Aku masuk dengan sedikit ragu. Tanganku yang memegang cawan berisi hosti sedikit gemetar entah kenapa. Aku tidak ingat apakah pernah masuk ke dalam ruangan ini.
Ruangan itu ada di lantai dua. Kira-kira sepuluh kali sepuluh meter, penerangan bagus, suhu pendingin udara disetel cukup rendah, sebuah meja besar berplitur dari bahan kayu jati dan sepasang rak raksasa berhadapan dengan banyak buku babon tersusun. Sayup-sayup terdengar lagu di latihan paduan suara tadi diputar dari pemutar audio.
"Tuhan Maha Pengasih. Ya, Tuhan, ampunilah."
Bapa Adrian berdiri bersedekap di depan jendela besar berteralis yang terbuka.
"Sudah selesai pekerjaanmu, Sara?"
Aku yang belum beranjak dari depan pintu, mengangguk cepat. Cawan yang kupegang dengan kedua tangan ikut bergoyang. Bapa Adrian memberi kode untuk menaruh cawan berisi hosti itu ke meja.
"Rosana itu terkadang terlalu banyak maunya."
Belum sempat aku menanggapi kata-kata itu, aku mendengar suara pintu ditutup, dan dikunci. Â Dan entah karena memiliki kecepatan super atau bagaimana, Bapa Adrian sudah berdiri di belakangku. Dan terlalu dekat.
Aku dapat merasakan hangat badannya di punggungku. Dan sedetik kemudian sepasang lengan yang kokoh berusaha membalikkan badanku dengan kasar.
Hosti di cawan jatuh berhamburan ke lantai.
Di hadapanku sekarang, tidak lagi aku lihat wajah seorang laki-laki yang memesona dan penuh wibawa seperti beberapa saat lalu. Yang aku lihat saat ini, adalah wajah seekor serigala yang kelaparan. Sangat sangat kelaparan.