Mohon tunggu...
Mazmur Prasetya Aji
Mazmur Prasetya Aji Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Tuan rumah dari Podcast Happietalkie

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Lubang Sara

9 Desember 2021   21:55 Diperbarui: 9 Desember 2021   22:03 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Latihan paduan suara sore ini terasa berat sekali. Suara gospel yang dinyanyikan terdengar lebih mirip gumaman. Wajah-wajah terlihat tidak bersemangat. Lagu yang kami latih untuk ibadah besok memang sukar. Ketukannya berubah di tiap bagian lagu.

Aku berdiri di barisan, rasanya sudah mau pecah kepalaku. Belum lagi udara Jogja yang terasa lembap akhir-akhir ini. Sudah tiga hari ini aku flu berat. Ingus meler sedari tadi. Ingin segera pulang ke asrama, minum secangkir lemon hangat lalu merebahkan kepala.

Namun, itu harus kutahan beberapa jam lagi. Aku harus tinggal di gereja setelah latihan ini. Aku sudah berjanji pada Ibu Rosana untuk membereskan buket bunga yang tak rapi di sekitar mimbar. Bisa ngamuk dia kalau belum aku kerjakan. Sementara besok sudah Minggu.

***

"Bernyanyilah dengan hati!"

Konsentrasi kami buyar mendengar suara berat yang datang dari samping mimbar. Bapa Adrian, si pemilik suara, berjalan menghampiri barisan choir, lalu berdiri tepat di hadapan kami. Wajahnya tampak segar dengan setelan hitam baju pastor melekat di badannya yang masih tegap di usianya menjelang setengah abad.

"Bernyanyilah seperti untuk orang yang paling kalian kasihi," dia melanjutkan dengan gestur membaca puisi cinta. Sekilas dia memberi kode kepada Daniel yang duduk di balik piano untuk memulai bagian refrein lagu.

"Tuhan Maha Pengasih. Ya, Tuhan, ampunilah."

Sebaris kalimat pendek dinyanyikannya. Seketika menghipnotis para choir yang diam mematung. Suaranya yang berat dan bergetar itu, sudah berulang kali kami dengar di setiap ibadah, namun tetapi masih saja memesona di gendang telinga kami. Terlebih buatku, merambat ke setiap urat nadi dan berhenti tepat di inti jantung. Menciptakan debar asing yang terasa hangat.

***

Hampir pukul lima sore, latihan akhirnya selesai.

Bapa Adrian memompa kami dengan antusias. Mengambil alih tugas Yosua, pemimpin paduan suara, dengan ayunan tangan dan ekspresi muka mengikuti alunan piano. Saking semangatnya, butiran keringat dibiarkan membasahi dahinya. Seksi sekali.

"Pertahankan seperti ini di ibadah besok. Tuhan memberkati kalian semua!" sembari tersenyum penuh wibawa dia pamit kembali ke ruangannya.

Menyusul satu-persatu meninggalkan ruang latihan dengan muka lelah. Daniel paling terakhir setelah membereskan pianonya.

"Nggak pulang sekalian, Sa?" tanyanya sambil menjinjing tas punggung.

"Setelah buket bunga beres, Dan. Sudah janji aku sama Bu Rosana."

"Baiklah. Aku duluan, ya."

Aku mengangguk. "Sampai besok, Dan. Jangan telat!"

Daniel menjawab dengan lambaian tangan tanpa membalikkan badan sampai punggungnya hilang di balik pintu. Meninggalkan aku seorang diri di ruangan itu.

Aku mulai asyik merapikan buket bunga yang tak rapi, bersenandung pelan melantunkan lagu yang dilatih tadi.

"Tuhan Maha Pengasih. Ya, Tuhan, ampunilah."

Baru sebentar aku berkutat dengan bunga-bunga itu, seseorang memanggil namaku.

"Sara."

Aku mengenal suara itu.

Aku menoleh. "Ya, Bapa?"

Bapa Adrian berdiri di ambang pintu.

 "Nanti selesai beres pekerjaanmu, tolong bawakan sisa hosti di laci meja mimbar ke ruanganku, ya."

Suaranya pelan tapi cukup terdengar jelas di telingaku.

Aku segera menjawab. "Baik, Bapa."

Bapa Adrian berlalu setelah mengucapkan terima kasih.

***

Pintu itu aku ketuk perlahan.

Terdengar jawaban dari dalam mempersilakanku masuk.

Aku masuk dengan sedikit ragu. Tanganku yang memegang cawan berisi hosti sedikit gemetar entah kenapa. Aku tidak ingat apakah pernah masuk ke dalam ruangan ini.

Ruangan itu ada di lantai dua. Kira-kira sepuluh kali sepuluh meter, penerangan bagus, suhu pendingin udara disetel cukup rendah, sebuah meja besar berplitur dari bahan kayu jati dan sepasang rak raksasa berhadapan dengan banyak buku babon tersusun. Sayup-sayup terdengar lagu di latihan paduan suara tadi diputar dari pemutar audio.

"Tuhan Maha Pengasih. Ya, Tuhan, ampunilah."

Bapa Adrian berdiri bersedekap di depan jendela besar berteralis yang terbuka.

"Sudah selesai pekerjaanmu, Sara?"

Aku yang belum beranjak dari depan pintu, mengangguk cepat. Cawan yang kupegang dengan kedua tangan ikut bergoyang. Bapa Adrian memberi kode untuk menaruh cawan berisi hosti itu ke meja.

"Rosana itu terkadang terlalu banyak maunya."

Belum sempat aku menanggapi kata-kata itu, aku mendengar suara pintu ditutup, dan dikunci.  Dan entah karena memiliki kecepatan super atau bagaimana, Bapa Adrian sudah berdiri di belakangku. Dan terlalu dekat.

Aku dapat merasakan hangat badannya di punggungku. Dan sedetik kemudian sepasang lengan yang kokoh berusaha membalikkan badanku dengan kasar.

Hosti di cawan jatuh berhamburan ke lantai.

Di hadapanku sekarang, tidak lagi aku lihat wajah seorang laki-laki yang memesona dan penuh wibawa seperti beberapa saat lalu. Yang aku lihat saat ini, adalah wajah seekor serigala yang kelaparan. Sangat sangat kelaparan.

Yang mendorongku rebah ke lantai marmer yang dingin. Yang berusaha meraih bibirku dengan bibirnya yang terbuka dengan lidah terjulur. Yang penuh nafsu merabai dadaku yang bahkan belum tumbuh benar.

"Bapa..." aku merintih. "Demi Bunda Mar..."

Belum selesai aku berseru, sebuah tamparan yang keras mendarat di pelipisku. Setelah itu berangsur kesadaranku melemah. Sempat aku rasakan seseorang menindihku sedang menghunus kejantanannya di atas tubuhku. Sebelum akhirnya kegelapan benar-benar merampas kesadaranku.

***

Aku benci laki-laki itu.

Laki-laki yang sekarang yang sedang tepat di hadapanku, terpisah lima baris kursi jati panjang, berdiri di mimbar dan dari mulutnya yang nyaris berbusa mengatakan, "Kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri."

Mataku menyala menatap ke arahnya.

 Apakah kau mengasihiku juga saat kau melakukan perbuatan bejatmu itu?

 Apakah kau mengasihi aku juga yang dengan kasar merabai dadaku yang saat itu bahkan belum tumbuh benar itu?

 Apakah kau mengasihiku juga yang demi syahwatmu menghancurkan masa depanku delapan tahun lalu?

Aku sudah tidak tahan lagi! Aku bangkit dari duduk dan berteriak lantang tepat di tengah kotbah.

"Aku Sara, Bapa! Ingat?"

Suaraku menggelegar di ruangan besar itu. Kotbah seketika terhenti. Ruangan menjadi hening. Semua tatapan mata sontak tertuju ke arahku.

Laki-laki yang aku panggil Bapa itu menatapku. Menatap mataku yang bernyala. Aku lihat dia berusaha tenang, tapi aku menangkap keterkejutan di raut mukanya. Dengan dingin dia memberi kode pada beberapa penatua di pojok mimbar yang segera menghampiriku.

 Mereka dengan cepat menggamit kedua lenganku dengan paksa untuk keluar dari ruangan ibadah. Aku menurut saja.

 Sempat aku dengar seorang ibu berbisik pada orang di sebelahnya, "Dasar perempuan nggak bener. Lengannya saja banyak tato."

Penatua itu meninggalkan aku di luar. Aku dengar kotbah dilanjutkan.

***

Pintu itu aku ketuk perlahan.

Terdengar jawaban dari dalam mempersilakanku masuk.

 Bapa Adrian sedang sibuk di mejanya tanpa memperhatikan siapa yang masuk ruangannya.

"Tuhan Maha Pengasih. Ya, Tuhan, ampunilah."

 Seketika dia terkejut mendengar baris lagu yang kunyanyikan pelan barusan.

"Bagaimana kamu bisa masuk?" raut mukanya berubah ketakutan, mengingat kejadian di ibadah tadi.

Dengan tersenyum dingin aku mendekatinya. Dia cepat bangkit dari kursi dan menjauh dariku. Aku terus mendekatinya sampai dia terpojok di jendela besar berteralis.

"Aku menantikan saat ini, Bapa. Sejak aku meninggalkan asrama delapan tahun lalu." Aku katakan itu tepat di hadapan wajahnya yang pasi.

"Apa maumu, Sara?!" dia mencoba membentak, tetapi yang terdengar mirip rintihan.

"Bapa tahu?" aku menunjuk salah satu titik di lengan kananku. "Di antara banyak tato ini, ada nama Bapa di sini."

Laki-laki itu menatap seringai di bibirku dan beranikan diri melirik arah jariku. Sebaris kata-kata terajah dengan tinta merah di sana: ADRIAN ANANTA.

"Apa maumu, Sara?" tubuh laki-laki di hadapanku semakin lemas. Dia seperti terpaku untuk berteriak minta tolong satpam di bawah sana.

"Di diriku sekarang, ada dua lubang yang ke dalam keduanya, aku ingin menceburkan diri, Bapa."

Aku mencengkeram kuat ikat pinggangnya dan dengan cekatan meloloskannya.

"Apa maksudmu?!" pastor itu semakin merapat ke jendela, hanya teralis-teralis itu yang menahannya tidak jatuh ke bawah.

Aku tersenyum dingin. Aku meraih tangannya. Dia coba mendorongku. Tapi kali ini aku lebih kuat. Kamu sudah menua delapan tahun, Bapa. Dengan cepat aku ikat kedua tangannya di teralis dengan ikat pinggangnya.

Aku melucuti celananya. Kemaluannya tampak keriput dan kuyu.

"Tuhan Maha Pengasih. Ya, Tuhan, ampunilah."

Baris lagu yang aku senandungkan itu kali ini lebih mirip desisan daripada nyanyian.

"Apa maumu, Sara? Aku minta ampun." Bapa Adrian mengiba.

 Aku berjongkok tepat di hadapan kemaluannya itu. 

Bapa Adrian terhenyak dengan apa yang aku lakukan. Sesuatu yang tidak dia duga sebelumnya. Kelakuanku di selangkangannya semakin liar. Aku seperti binatang kehausan di padang pasir yang menemukan oase segar.

Bapa Adrian mulai menggeliat keenakan, matanya terpejam rapat menikmati ribuan syaraf yang mengirim informasi surgawi ke otaknya. Dari bibirnya keluar desahan yang awalnya tertahan, perlahan semakin menjadi, sesekali memanggil nama "Sara".

Nafasnya mulai memburu tanda dia akan mencapai klimaks dan desahannya semakin tak beraturan, semakin tak beraturan, dan tiba-tiba berubah menjadi lolongan kesakitan yang teramat sangat.

Semarang, 4 September 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun