Yang mendorongku rebah ke lantai marmer yang dingin. Yang berusaha meraih bibirku dengan bibirnya yang terbuka dengan lidah terjulur. Yang penuh nafsu merabai dadaku yang bahkan belum tumbuh benar.
"Bapa..." aku merintih. "Demi Bunda Mar..."
Belum selesai aku berseru, sebuah tamparan yang keras mendarat di pelipisku. Setelah itu berangsur kesadaranku melemah. Sempat aku rasakan seseorang menindihku sedang menghunus kejantanannya di atas tubuhku. Sebelum akhirnya kegelapan benar-benar merampas kesadaranku.
***
Aku benci laki-laki itu.
Laki-laki yang sekarang yang sedang tepat di hadapanku, terpisah lima baris kursi jati panjang, berdiri di mimbar dan dari mulutnya yang nyaris berbusa mengatakan, "Kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri."
Mataku menyala menatap ke arahnya.
 Apakah kau mengasihiku juga saat kau melakukan perbuatan bejatmu itu?
 Apakah kau mengasihi aku juga yang dengan kasar merabai dadaku yang saat itu bahkan belum tumbuh benar itu?
 Apakah kau mengasihiku juga yang demi syahwatmu menghancurkan masa depanku delapan tahun lalu?
Aku sudah tidak tahan lagi! Aku bangkit dari duduk dan berteriak lantang tepat di tengah kotbah.