Ah, sial !! bayangan Pasar Senen muncul kembali. Aku muak !! Bayangan itu mengingatkanku dengan si Cimot, anak semang-ku. Dua hari lalu kepalanya pecah menghantam tiang listrik saat beroperasi di atas KRL. Entahlah, mungkin kakinya terpeleset. Atau,
Ah, aku tak ingin menduga-duga penyebabnya. Yang jelas nafasnya sudah pupus. Titik.
Namun yang menggusarkanku, kematiannya itu menyisakan urusan yang paling kubenci. Ketika semua rekan seprofesiku menudingkan telunjuknya kepadaku sebagai penyebab tak langsung kematian si Cimot, maka seketika itu aku dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab. Kau tahu apa yang kemudian terjadi ?, Emaknya melolong-lolong persis monyet disembelih. Perempuan peyot itu mendatangiku, memukul-mukul dadaku, mencabik-cabik mukaku, memaki-maki dengan bahasa yang paling kasar. Namun apalah dayaku, si Cimot yang sekarang sudah dicumbu cacing tak mungkin kukembalikan. Aku hanya diam teronggok membiarkan cakaran dan pukulan datang bertubi-tubi di dada dan mukaku.
Untunglah kereta berangkat tepat waktu. Aku cepat-cepat menyingkir setengah berlari meninggalkan perempuan peyot itu jatuh bangun mengejarku. Kutinggalkan Pasar Senen. Kutanggalkan pula rasa bersalahku saat memijak bordes kereta.
"tujuan kemana, Mbak ?" kualihkan pikiranku dengan berbasa-basi. Namun perempuan di depanku membisu.
Sesaat kuambil botol mineral yang masih tersegel dan kutaruh di papan kecil samping jendela. Semoga ia tertarik.
Ah, tidak. Aku tak ingin dia. Ingin kuambil lagi botol itu tapi .. ah biarlah dulu. Biar kunikmati obrolanku dengan si cantik ini. Sejenak tatapanku menyapu wajahnya. Aku tahu ia ingin berkata-kata.
"saya .. saya mau ke kampung, Pak" jawabnya lirih. Tatap matanya menautku. Masih terlihat sisa air mata yang berkilauan.
"kampungnya dimana ?" tanyaku lagi
"Cirebon, Pak"
"oh, di Cirebon. Masih cukup lama .. " sahutku menirukan.