Pasar Senen dengan jutaan masalahnya ingin cepat-cepat kuhapus dari otakku. Aku muak. Perlahan-lahan menjauh, kutinggalkan bangunan klasik dan loko gerbong yang nampak kelelahan sehabis mengangkut penumpang. Kini, bedeng-bedeng kumuh seperti dangau reyot di tengah sawah kampungku berkelebat di seberang jendela. Hanya bedanya, dangau sawah kampungku menyirat keindahan, bukan ketidakmanusiawian.
Apalah arti hari ini, bagiku semua hari serasa sama. Kulewati ratusan malam di atas kereta yang lagi-lagi kutumpangi. Setelah bertahun-tahun menaiki kereta dengan jalur yang sama, kegerahan yang menancap di pikiranku mungkin telah menemui karatnya. Sepanjang jalan menjumpai pengemis yang sama. Di tiap titik mendapati pengasong yang sama.
"permisi, Pak"
Perempuan cantik berwajah layu mengalihkan pikiranku. Suaranya serak bergetar.
"silahkan-silahkan," kusibak kakiku menyingkir biar si cantik ini bisa duduk di dekatku, di pinggir jendela.
Lumayan. Perempuan bohai di depanku ini mengingatkanku jaman muda dulu, jaman ketika kugandrungi bintang film Liz Taylor. Rambutnya hitam tebal, tubuhnya meliuk terawat, rona wajahnya memancar kutub magnet yang hanya dimiliki kaum perempuan secantik kejora. Begitu kuat, begitu berdaya untuk sekedar dirasakan lelaki sepertiku. Tapi entahlah, wajahnya bernaung mendung. Ada duka yang hinggap hingga matanya berkilau air-mata. Jemarinya yang lentik sesekali menyeka kelopak matanya. Ah, kubuang pandanganku untuk sekedar bersimpati atas dukanya.
Laju kereta kian kencang. Bayang-bayang benda sesaat saja melintas di seberang jendela, seperti berlari. Gemeletak roda-roda besi yang menggilas sambungan rel terdengar ritmis harmoni. Berpadu teriakan pengasong yang menggurat urat leher sebesar kelingking.
"dipilih-dipilih, ayo dipilih, "
"lima rebu -lima rebu, ayo dipilih,"
"sayang anak, sayang istri, yang tetap ingin di sayang mertua, ayo cepat beli,"
Teriakan bersahut-sahut mirip kucing merayu betina. Bikin gatal telinga. Namun,