Mohon tunggu...
Elsa AmandaPutri
Elsa AmandaPutri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Baru di dunia penulisan

Menjadi bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dia (Kembali untuk Memulai)

23 Februari 2021   22:29 Diperbarui: 23 Februari 2021   23:07 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Hallo assalamualaikum Bun,”

“Waalaikumsalam salam, Zahra, nak kamu jadi pulang kerumah hari ini?”

“ Jadi Bun, ini Zahra lagi beres beres  barang yang akan Zahra bawa.”

“Baiklah Ra, kamu hati hati di perjalanan ya sayang, jangan ada barang yang tertinggal.”

“Baik Bun, Insya Allah tidak ada barang yg tertinggal.”

“Yasudah kamu beres-beres dulu, bunda mau masak-masakan kesukaan kamu, hehehe.”

“Terima kasih Bunda, Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam sayang.”

Ini adalah hari libur yang paling aku tunggu, dan hari libur yang sangat aku butuhkan setelah sekian banyak kesibukanku yang hampir tiada waktu senggangnya. Berada di kampung halaman selama liburan adalah impian mahasiswi sepertiku yang hampir menginjakkan kakinya di semester akhir.

Suasana Terminal sangat ramai, banyak orang datang dan pergi, turun dan naik ke dalam bus. Susana yang sangat khas sekali setiap tahunnya, ya susana dimana orang-orang ingin sekali segera sampai di rumah, ingin segera beristirahat dari kesibukannya, ingin segera merasakan kembali pelukan hangat keluarga yang mungkin sudah lama tidak terasa, atau bahkan ada yang sangat rindu pada kasur kesayangannya. Waktu yang sangat ditunggu-tunggu oleh orang sepertiku yang hidup di perantauan. Ya benar, waktu mudik ke kampung halaman.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam, Zahra. Bunda rindu sekali dengan mu.” Memelukku dengan lembut.

“Zahra juga rindu bunda, Ohiya dimana Ayah dan adik adik Bun?”

“Ada di dalam , yuk kita segera makan, pasti kamu sudah laparkan?”

“Hehehehe bunda tau aja deh, yuk Bun.”

Sudah seminggu aku berada di rumah. Aku duduk di kursi panjang dekat taman. Pikiranku tertuju pada satu nama yang selalu aku selipkan dalam doaku. Apa kabar dia?Dimana dia sekarang?. Ah, hatiku banyak sekali pertanyaan, tentang dirinya. Sudah hampir 3 tahun lebih aku tidak melihat dirinya dan mendengar kabarnya setelah kami berpisah.

"Zahra". Panggil seseorang dari belakang ku

"Eh iya, ada apa?" Jawabku dengan terkejut

"Besok ada rapat kepengurusan OSIS yang baru jam 10.30 bertepatan dengan mata pelajaran matematika, nah aku minta tolong kamu untuk kumpulin tugas teman-teman ya. Nanti bisa langsung kamu kasih ke ibu Retno. Minta tolong ya hehehe." Pinta suara itu.

"Ooh iya boleh kok." Aku mengiyakan dengan senang hati

Siapa juga yang bisa menolak suatu permintaan dari orang yang aku sukai. Iya, dia Fadhil ketua OSIS sekaligus teman dekat ku di kelas. Bisa-bisanya aku menyukai teman dekatku sendiri, lagian siapa juga yang tidak tertarik dengannya, orangnya pintar, rajin, baik, ganteng pula. Hanya saja dia tidak suka kepadaku.

"Ra besok kamu sibuk tidak?" Tanyanya

"Enggak dil, emangnya kenapa?" Tanyaku kembali. Aku memang hobi bertanya di atas pertanyaan, Dasar aku.

"Tugas dari pak teguh lusa harus dikumpulkan, nah kamu sudah siap tugasnya?"

"Belum sih"

"Nah bagus, besok pergi ke cafe dekat lapangan bola itu yuk, sekalian ngerjain tugas. Mau tidak?"

"Besok? Mm-mau dong hehehe". Jawabku dengan cengengesan. Sekali lagi, siapa yang bisa menerima ajakan dari orang paling populer di sekolah.

"Okey besok aku jemput jam 14.30, wajib harus sudah siap." pintanya.

"Okey bos." Jawabku dengan semangat.

Semester terakhir di sekolah, rasa-rasanya baru kemarin aku mendaftar disekolah ini baru kemarin juga rasanya aku kenal dengan Fadhil. Seperti biasanya, setiap menginjak semester terakhir semua siswa pada sibuk untuk mempersiapkan diri melanjutkan ke perguruan tinggi. Sama hal nya seperti aku dan Fadhil. Semenjak itu kami pun jarang bertemu selain di luar jam sekolah, bisa di bilang hubungan kami cukup renggang. Kami sibuk dengan urusan masing masing-masing, bahkan sebatas chatingan saja kami jarang.

"Ayah, bunda apa Zahra boleh ambil perguruan tinggi di luar kota?" Tanyaku kepada ayah dan ibu sambil menyantap sarapan di meja makan

"Kamu yakin?" Tanya ayah

"Zahra yakin yah"

"Kalau kamu sudah yakin, ayah mana bisa melarang nya. Kan yang kuliah kamu, yang menjalani kehidupan juga kamu, ayah cuma bisa support kamu saja. Ayah izinkan semua apabila itu baik bagimu Ra".

"Baik ayah, terimakasih"

Aku memberani kan diri keluar dari zona nyamanku, aku ambil perguruan tinggi yang lumayan jauh dari kotaku. Aku ingin hidup mandiri, yang biasanya sekolah diantar naik mobil aku ingin ke kampus naik angkutan umum.

"Alhamdulillah ayah, bunda aku keterima di PTN impian ku"

"Alhamdulillah, ini adalah hasil belajar keras mu selama ini Ra."

"Iyya nak, bunda bangga padamu."

Senang sekali hatiku, satu persatu keinginan ku di wujudkan.

'kriing' suara dering pesan masuk ke ponsel ku.

Fadhil sebuah nama yang tertera di layar ponselku. "hah Fadhil? Sudah lama sekali dia tidak menghubungi aku." dalam hati aku bertanya.

"Ra besok aku jemput kamu jam 15.00, harus sudah siap".

Bisa-bisanya setelah lama tidak menghubungi, dia malah mengajakku untuk bertemu. Pandai sekali dia menghancurkan usahaku untuk melupakannya.

"Okey dil, sampai jumpa besok". balas ku

Setelah membalas pesan, tiba-tiba aku kepikiran Fadhil. Akan kuliah dimana anak itu. Pasti jauh, jauh sekali meninggalkan aku disini. Apa dia tidak terpikir akan merindukan ku jika dia jauh dariku? Bodoh sekali aku memikirkan hal itu, belum tentu dia memikirkan hal yang sama. Tidak mungkin dia kuliah jauh atau bahkan sampai keluar negeri, dia kan anak yang manja, yang tidak bisa jauh dari orang tuanya. Tapi kalau benar bagaimana. Pikiran itu menghantuiku terus menerus, sampai aku tidak bisa menutup mataku untuk tidur. Pikiran itu berubah menjadi ketakutanku, ketakutan akan berpisah dengan orang yang aku cintai. Ketakutan bagaimana jika dia menemukan orang yang lebih asik dariku. Dasar Fadil, kau berhasil mengusai pikiranku malam ini.

“Sudah siap”

Aku terkejut ketika melihat kearahnya, tampan sekali anak ini mengenakan jaket hitam dengan helm menutupi wajahnya.

“ Ra sudah siap?” tanyanya sekali lagi

“Eh sudah”

“Ayo naik”

“Eh iya dil.”

Aku tidak tau dia akan membawaku kemana. Dengan polosnya aku tidaak bertanya tentang hal itu. Kali ini aku diam seribu bahasa, tidak banyak seperti biasanya ketika kami dalam perjalanan. Pikiran tadi malam masih ada di dalam kepalaku.

Kami sampai disuatu tempat. Tempat yang tidak asing bagiku. Ternyata itu adalah tempat pertama kami cabut dari kelas untuk mengerjakan tugas.

“ Kenapa kesini?”

“Ayo masuk”

“Jawab dulu, kenapa kita kesini?”

“Masuk Ra, aku bilang masuk”

“ Tapi dil….”

Dia masuk kedalam kafe meninggalkan ku tanpa basa basi. Dingin sekali sikap anak itu. Tidak seperti biasanya. Ada apa dengan dia.  Aku menyusul masuk kedalam kafe, mengikuti langkah kakinya. Seperti biasa aku hanya memesan es krim strawberry dan fadhil memesan kopi late kesukaannya.

“Dil…”

“Ra… aku keterima beasiswa di jepang”

Seketika aku tercengang mendengar perkataan fadhil. Air mataku hampir jatuh. Pikiranku malam tadi menjadi kenyataan. Tubuhku diam, aku tak mampu berkata apa-apa. Dipikiranku hanya bagaimana caranya agar air mata ini tidak jatuh.

“ Ra kenapa diam?”

“ Tega ya Dil, tega kamu ninggalin aku sendiri disini. Tega kamu ninggalin sahabatmu disini. Siapa Dil, siapa yang ngajak aku keluar jalan-jalan tanpa tujuan lagi? Siapa yang akan aku susahin nanti Dil? Tega kamu Dil”. Hebat sekali aku bicara begitu sambil tertawa kecil padahal di dalam hati sudah ingin lari dan berteriak.

“ Jadi kamu mau jadi sahabat aku hanya karena aku bisa nuruti mau mu saja ya ra?”

“ bukan gitu dil, tapi…”

“ Iya Zahra, aku tau kok bercanda”

“ Nah iya gitu. Tapi Dil kamu bener-bener tega ninggali aku disini, nanti siapa sahabatku lagi.?”

“ Ada Bobi Ra yang siap bantu kamu kapan aja, hahaha”.

“ Dil” aku menatapnya sinis. Dia tau sekali aku sangat tidak suka dengan Bobi. Lelaki paling nakal di kelas.

“Besok aku berangkat ke jepang pukul 10.00, bersedia mengantarku wahai sahabat?”

“Besok? Dil kenapa hobi sekali mengatakan sesuatu yang mengejutkan? Apa tidak bisa dari kemarin-kemarin kamu memberitahuku?” Dil nyebelin ih.” Hatiku semakin hancur mendengar dia akan berangkat ke jepang besok. Tidak secepat itu dil. Kenapa tidak memberi ku waktu utnuk siap-siap dengan perpisahan ini.

“ Kan biar seru Ra, biar jadi kejutan. Oke besok jam 08.30 aku jemput seperti biasa harus sudah siap. Tidak terima penolakan.”

“Tapi dil…”

“Sekali lagi tidak menerima penolakan. Ayo pulang.”

“ Dil. Ih nyebelin.”

Sepanjang jalan aku tidak berhenti menangis, sebisa mungkin aku berusaha agar Fadhil tidak tahu bahwa aku sedang menangis.

Bagaimana bisa aku melihat orang yang aku cintai pergi meninggalkanku jauh keluar negeri, untuk 3 tahun, 4 tahun atau bahkan bertahun-tahun.

Setelah Fadhil pergi ke jepang, semuanya berjalan denganberbeda kami tidak saling komunikasi lagi. Dia tidak pernah menghubungi ku lagi. Mungkin dia sibuk dengan tugas tugasnya atau memang dia tidak ingin menghubungi ku lagi. Yang pasti aku mencoba untuk fokus ke kegiatanku sekarang dan mencoba untuk melupakan fadhil yang sudah hampir setahun tidak aku dengar lagi kabarnya.

"Zahra". Bunda datang dengan tiba tiba dan berhasil membuat lamunan ku menjadi buyar.

"Iya bunda,"

"Sedang apa kamu nak?"

"Tidak ada Bun, Zahra hanya rindu duduk santai di taman ini Bun." Aku memang jarang sekali pulang kerumah, karena kampusku berada di luar kota.

"Hmmm, ohya nak, Apakah kamu sudah ada calon?"

"Calon apa Bun? Hehehe. Calon suami? Belum Bun."

"Nak kemarin ada seorang pemuda yang datang kerumah, Ia meminta kepada ayah, untuk melamar kamu. Tapi Bunda tidak yakin kamu akan menerimanya, karena kamu masih sibuk dengan kuliahmu. Ayah juga belum memberitahu apakah kamu menerimanya atau tidak"

"Bunda, kalau dia datang kembali kesini, bilang saja kepadanya, kalau dia benar benar menginginkan Zahra, apakah dia mau menunggu Zahra untuk menyelesaikan kuliah Zahra. Kalau dia bersedia dan dengan izin Allah, Zahra akan menerima pinangannya, setelah Zahra menyelesaikan kuliah."

"Baik nak, bunda akan bicarakan ini kepada ayahmu."

"Iya bunda, terima kasih banyak.

Setahun kemudian, aku lulus dari kuliah. Aku kembali ke rumahku.

Bunda kembali menanyakan apakah aku menerima pinangan pria yang pernah melamarku dulu.

"Zahra, apakah kamu sudah mempertimbangkan, apakah kau menerimanya atau tidak?

"Seperti yang Zahra bilang dahulu Bun, kalau dia bersedia menunggu Zahra sampai lulus kuliah dan dengan izin Allah Zahra akan menerima pinangannya."

"Kamu sudah yakin Ra?"

"Insya Allah Zahra yakin Bun. Ohiya Bun kalau Zahra  boleh tau siapa nama pria itu Bun?"

"Fadhil nak."

"Fadhil Bun? Fadhil teman Zahra waktu SMA dulu? bunda serius?"

"Ia nak Fadhil yang pernah kamu ceritakan kepada bunda,"

"Kenapa bunda tidak bilang dari awal Bun".

"Karena bunda yakin kamu akan menerima dirinya."

Fadhil adalah nama yang selalu aku selipkan dalam doaku, Nama yang selalu aku pinta kepada Allah agar bersama diriku. Fadhil kamu kembali dengan memintaku kepada Ayahku. Hebat sekali caramu, bagaimana bisa aku menolakmu, bagaimana bisa aku bilang tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun