikan harus membebaskan manusia dari kebodohan dan keterbelakangan. Pandangan ini terwujud dalam semboyan beliau yang terkenal, yaitu "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani", yang berarti "di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan". Semboyan ini mencerminkan filosofi pendidikan yang egaliter dan progresif yang beliau ajarkan.

Bagi K.H. Dewantara, pendidikan bukan hanya sekedar transfer pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter dan kepribadian. Dalam konteks ini, beliau percaya bahwa pendidikan harus menyesuaikan dengan kebutuhan zaman dan kemampuan siswa. Oleh karena itu, pendidikan menurut K.H. Dewantara bersifat holistik, mencakup pengembangan intelektual, emosional, dan fisik.

Latar belakang K.H. Dewantara juga dipengaruhi oleh kondisi politik dan sosial pada masa kolonial yang penuh dengan ketidakadilan dan eksploitasi terhadap rakyat pribumi. Melalui pendidikan, beliau berusaha untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan kemandirian di kalangan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, pendidikan bagi K.H. Dewantara menjadi alat perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dan kedaulatan bangsa.

Dalam kerangka pemikiran inilah, K.H. Dewantara melihat pentingnya integrasi antara pendidikan tradisional dan modern, termasuk pendidikan berbasis ilmu pengetahuan, teknologi, rekayasa, dan matematika (STEM) untuk mempersiapkan generasi muda Indonesia menghadapi tantangan global.

2.2. Kontribusi dalam Pendidikan

K.H. Dewantara, atau yang lebih dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, merupakan tokoh penting dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Salah satu kontribusi terbesar Ki Hadjar adalah pendirian Taman Siswa pada tahun 1922. Taman Siswa bukan hanya sekadar sebuah lembaga pendidikan, tetapi juga menjadi simbol perjuangan melawan sistem pendidikan kolonial yang diskriminatif. Di dalam Taman Siswa, Ki Hadjar menerapkan prinsip pendidikan yang mengutamakan kebebasan dan keserbabijaksanaan yang memerdekakan murid.

Ki Hadjar Dewantara memperkenalkan sistem pendidikan yang tidak hanya fokus pada intelektual tetapi juga pembentukan karakter murid. Filosofi "Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani" yang artinya "Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan" menjadi landasan utama dalam metode pengajaran di Taman Siswa. Pendekatan holistik ini mampu memupuk sikap mandiri dan tanggung jawab sosial pada siswa.

Selain itu, Ki Hadjar juga sangat menekankan pentingnya pendidikan berbasis budaya lokal. Beliau percaya bahwa pendidikan harus mampu menghargai dan melestarikan warisan budaya bangsa. Oleh karena itu, kurikulum di Taman Siswa memasukkan elemen budaya lokal di dalamnya, seperti seni, bahasa, dan sejarah daerah. Hal ini bertujuan untuk menanamkan rasa cinta tanah air dan kebanggaan terhadap identitas budaya sejak dini.

Di bidang kebijakan pendidikan nasional, sumbangsih Ki Hadjar terwujud dalam keterlibatannya di Departemen Pengajaran (sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Beliau juga turut merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Dedikasi dan kontribusi Ki Hadjar dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang inklusif telah membawa dampak positif yang signifikan bagi sistem pendidikan Indonesia hingga saat ini.

3. Konsep Pendidikan oleh KI Hadjar

K.H. Dewantara, yang juga dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, adalah salah satu tokoh pendidikan terkemuka di Indonesia. Ia dikenal karena pemikiran-pemikirannya yang revolusioner dan filosofinya yang mendalam mengenai pendidikan. Konsep pendidikan yang diusung oleh Ki Hadjar Dewantara sangat menekankan pada pengembangan karakter serta kemandirian individu dalam kerangka budaya dan nilai-nilai Indonesia.

Ki Hadjar Dewantara percaya bahwa pendidikan harus menjadi proses yang holistik, yang tidak hanya berfokus pada aspek kognitif semata, tetapi juga mencakup perkembangan emosional, sosial, dan spiritual. Dalam pandangan Ki Hadjar, pendidikan adalah sarana untuk membangun manusia seutuhnya, yang mampu menyumbangkan ide-ide kreatif dan inovatif untuk kemajuan masyarakat dan bangsa.

Salah satu prinsip fundamental dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah teori "Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani." Dalam bahasa Indonesia, prinsip ini berarti "di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan." Prinsip ini menegaskan pentingnya peran guru dan pendidik dalam membimbing dan mengarahkan peserta didik dengan penuh kasih sayang dan teladan yang baik.

Selain itu, Ki Hadjar Dewantara juga menekankan pentingnya pendidikan berbasis kebudayaan dan kearifan lokal. Ia percaya bahwa pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai budaya dan tradisi setempat dalam proses pembelajaran. Hal ini bertujuan untuk membentuk jati diri dan identitas bangsa yang kuat serta mampu bersaing di kancah global tanpa kehilangan akar budaya dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Konsep pendidikan yang diusung oleh Ki Hadjar Dewantara ini masih sangat relevan dan menjadi inspirasi dalam pengembangan kurikulum modern, terutama dalam konteks pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) yang sedang berkembang pesat saat ini.

3.1. Filosofi Pendidikan

Filosofi pendidikan yang dianut oleh K.H. Dewantara, yang lebih dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, berakar pada prinsip-prinsip kearifan lokal dan kemanusiaan universal. Sebagai tokoh pendidikan yang berpengaruh di Indonesia, Ki Hadjar memiliki pandangan bahwa pendidikan haruslah memanusiakan manusia, atau dikenal dengan istilah "ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani." Artinya, seorang pendidik di depan harus memberi teladan, di tengah harus memberi semangat, dan di belakang harus memberikan dorongan.

Ki Hadjar menekankan pentingnya pendidikan yang holistik, yang tidak hanya mengembangkan aspek intelektual, tetapi juga moral dan karakter. Menurutnya, pendidikan harus bisa memerdekakan manusia dari kebodohan dan keterbatasan, serta membentuk pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. Ia percaya bahwa setiap individu memiliki potensi unik yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan yang sesuai dengan kodrat alam dan budaya setempat.

Selain itu, Ki Hadjar juga mengedepankan konsep pendidikan yang bersifat "kontekstual," di mana kurikulum dan metode pengajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat setempat. Ia menyoroti pentingnya pendidikan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari dan mampu menjawab tantangan zaman. Oleh karena itu, pendekatan pendidikan yang diterapkan harus fleksibel dan adaptif, tidak kaku dan normatif.

Dalam implementasinya, filosofi Ki Hadjar sangat mengutamakan partisipasi aktif dari peserta didik dalam proses pembelajaran. Ia beranggapan bahwa anak-anak harus diberikan ruang untuk bereksplorasi, berkreasi, dan berinovasi, yang pada akhirnya akan meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan berpikir kritis mereka. Pendidikan harus menjadi alat yang membebaskan pikiran, bukan sekadar sarana untuk mengisi kepala dengan pengetahuan belaka.

Pandangan ini membawa Ki Hadjar untuk menggabungkan aspek akademik dengan elemen praktis dan aplikatif, yang sejalan dengan konsep pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics). Filosofi ini menitikberatkan pada pembelajaran yang interaktif dan berbasis proyek, di mana siswa diajak untuk memahami konsep dasar sekaligus mencoba menerapkannya dalam berbagai situasi nyata.

3.2. Implementasi Filosofi dalam STEM

Implementasi filosofi pendidikan K.H. Dewantara dalam pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) berfokus pada pendekatan holistik yang memadukan prinsip-prinsip tradisional dan modern. Filosofi pendidikan KI Hadjar berbasis pada tiga semboyan: "Ing Ngarsa Sung Tuladha" (di depan memberikan teladan), "Ing Madya Mangun Karsa" (di tengah memberikan semangat), dan "Tut Wuri Handayani" (dari belakang memberikan dorongan). Pendekatan ini dapat diterapkan dalam pendidikan STEM dengan cara yang inovatif dan kontekstual.

Di dalam kelas STEM, pendidik dapat menerapkan "Ing Ngarsa Sung Tuladha" dengan menjadi teladan dalam pemahaman atas prinsip-prinsip ilmiah serta etika profesional di bidangnya. Misalnya, seorang guru sains dapat menunjukkan bagaimana metode ilmiah diterapkan dalam eksperimen nyata serta pentingnya integritas dan kejujuran dalam penelitian ilmiah.

Konsep "Ing Madya Mangun Karsa" dapat direalisasikan dengan membangun lingkungan belajar yang mendorong siswa untuk berkolaborasi, berinovasi, dan memecahkan masalah secara kreatif. Pendidik bisa menjadi fasilitator yang memotivasi siswa untuk mengeksplorasi pengetahuan baru dan berinteraksi aktif dalam proyek-proyek STEM yang berkontribusi pada masyarakat. Tantangan-tantangan dunia nyata bisa digunakan sebagai bahan ajar untuk memperkaya pengalaman belajar siswa.

Filosofi "Tut Wuri Handayani" mendorong siswa untuk menjadi mandiri dan berani mengambil inisiatif dalam proses belajar. Dalam konteks pendidikan STEM, guru bisa menyediakan lingkungan yang mendukung inisiatif siswa untuk melakukan eksperimen, riset, atau proyek mandiri. Siswa diajarkan untuk mengevaluasi dan merefleksikan hasil kerja mereka sendiri, sehingga mereka bisa terus menerus belajar dan berkembang.

Implementasi filosofi pendidikan KI Hadjar Dewantara dalam pendidikan STEM tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kompetensi akademik, tetapi juga membentuk karakter siswa yang berintegritas, inovatif, dan bertanggung jawab terhadap masyarakat. Integrasi ini memberikan landasan yang kuat bagi siswa untuk menghadapi tantangan era digital yang semakin kompleks.

4. Pentingnya Pendidikan STEM

Pendidikan STEM, yang merupakan singkatan dari Science, Technology, Engineering, and Mathematics, memainkan peran penting dalam menyiapkan generasi muda untuk menghadapi tantangan era digital yang semakin kompleks. Di tengah kemajuan teknologi yang pesat, pemahaman yang mendalam tentang ilmu pengetahuan, teknologi, rekayasa, dan matematika menjadi fondasi utama dalam menciptakan individu yang tidak hanya adaptif tetapi juga inovatif.

Pentingnya pendidikan STEM tidak hanya terbatas pada penguasaan materi-materi akademis, tetapi juga pada pengembangan keterampilan kritis, analitis, dan problem-solving. Dalam konteks ini, pendidikan STEM menawarkan pendekatan yang terpadu, di mana siswa didorong untuk menghubungkan konsep-konsep dari berbagai disiplin ilmu untuk memecahkan masalah dunia nyata secara kolaboratif. Kemampuan ini sangat dibutuhkan di dunia kerja modern yang menuntut pemikiran lintas sektoral dan interdisipliner.

Dalam perspektif K.H. Dewantara (KI Hadjar), pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan budi pekerti yang luhur. Prinsip ini sangat relevan dengan pendidikan STEM, yang tidak hanya bertujuan mengembangkan keterampilan teknis tetapi juga etika dan tanggung jawab sosial. Pendekatan holistik yang menekankan pada 'karya nyata' dan kemandirian dalam belajar sejalan dengan filosofi KI Hadjar yang memandang pendidikan sebagai sarana untuk memerdekakan manusia dari kebodohan dan keterbelakangan.

Lebih jauh, pentingnya pendidikan STEM juga terletak pada kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Negara yang memiliki sumber daya manusia yang menguasai bidang STEM lebih siap untuk berinovasi, meningkatkan daya saing global, dan menciptakan solusi berkelanjutan untuk masalah-masalah lingkungan dan sosial. Oleh karena itu, pengintegrasian prinsip-prinsip pendidikan KI Hadjar dalam pendidikan STEM menjadi langkah strategis untuk mencetak generasi penerus yang memiliki kompetensi serta karakter unggul.

4.1. Definisi STEM

Pendidikan STEM merupakan akronim dari Science (Sains), Technology (Teknologi), Engineering (Rekayasa), dan Mathematics (Matematika). Hal ini mencakup pendekatan interdisipliner yang mengintegrasikan keempat bidang studi tersebut dengan tujuan untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan tantangan abad ke-21. STEM dirancang untuk menstimulasi minat dan keterampilan dalam bidang yang memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan teknologi dan industri masa depan.

Sains dalam STEM mengacu pada pemahaman tentang prinsip-prinsip alam dan fenomena melalui metode ilmiah. Teknologi melibatkan penggunaan alat, aplikasi, dan proses yang membantu peserta didik memahami dan memanipulasi lingkungan mereka. Rekayasa mendorong pemikiran kritis dan kreatif dalam merancang solusi praktis untuk masalah yang kompleks. Matematika menyediakan bahasa universal yang memungkinkan analisis data, pemodelan, dan pemecahan masalah secara efisien.

Pengajaran dan pembelajaran melalui pendidikan STEM berfokus pada pendekatan yang bersifat praktis dan terapan. Hal ini berarti, konsep-konsep akademis diajarkan dalam konteks dunia nyata yang mempromosikan pemahaman mendalam dan kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan dalam situasi nyata. Misalnya, dalam proyek rekayasa, peserta didik dapat menggabungkan prinsip matematika dan sains untuk merancang dan menguji prototipe yang mengatasi permasalahan tertentu.

STEM juga memiliki karakteristik kolaboratif yang mendukung kerja tim, komunikasi, dan interaksi antardisiplin. Kurikulum ini mengajarkan peserta didik untuk bekerja sama dalam kelompok, mengumpulkan dan menganalisis data, serta membuat keputusan berbasis bukti. Dengan demikian, pendidikan STEM tidak hanya meningkatkan literasi sains dan teknologi tetapi juga mengembangkan keterampilan sosial dan emosional yang penting.

Dalam rangka menciptakan generasi yang siap menghadapi tantangan global, pendidikan STEM menekankan pada inovasi, kreativitas, dan adaptabilitas. Hal ini menjadikan STEM sebagai komponen penting dalam kurikulum pendidikan modern yang bertujuan untuk membentuk individu yang kompeten dan berdaya saing tinggi di masa depan.

4.2. Manfaat Pendidikan STEM dalam Era Digital

Pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) telah menjadi topik utama dalam dunia pendidikan, terutama dalam era digital saat ini. Manfaat pendidikan STEM menjadi sangat relevan seiring dengan perkembangan teknologi yang pesat dan perubahan dinamika pasar tenaga kerja global. Adapun beberapa manfaat pendidikan STEM dalam era digital adalah sebagai berikut:

Pertama, pendidikan STEM mendorong keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah. Dalam era digital, siswa dihadapkan pada masalah yang kompleks dan membutuhkan kemampuan analitis yang tinggi. Pembelajaran STEM mengajarkan siswa untuk mendekati masalah dengan cara yang terstruktur, menggunakan metode ilmiah dan teknik teknologi, yang sangat penting dalam mempersiapkan mereka menghadapi tantangan di kehidupan nyata.

Kedua, pendidikan STEM berperan penting dalam mengembangkan inovasi dan kreativitas. Siswa didorong untuk berpikir "di luar kotak" dan menciptakan solusi baru terhadap permasalahan yang ada. Ini sejalan dengan tuntutan era digital yang menekankan pada inovasi sebagai kunci keberhasilan. Kemampuan untuk berinovasi memberikan keunggulan kompetitif bagi individu dan negara dalam ekonomi global yang terus berubah.

Ketiga, pendidikan STEM membantu memenuhi kebutuhan tenaga kerja masa depan. Laporan menunjukkan bahwa banyak lapangan kerja di masa depan akan memerlukan keterampilan yang diajarkan dalam pendidikan STEM. Dengan latar belakang yang kuat dalam STEM, siswa akan lebih siap untuk memasuki pasar tenaga kerja dan berkontribusi dalam bidang-bidang yang sedang berkembang, seperti kecerdasan buatan, analisis data, dan teknologi informasi.

Keempat, pendidikan STEM meningkatkan literasi digital bagi siswa. Literasi digital menjadi kebutuhan dasar di era digital, dimana hampir semua aspek kehidupan sehari-hari terintegrasi dengan teknologi. Melalui pendidikan STEM, siswa tidak hanya belajar tentang teknologi, tetapi juga bagaimana memanfaatkannya dengan bijaksana dan bertanggung jawab.

Secara keseluruhan, pendidikan STEM memberikan fondasi yang kuat bagi siswa untuk berhasil dalam era digital yang dinamis. Integrasi keterampilan STEM dalam kurikulum dapat membantu siswa menjadi pembelajar sepanjang hayat yang adaptif, kreatif, dan inovatif.

5. Integrasi Prinsip KI Hadjar dalam Pendidikan STEM

Integrasi prinsip pendidikan yang diajukan oleh K.H. Dewantara dengan konsep Pendidikan STEM merupakan langkah strategis untuk membangun sistem pendidikan yang holistik dan relevan dengan perkembangan zaman. KI Hadjar Dewantara, yang memiliki filosofi mendalam tentang pendidikan berbasis kebudayaan dan kepribadian bangsa, menyadari pentingnya pendekatan yang kontekstual dan praktis dalam proses belajar mengajar. Integrasi ini tidak hanya mengacu pada peningkatan keterampilan teknis, tetapi juga pengembangan karakter dan nilai-nilai sosial yang kuat.

Pendidikan STEM, yang menggabungkan Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika, adalah jawaban terhadap kebutuhan masa kini akan tenaga kerja yang memiliki kemampuan analitis dan pemecahan masalah yang tinggi. KI Hadjar Dewantara meyakini bahwa Pendidikan harus mampu menghasilkan insan yang cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual. Oleh karena itu, mengintegrasikan prinsip-prinsipnya ke dalam Pendidikan STEM memerlukan penekanan pada aspek-aspek pembelajaran yang kontekstual dengan kehidupan nyata, serta pengembangan karakter yang inklusif.

Pendekatan ini juga menggarisbawahi pentingnya pengajaran yang berpusat pada siswa, dimana guru berperan sebagai fasilitator yang mendukung dan mengarahkan. Hal ini sejalan dengan filosofi K.H. Dewantara tentang "Tut Wuri Handayani," yang berarti guru harus memberikan dorongan dari belakang, membiarkan siswa menemukan dan mengembangkan potensinya sendiri. Dengan demikian, Pendidikan STEM yang diintegrasikan dengan prinsip-prinsip KI Hadjar tidak hanya mengembangkan kemampuan kognitif siswa, tetapi juga memupuk keterampilan sosial dan emosional melalui pembelajaran yang relevan dengan lingkungan sekitarnya.

Secara keseluruhan, Integrasi ini berupaya untuk menciptakan sebuah ekosistem pendidikan yang adaptif, berwawasan lingkungan, dan berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Hal ini bukan saja relevan untuk menghadapi tantangan era digital, tetapi juga untuk membentuk karakter generasi penerus yang sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia.

5.1. Pendekatan Praktis dan Kontekstual

Pendekatan praktis dan kontekstual dalam pendidikan STEM, sebagaimana dikemukakan oleh K.H. Dewantara, merupakan metode yang menekankan pada relevansi dan aplikasi nyata dalam proses pembelajaran. KI Hadjar Dewantara percaya bahwa pendidikan tidak boleh terpisah dari realitas kehidupan sehari-hari, melainkan harus mencerminkan kebutuhan dan tantangan yang ada di masyarakat.

KI Hadjar menggarisbawahi pentingnya pendidikan yang tidak hanya mengandalkan teori, tetapi juga mengutamakan praktik dan pengalaman langsung. Dalam konteks pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics), pendekatan ini berarti siswa harus diberi kesempatan untuk terlibat langsung dalam eksperimen, proyek penelitian, dan aktivitas yang menantang kemampuan analitis serta problem solving mereka.

Dengan menggunakan pendekatan praktis, siswa dapat belajar melalui proses trial and error, serta memahami konsep-konsep STEM secara mendalam dan konkret. Misalnya, dalam mempelajari konsep fisika tentang listrik, siswa diajak untuk merakit rangkaian listrik sederhana, sehingga mereka bisa melihat dan merasakan langsung bagaimana teori tersebut bekerja dalam kehidupan nyata.

Sementara itu, konteks lokal dan budaya juga menjadi faktor penting dalam metode pendidikan KI Hadjar. Pendidikan STEM harus memperhatikan lingkungan sekitar dan budaya lokal demi menciptakan relevansi bagi siswa. Mengintegrasikan fenomena alam setempat atau sumber daya lokal ke dalam kurikulum STEM dapat membuat pembelajaran lebih menarik dan bermakna bagi siswa.

Selain itu, K.H. Dewantara juga menekankan perlunya kolaborasi antara sekolah dan komunitas. Ia percaya bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama dan lingkungan sekitar berperan dalam mendukung proses belajar-mengajar. Dengan demikian, pendekatan praktis dan kontekstual ini bukan hanya meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep STEM, tetapi juga membekali mereka dengan keterampilan dan pengetahuan yang aplikatif serta kontekstual, yang berguna bagi pembangunan komunitas dan bangsa secara keseluruhan.

5.2. Pengembangan Karakter melalui STEM

Pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) tidak hanya berfokus pada pengembangan keterampilan teknis atau akademik saja, tetapi juga memainkan peran penting dalam pengembangan karakter siswa. Menurut prinsip pendidikan K.H. Dewantara, proses pembelajaran seharusnya mendidik seluruh aspek kehidupan anak, termasuk aspek moral dan karakter.

Salah satu pendekatan utama dari K.H. Dewantara adalah pendidikan yang bersifat holistik, di mana pembelajaran tidak hanya terbatas pada transfer pengetahuan tetapi juga pengembangan nilai-nilai yang esensial. Dalam konteks pendidikan STEM, hal ini dapat diwujudkan melalui berbagai metode yang mempromosikan etika, kerja sama tim, kreativitas, dan pemecahan masalah.

Kerja sama tim merupakan salah satu nilai penting yang dapat dikembangkan melalui pendidikan STEM. Dalam proyek STEM, siswa seringkali bekerja dalam kelompok untuk menyelesaikan masalah atau proyek tertentu. Hal ini mengajarkan mereka untuk bekerja sama, saling menghargai pendapat, dan mengembangkan kemampuan komunikasi yang baik.

Kreativitas juga menjadi elemen kunci dalam pendidikan STEM. Siswa didorong untuk berpikir di luar kebiasaan dan menemukan solusi inovatif untuk masalah yang dihadapi. Ini sesuai dengan prinsip K.H. Dewantara yang menekankan pentingnya kebebasan dalam belajar dan kebebasan untuk mengekspresikan ide dan kreativitas.

Kompetensi etika dijadikan fondasi melalui penerapan prinsip-prinsip moral dalam setiap proyek STEM. Misalnya, dalam proyek teknologi tertentu, aspek etika penggunaan teknologi juga diperkenalkan sehingga siswa memahami tanggung jawab sosial dari penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai ini, pendidikan STEM tidak hanya menghasilkan generasi yang terampil dalam bidang sains dan teknologi tetapi juga individu yang memiliki karakter luhur, mampu bekerjasama, dan bertanggung jawab secara sosial. Integrasi ini sejalan dengan visi K.H. Dewantara dalam mengembangkan manusia yang utuh dan berkarakter.

6. Studi Kasus dan Implementasi

Dalam upaya memahami dan menggambarkan implementasi pendidikan STEM berdasarkan prinsip-prinsip KI Hadjar Dewantara, studi kasus menjadi alat yang sangat berharga. Studi kasus memungkinkan para praktisi pendidikan untuk melihat penerapan nyata dan mengukur keberhasilannya dalam lingkungan pendidikan yang berbeda. Bagian ini akan menyoroti beberapa sekolah dan institusi pendidikan yang telah mengadopsi model pendidikan KI Hadjar Dewantara dan mendemonstrasikan hasil yang signifikan melalui pendekatan STEM.

Implementasi pendidikan STEM yang berakar pada filosofi dan metode pendidikan KI Hadjar Dewantara memerlukan pemahaman mendalam mengenai nilai-nilai dan prinsip-prinsip pendidikan yang ia ajukan. KI Hadjar Dewantara menekankan pentingnya pendidikan yang kontekstual, menyesuaikan dengan budaya dan kebutuhan lokal, serta mendorong pengembangan karakter yang kuat pada peserta didik. Oleh karena itu, pendekatan STEM yang integratif dan holistik dituntut untuk tidak hanya melibatkan aspek-aspek sains, teknologi, teknik, dan matematika, tetapi juga harus memperhatikan aspek-aspek humaniora dan sosial dalam proses pembelajarannya.

Sekolah-sekolah yang telah mengadopsi model KI Hadjar Dewantara dalam pendidikan STEM biasanya memulai dengan pelatihan dan pengembangan profesional bagi guru-gurunya. Guru-guru ini diajarkan bagaimana mengintegrasikan prinsip-prinsip pendidikan KI Hadjar dengan keterampilan dan metodologi STEM. Selain itu, kurikulum disesuaikan untuk memastikan bahwa pembelajaran bersifat interdisipliner, kontekstual, dan relevan dengan kondisi kehidupan nyata peserta didik.

Salah satu komponen penting dalam implementasi ini adalah penyediaan fasilitas dan sumber daya yang memadai. Laboratorium sains, ruang kelas berbasis teknologi, dan alat peraga teknik menjadi sarana vital dalam proses pembelajaran STEM yang efisien dan efektif. Namun demikian, yang lebih penting dari sekadar fasilitas adalah bagaimana pengajar dan peserta didik memanfaatkan dan memaksimalkan sumber daya tersebut dalam mendukung proses pembelajaran yang aktif dan bermakna.

Dengan penerapan yang tepat, diharapkan bahwa pendidikan STEM berbasis prinsip KI Hadjar Dewantara tidak hanya akan memperkaya pengetahuan dan keterampilan teknis peserta didik, tetapi juga mengembangkan karakter mereka menjadi individu yang mandiri, kreatif, dan siap menghadapi tantangan zaman.

6.1. Sekolah-sekolah yang Mengadopsi Model KI Hadjar

Pendekatan pendidikan yang dirumuskan oleh K.H. Dewantara, atau lebih dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, telah mengilhami banyak institusi pendidikan di Indonesia. Sekolah-sekolah yang mengadopsi model ini berfokus pada pembelajaran yang holistik, mencakup aspek akademis, moral, dan sosial. Model pendidikan Ki Hadjar menekankan pentingnya beradaptasi dengan konteks lokal, menggabungkan nilai-nilai budaya, dan membentuk karakter siswa melalui pengalaman praktis.

Salah satu contoh nyata adalah Sekolah Taman Siswa, yang didirikan oleh Ki Hadjar sendiri pada tahun 1922. Taman Siswa mengimplementasikan prinsip-prinsip pendidikan yang menekankan 'Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani', yang berarti "di depan memberi teladan, di tengah menciptakan kesempatan, di belakang memberi dorongan." Sekolah ini berusaha menciptakan lingkungan belajar yang menginspirasi, di mana siswa didorong untuk berpikir kritis dan kreatif dalam menyelesaikan masalah.

Selain itu, beberapa sekolah di berbagai daerah telah mulai mengadopsi pendekatan yang serupa. Misalnya, Sekolah Alam Indonesia yang mendasarkan kurikulumnya pada prinsip pembelajaran berbasis alam dan praktik langsung, serta menyerukan pentingnya pendidikan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini sesuai dengan filosofi Ki Hadjar yang percaya bahwa pendidikan harus kontekstual dan relevan dengan kehidupan siswa.

Di era digital saat ini, banyak sekolah yang mulai memasukkan elemen STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) ke dalam kurikulum mereka dengan tetap mempertahankan nilai-nilai pendidikan Ki Hadjar. Sekolah seperti Indonesia STEM Academy telah mengintegrasikan pendidikan STEM dengan pendekatan kontekstual Ki Hadjar, memastikan bahwa siswa tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga memiliki karakter yang kuat serta keterampilan sosial yang baik.

Penggunaan model pendidikan Ki Hadjar Dewantara di sekolah-sekolah ini membuktikan bahwa pendekatan yang mengedepankan moral, budaya, dan kontekstualisasi materi ajar dapat berjalan seiring dengan tuntutan pendidikan modern, seperti integrasi STEM, untuk menciptakan generasi yang inovatif dan beretika.

6.2. Hasil yang Dicapai dari Implementasi

Implementasi model pendidikan yang dipengaruhi oleh prinsip-prinsip K.H. Dewantara dalam konteks Pendidikan STEM telah memberikan berbagai hasil yang positif. Beberapa sekolah yang mengadopsi model ini telah menunjukkan peningkatan signifikan baik dalam aspek akademis maupun karakter peserta didik.

Pertama, dari sisi akademis, hasil penelitian menunjukkan bahwa sekolah-sekolah yang mengintegrasikan filosofi belajar aktif dan kontekstual KI Hadjar dalam pendidikan STEM melihat peningkatan skor uji kompetensi pada mata pelajaran sains, teknologi, teknik, dan matematika. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir kritis dan kreatif, serta memecahkan masalah secara mandiri dan kolaboratif.

Kedua, dalam hal pengembangan karakter, model ini berhasil menanamkan nilai-nilai moral dan etika yang kuat pada siswa. Prinsip Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani yang diusung oleh K.H. Dewantara, diimplementasikan dalam program-program STEM yang berfokus pada kerja sama tim, tanggung jawab, dan disiplin. Siswa didorong untuk tidak hanya unggul dalam akademik tetapi juga memiliki kepribadian yang berintegritas.

Selain itu, penerapan pendekatan praktis dan kontekstual dalam pendidikan STEM juga telah meningkatkan minat dan motivasi siswa. Pembelajaran yang relevan dengan kehidupan sehari-hari dan diterapkan melalui proyek-proyek nyata membuat siswa lebih tertarik dan bersemangat dalam belajar. Dampaknya, siswa tidak hanya memahami konsep-konsep teoretis, tetapi juga mampu menerapkannya dalam situasi nyata, yang mana sangat berharga di era digital saat ini.

Secara keseluruhan, hasil implementasi model pendidikan KI Hadjar dalam konteks STEM tidak hanya meningkatkan prestasi akademik, tetapi juga mengembangkan karakter peserta didik yang holistik. Prestasi ini menunjukkan bahwa pendekatan yang menggabungkan filosofi pendidikan dan metode modern bisa menciptakan generasi muda yang kompeten dan berakhlak mulia.

7. Tantangan dan Solusi

Penerapan pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) di Indonesia tidak lepas dari berbagai tantangan yang kompleks. Kendala-kendala ini dapat berupa faktor internal maupun eksternal yang memengaruhi efektivitas pengajaran dan pembelajaran STEM di berbagai jenjang pendidikan. Mengidentifikasi dan memahami tantangan-tantangan ini merupakan langkah awal yang krusial dalam mencari solusi yang efektif.

Salah satu tantangan utama dalam penerapan pendidikan STEM adalah keterbatasan sumber daya yang tersedia di sekolah-sekolah, terutama di daerah-daerah terpencil. Kekurangan infrastruktur, seperti laboratorium dan perangkat teknologi yang memadai, menjadi hambatan signifikan. Selain itu, kurangnya tenaga pengajar yang terlatih dan memiliki kompetensi dalam bidang STEM turut memperparah situasi.

Tantangan berikutnya adalah kurangnya kesadaran dan pemahaman mengenai pentingnya pendidikan STEM bagi pengembangan kemampuan kritis dan kreatif siswa. Banyak pihak, termasuk orang tua dan pengelola sekolah, yang masih beranggapan bahwa mata pelajaran konvensional lebih penting, sehingga alokasi waktu dan dana untuk program STEM sering kali minim.

Adanya kurikulum yang belum sepenuhnya terintegrasi juga mengakibatkan pelaksanaan pendidikan STEM tidak optimal. Kurikulum yang ada sering kali belum mendukung pengajaran interdisipliner yang menjadi inti dari pendekatan STEM. Akibatnya, siswa tidak dapat merasakan manfaat maksimal dari pembelajaran yang holistik dan kontekstual.

Selain itu, resistensi terhadap perubahan dan inovasi pendidikan juga menjadi tantangan yang tidak boleh diabaikan. Beberapa pengajar mungkin merasa tidak nyaman dengan metode pengajaran baru yang memerlukan kreativitas dan fleksibilitas dalam prakteknya.

Memahami berbagai tantangan ini sangat penting dalam mengembangkan strategi-solusi yang tepat sasaran. Dengan demikian, pendidikan STEM dapat diimplementasikan secara efektif dan berkelanjutan, memberikan dampak positif yang nyata bagi siswa dan masyarakat luas.

7.1. Hambatan dalam Penerapan Pendidikan STEM

Penerapan pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) di Indonesia menghadapi berbagai hambatan yang perlu diatasi untuk mencapai keberhasilan. Salah satu hambatan utama adalah kurangnya sumber daya yang memadai. Banyak sekolah, terutama di daerah terpencil, kekurangan fasilitas dan perangkat yang diperlukan untuk mendukung pembelajaran STEM. Keterbatasan ini meliputi tidak adanya laboratorium sains, peralatan teknologi dasar, dan perangkat pembelajaran interaktif.

Sumber daya manusia juga menjadi tantangan signifikan dalam penerapan pendidikan STEM. Kekurangan guru yang memiliki kualifikasi dan kompetensi dalam bidang STEM menyebabkan kesulitan dalam pengajaran yang efektif. Kurangnya program pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan keterampilan guru dalam mengajar STEM juga memperburuk situasi ini.

Selain itu, kultur pendidikan yang ada saat ini sering kali belum mendukung inovasi dan pendekatan interdisipliner yang esensial dalam pendidikan STEM. Kurikulum yang cenderung konvensional dan terfokus pada penilaian kognitif menghambat pengembangan keterampilan kritis, kreatif, dan kolaboratif yang diharapkan dari pendidikan STEM.

Hambatan lainnya adalah persepsi dan minat masyarakat terhadap bidang STEM. Banyak siswa yang merasa bahwa mata pelajaran STEM sulit dan tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga minat dan motivasi mereka dalam mengambil program ini menjadi rendah. Selain itu, stereotip gender yang kuat juga sering kali menghambat partisipasi perempuan dalam bidang STEM.

Terakhir, sistem evaluasi dan penilaian yang ada saat ini belum dirancang untuk mendukung pendekatan pembelajaran STEM. Penilaian yang berfokus pada prestasi individu melalui ujian tertulis tidak memberikan ruang yang cukup untuk menilai keterampilan praktis dan kemampuan kerja sama, yang merupakan inti dari pendidikan STEM.

Meskipun demikian, hambatan-hambatan ini tidak mustahil untuk diatasi. Diperlukan kerjasama antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang mendukung penerapan pendidikan STEM yang efektif dan berkelanjutan.

7.2. Solusi Efektif untuk Mengatasi Tantangan

Untuk mengatasi berbagai tantangan dalam penerapan pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics), beberapa solusi efektif perlu diimplementasikan secara holistik dan terstruktur. Solusi ini harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, institusi pendidikan, guru, orang tua, dan siswa.

Peningkatan Kapasitas Guru: Salah satu tantangan utama dalam penerapan pendidikan STEM adalah kurangnya guru yang kompeten dalam bidang ini. Pelatihan dan pengembangan profesional yang berkelanjutan bagi guru sangat penting. Program pelatihan yang mendalam yang terfokus pada metodologi STEM, penggunaan teknologi, serta pendekatan pembelajaran berbasis proyek dapat meningkatkan kapasitas guru secara signifikan.

Pengembangan Kurikulum yang Relevan: Kurikulum pendidikan STEM harus diadaptasi dan disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan industri saat ini. Kurikulum yang berorientasi pada aplikasi praktis dan proyek-proyek yang relevan dapat membantu siswa mengerti dan mengaplikasikan konsep-konsep yang mereka pelajari di dunia nyata. Kolaborasi dengan industri lokal untuk merancang kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja juga menjadi hal yang penting.

Penyediaan Sumber Daya dan Fasilitas: Keterbatasan sumber daya dan fasilitas menjadi salah satu kendala utama dalam penerapan pendidikan STEM. Oleh karena itu, adanya dukungan dari pemerintah dan sektor swasta untuk penyediaan laboratorium, perangkat teknologi, dan bahan belajar lainnya sangat diperlukan. Selain itu, pengembangan platform online dan sumber belajar digital dapat menjadi solusi untuk menjangkau lebih banyak siswa.

Inovasi Pembelajaran: Pendekatan pembelajaran yang inovatif, seperti pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning) dan pembelajaran berbasis masalah (Problem-Based Learning), bisa meningkatkan minat dan keterlibatan siswa dalam bidang STEM. Pembelajaran yang kontekstual dan terkait dengan kehidupan sehari-hari siswa akan membuat proses belajar menjadi lebih menarik dan relevan.

Dukungan dan Partisipasi Orang Tua: Partisipasi aktif orang tua dalam proses belajar anak-anak mereka juga menjadi faktor yang penting. Orang tua harus diberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai pentingnya pendidikan STEM, sehingga dapat memberikan dukungan dan motivasi yang dibutuhkan anak-anak mereka.

Dengan penerapan solusi-solusi yang efektif ini, diharapkan tantangan dalam mengimplementasikan pendidikan STEM dapat diatasi dan tujuan pendidikan yang menciptakan generasi unggul di bidang sains dan teknologi dapat tercapai.

8. Kesimpulan

Dalam pembahasan mengenai pentingnya pendidikan STEM menurut K.H. Dewantara (KI Hadjar), kita dapat menarik beberapa kesimpulan yang signifikan. Pendidikan STEM, yang mencakup pendekatan interdisipliner dalam bidang Science (Ilmu Pengetahuan Alam), Technology (Teknologi), Engineering (Teknik), dan Mathematics (Matematika), sangat relevan dalam era digital ini. K.H. Dewantara, sebagai tokoh pendidikan nasional, telah memberikan fondasi filosofis yang kuat melalui prinsip-prinsip pendidikan yang ia kembangkan dan terapkan.

Prinsip-prinsip K.H. Dewantara yang menekankan pada pendekatan praktis dan kontekstual menunjukkan sinergi yang jelas dengan pendidikan STEM. Implementasi pendidikan yang tidak hanya berbasis teori tetapi juga praktik nyata sangat relevan dalam mempersiapkan siswa untuk menjawab tantangan industri 4.0. Lebih jauh, pendidikan STEM yang berfokus pada pemecahan masalah, kreativitas, dan inovasi sejalan dengan tujuan pendidikan yang digariskan oleh KI Hadjar, yakni mengembangkan karakter dan kecerdasan kritis siswa.

Studi kasus dan implementasi di sekolah-sekolah yang mengadopsi model K.H. Dewantara menunjukkan hasil yang positif. Pengembangan soft skills seperti kemampuan bekerja sama, komunikasi, dan adaptabilitas sangat dioptimalkan melalui pendidikan STEM. Sekolah-sekolah yang menerapkan pendekatan ini telah berhasil meningkatkan prestasi akademik serta keterampilan hidup para siswa, yang menjadikannya model yang layak untuk diadopsi secara luas.

Meskipun terdapat tantangan dalam penerapan pendidikan STEM, seperti keterbatasan sumber daya dan kesiapan tenaga pengajar, solusi efektif telah diidentifikasi untuk mengatasinya. Penyediaan infrastruktur yang memadai, pelatihan berkelanjutan bagi tenaga pendidik, serta kolaborasi dengan berbagai stakeholder menjadi langkah penting dalam menjamin keberhasilan pendidikan STEM.

Sejalan dengan filosofi pendidikan KI Hadjar yang berfokus pada aspek keseimbangan antara intelektual, moral, dan keterampilan praktis, pendidikan STEM memiliki potensi besar untuk merevolusi sistem pendidikan kita. Oleh karena itu, mengintegrasikan prinsip-prinsip K.H. Dewantara dalam pendidikan STEM bukan hanya relevan, tetapi juga sangat mendesak untuk menciptakan generasi penerus yang siap menghadapi tantangan masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun