Aku tersenyum dingin. Aku meraih tangannya. Dia coba mendorongku. Tapi kali ini aku lebih kuat. Kamu sudah menua delapan tahun, Bapa. Dengan cepat aku ikat kedua tangannya di teralis dengan ikat pinggangnya.
Aku melucuti celananya. Kemaluannya tampak keriput dan kuyu.
"Tuhan Maha Pengasih. Ya, Tuhan, ampunilah."
Baris lagu yang aku senandungkan itu kali ini lebih mirip desisan daripada nyanyian.
"Apa maumu, Sara? Aku minta ampun." Bapa Adrian mengiba.
 Aku berjongkok tepat di hadapan kemaluannya itu.Â
Bapa Adrian terhenyak dengan apa yang aku lakukan. Sesuatu yang tidak dia duga sebelumnya. Kelakuanku di selangkangannya semakin liar. Aku seperti binatang kehausan di padang pasir yang menemukan oase segar.
Bapa Adrian mulai menggeliat keenakan, matanya terpejam rapat menikmati ribuan syaraf yang mengirim informasi surgawi ke otaknya. Dari bibirnya keluar desahan yang awalnya tertahan, perlahan semakin menjadi, sesekali memanggil nama "Sara".
Nafasnya mulai memburu tanda dia akan mencapai klimaks dan desahannya semakin tak beraturan, semakin tak beraturan, dan tiba-tiba berubah menjadi lolongan kesakitan yang teramat sangat.
Semarang, 4 September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H