Mohon tunggu...
Emil WE
Emil WE Mohon Tunggu... road and bridge engineer -

Seorang penikmat sastra, anggota forum diskusi sastra “Bengkel Imajinasi”, anggota Adventurers and Mountain Climbers (AMC 1969) Malang, kini tinggal di kampung kecil di Jawa Timur sehabis menekuni profesinya sebagai urban di Jakarta. Gemar menulis di alam bebas.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerpen: Perempuan di Atas Kereta

28 Desember 2010   22:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:17 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ah, sial !! bayangan Pasar Senen muncul kembali. Aku muak !! Bayangan itu mengingatkanku dengan si Cimot, anak semang-ku. Dua hari lalu kepalanya pecah menghantam tiang listrik saat beroperasi di atas KRL. Entahlah, mungkin kakinya terpeleset. Atau,

Ah, aku tak ingin menduga-duga penyebabnya. Yang jelas nafasnya sudah pupus. Titik.

Namun yang menggusarkanku, kematiannya itu menyisakan urusan yang paling kubenci. Ketika semua rekan seprofesiku menudingkan telunjuknya kepadaku sebagai penyebab tak langsung kematian si Cimot, maka seketika itu aku dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab. Kau tahu apa yang kemudian terjadi ?, Emaknya melolong-lolong persis monyet disembelih. Perempuan peyot itu mendatangiku, memukul-mukul dadaku, mencabik-cabik mukaku, memaki-maki dengan bahasa yang paling kasar. Namun apalah dayaku, si Cimot yang sekarang sudah dicumbu cacing tak mungkin kukembalikan. Aku hanya diam teronggok membiarkan cakaran dan pukulan datang bertubi-tubi di dada dan mukaku.

Untunglah kereta berangkat tepat waktu. Aku cepat-cepat menyingkir setengah berlari meninggalkan perempuan peyot itu jatuh bangun mengejarku. Kutinggalkan Pasar Senen. Kutanggalkan pula rasa bersalahku saat memijak bordes kereta.

"tujuan kemana, Mbak ?" kualihkan pikiranku dengan berbasa-basi. Namun perempuan di depanku membisu.

Sesaat kuambil botol mineral yang masih tersegel dan kutaruh di papan kecil samping jendela. Semoga ia tertarik.

Ah, tidak. Aku tak ingin dia. Ingin kuambil lagi botol itu tapi .. ah biarlah dulu. Biar kunikmati obrolanku dengan si cantik ini. Sejenak tatapanku menyapu wajahnya. Aku tahu ia ingin berkata-kata.

"saya .. saya mau ke kampung, Pak" jawabnya lirih. Tatap matanya menautku. Masih terlihat sisa air mata yang berkilauan.

"kampungnya dimana ?" tanyaku lagi

"Cirebon, Pak"

"oh, di Cirebon. Masih cukup lama .. " sahutku menirukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun