Seketika dia terkejut mendengar baris lagu yang kunyanyikan pelan barusan.
"Bagaimana kamu bisa masuk?" raut mukanya berubah ketakutan, mengingat kejadian di ibadah tadi.
Dengan tersenyum dingin aku mendekatinya. Dia cepat bangkit dari kursi dan menjauh dariku. Aku terus mendekatinya sampai dia terpojok di jendela besar berteralis.
"Aku menantikan saat ini, Bapa. Sejak aku meninggalkan asrama delapan tahun lalu." Aku katakan itu tepat di hadapan wajahnya yang pasi.
"Apa maumu, Sara?!" dia mencoba membentak, tetapi yang terdengar mirip rintihan.
"Bapa tahu?" aku menunjuk salah satu titik di lengan kananku. "Di antara banyak tato ini, ada nama Bapa di sini."
Laki-laki itu menatap seringai di bibirku dan beranikan diri melirik arah jariku. Sebaris kata-kata terajah dengan tinta merah di sana: ADRIAN ANANTA.
"Apa maumu, Sara?" tubuh laki-laki di hadapanku semakin lemas. Dia seperti terpaku untuk berteriak minta tolong satpam di bawah sana.
"Di diriku sekarang, ada dua lubang yang ke dalam keduanya, aku ingin menceburkan diri, Bapa."
Aku mencengkeram kuat ikat pinggangnya dan dengan cekatan meloloskannya.
"Apa maksudmu?!" pastor itu semakin merapat ke jendela, hanya teralis-teralis itu yang menahannya tidak jatuh ke bawah.