Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber] His Last Vow

27 November 2015   16:38 Diperbarui: 27 November 2015   18:38 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lilik Fatimah Azzahra, No.04

 

Ponselku berdering. Nugie. Ia memanggilku.

"Ran! Cepat temui aku di Rumah Sakit!" Lalu sambungan terputus. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Bergegas aku mengeluarkan mobil dan meluncur ke Rumah Sakit di mana Rheinara tengah dirawat.

Setengah berlari aku melewati koridor. Di bangsal paling ujung kulihat Nugie berdiri dengan wajah pias.

"Rheinara, Ran. Ia mengamuk lagi. Kali ini ia menyerang  Dokter Jalal," Nugie berkata putus asa. Aku melongokkan wajah ke dalam kamar. Beberapa perawat berseragam putih tengah sibuk menenangkan Rheinara.

"Aku tidak gila! Tolong lepaskan aku! Biarkan aku pergi dari sini! Dokter Jalal itu iblis! Dia itu Mr. J yang menyamar! Dia akan membunuhku!" teriakan Rheinara menggema ke seluruh ruangan. Aku menatap Nugie yang berdiri mematung. Wajahnya terlihat sedih dan tampak sangat tertekan.

"Apa yang harus aku lakukan, Ran? Kondisinya semakin parah. Ia menganggap semua orang adalah musuhnya...." Nugie menghela napas panjang.

"Siapa yang terakhir menjenguk kemari?" selidikku.

"Tidak ada, Ran. Kenapa?" Nugie menatapku.

"Tidak apa-apa. Pastikan Rheinara tidak menerima tamu selain dirimu, Gie," aku mendekat dan berdiri di sampingnya.

"Berapa lama penyakit mengerikan ini akan berakhir, Ran? Aku tidak tahan melihat Rheinara diperlakukan selayak orang tidak waras," Nugie berkata lirih.

"Semua pasti akan berakhir, Gie," aku mencoba menenangkannya.

"Lagi pula, Mr. J dan Nugha telah dibekuk polisi. Tak ada lagi pengganggu hidup kalian," lanjutku.

"Benarkah? Bagaimana dengan Nina?"

"Nina telah memutuskan pergi jauh dan berjanji tidak akan mengganggu Rheinara lagi."

"Terima kasih, Ran...." Nugie menarik napas lega. Ia berusaha tersenyum meski senyum itu terlihat hambar.

"Tetaplah berharap Rheinara akan sembuh, Gie," aku menepuk pundaknya. Ia mengangguk.

Sebelum meninggalkan Rumah Sakit aku menyalami pengusaha muda itu.

Ini salam terakhirku. Karena tugasku dalam kisah ini telah usai.

 

***

Aku menerima surat izin cuti selama satu minggu dari atasanku. Segera kupesan dua tiket kereta api eksekutif jurusan Jakarta-Malang. Aku ingin menghabiskan liburan di kota dingin yang sekian lama kutinggalkan.

Dalam gerbong ketiga aku dan Alexa duduk berdampingan. Kubiarkan kepalanya bersandar pada pundakku. Aku tahu ia sangat lelah. Ia butuh menenangkan hati dan pikiran setelah begitu banyak kejadian menegangkan kami alami.

"Ran, lega rasanya bisa kembali menjadi diri sendiri," desah Alexa perlahan.

"Maafkan aku, Al, kau ikut terlibat urusan ini. Seharusnya aku menolak ketika Inspektur Migure memintamu untuk menemaniku," aku mencium lembut rambutnya yang wangi.

"Tidak, Ran. Kau tak perlu minta maaf. Takdirku memang harus menemanimu," Alexa memejamkan matanya.

"Kau ingin secangkir white frappe, Al?" aku menawarkan. Ia menggeleng.

"Kau tahu, Ran. Hal yang paling menyiksaku selama menyamar menjadi Rheinara adalah, setiap hari aku harus menghabiskan lebih secangkir white frappe!" Ia tertawa.

Angin berembus masuk melalui celah-celah jendela kereta yang sedikit terbuka. Alexa menggeser tubuhnya. Kini kepalanya beralih ke  pangkuanku.

"Ran, aku mengantuk sekali. Bolehkan aku tidur sejenak?"

"Tidurlah Al, aku akan menjagamu."

****

Perjalanan masih panjang. Alexa terlelap di pangkuanku. Wajahnya yang cantik tampak begitu tenang. Meski sesekali terlihat mengernyitkan dahi seolah tengah bermimpi buruk.

Aku menghela napas. Sekali lagi, aku menatap wajah yang tidur tenang di pangkuanku itu. Ah, aku tidak tidak berani membayangkan, andai saja malam itu kami tidak bisa menyelamatkan diri.

Yup, aku dan Alexa adalah dua orang polisi yang ditugaskan untuk menyusup di perusahaan milik Nugie. Perusahaan besar di bidang IT yang berkantor pusat di Jakarta.

Semua bermula dari panggilan Inspektur Migure.

"Ran, ada tugas penting untukmu," ujar Inspektur Megure seraya menyodorkan sebuah map ke hadapanku. Aku membuka map itu dan memperhatikan isinya. Ada beberapa catatan dan foto-foto terpajang di dalamnya.

"Itu foto-foto target kita, Ran. Mereka anggota mafia pengedar obat-obatan terlarang," Inspektur Migure menjelaskan.

"Kenapa ada dua foto dengan wajah yang sama?" Aku mengamati dua lembar foto di tanganku.

"Itulah yang harus kamu ungkap, Ran. Salah satu orang dalam foto itu adalah anggota sindikat yang sedang dalam pengejaran Polisi."

"Sepertinya mereka saudara kembar," aku bergumam seraya membalik dua lembar foto itu. Di belakang salah satu foto terdapat catatan kecil, Nugha.

"Nugha adalah saudara kembar Nugie," Inspektur Migure melanjutkan."Pelajari berkas-berkasnya dan surat tugasmu akan segera menyusul."

"Siap!"

"Tapi sebelumnya, aku ingin menceritakan kronologi kasus ini, Ran. Kuharap kamu menyimak baik-baik."

Inspektur Migure membetulkan letak duduknya.

***

"Dua bulan yang lalu, ada laporan masuk mengenai orang hilang. Seorang wanita bernama Rheinara, dilaporkan mengalami kecelakaan mobil. Tapi aneh, korban tidak diketemukan di TKP. Hanya ada kendaraan yang ringsek dan rusak berat. Keluarganya sudah menghubungi pihak Rumah Sakit dan berusaha mencari keterangan mengenai keberadaan korban. Hasilnya nihil. Wanita itu tetap tidak diketemukan hingga saat ini." Inspektur Migure berhenti sejenak. Ia menyulut cigaret di tangannya.

"Kau mau merokok, Ran?" ia menawariku. Aku menggeleng.

"Wanita bernama Rheinara itu kekasih Nugie. Nugie sudah memberikan kesaksiannya. Ia menyatakan tidak tahu menahu soal kecelakaan itu. Kurasa ia berkata jujur. Karena pada saat kecelakaan terjadi, Nugie tengah mengadakan rapat dengan beberapa anak buahnya," Inspektur Migure mengisap cerutunya sejenak.

"Lalu apa hubungannya dengan komplotan pengedar narkoba?" aku menyela.

"Temanku, Mr.Thanat, seorang Inspektur dari kepolisian Singapura, menghubungiku. Ia menyampaikan, salah seorang anggota sindikat narkoba yang menjadi target pihak kepolisian Singapura, menyusup ke Jakarta. Informasi data-datanya ada dalam map itu," Inspektur Migure menjelaskan.

"Apakah polisi sudah menemukan titik terang?" tanyaku serius.

"Untuk saat ini kita fokus pada pencarian wanita yang hilang itu, Ran. Hilangnya wanita bernama Rheinara itu kukira ada hubungannya dengan kasus ini."

"Yup, aku mulai paham."

"Bagus, Ran, tugasmu selanjutnya mengawasi perusahaan itu dan orang-orang yang kita curigai."

"Siap!"

"Oh, ya, kusarankan kau mendekati Nugie. Kau bisa bekerja sama dengannya. Perhatikan sekali lagi foto-foto yang ada di dalam map itu. Wanita muda itu bernama Nina. Sedangkan foto laki-laki setengah umur berwajah blasteran itu bernama James."

Aku mengamati foto-foto itu sekali lagi. Berusaha menyimpan wajah mereka dalam otakku.

"Satu lagi, aku juga akan menugaskan Alexa untuk menemanimu," Inspektur Migure menatapku sesaat.

"Alexa? Kenapa harus Alexa?" aku merasa kaget. Sekaligus deg-degan.

"Aku tahu banyak tentang kau dan Alexa, Ran!" Inspektur Migure tersenyum penuh arti. Seketika wajahku berubah memerah.

 

***

Alexa lebih dulu menjalankan aksinya. Ia berhasil mendekati Nina. Entah cara apa yang ditempuh Alexa sehingga penyamarannya berjalan begitu mulus.

Ketika tiba giliranku, Inspektur Migure berpesan,"kau harus bersikap seolah tidak mengenal Alexa, Ran. Di perusahaan itu Alexa telah berganti nama. Rheinara."

"Mengapa ia menyamar sebagai Rheinara? Bukankah Rheinara adalah wanita yang dikabarkan hilang itu?" aku menatap Inspektur Migure berharap mendapat penjelasan yang konkrit.

"Kehadiran Alexa hanya sebagai umpan, Ran. Untuk memancing buruan kita keluar dari sarangnya." Inspektur Migure mempermainkan puntung rokok di tangannya.

"Apakah ini tidak terlalu berbahaya bagi keselamatan Alexa?" tanyaku ragu.

"Alexa menerima tugas ini dengan senang hati. Lagi pula, ada kau yang siap melindunginya, bukan?" Inspektur Migure mengedipkan matanya. Lagi-lagi wajahku bersemu merah.

"Bekerjalah dengan baik, Ran. Aku mengandalkanmu!"

"Siap!" aku berdiri memberi hormat. Inspektur Migure ikut berdiri. Menjabat tanganku dengan erat.

"Selamat bertugas, Ran!"

 

***

Pertemuan rahasia....

Seperti yang disarankan oleh Inspektur Migure aku segera menemui Nugie. Ia sosok yang familiar meski terkesan agak cerewet. Tapi secara keseluruhan ia memiliki kepribadian yang menyenangkan.

"Jadi kau ingin bergabung di perusahaanku ini, Ran?" ia menatapku dengan pandangan tak percaya.

"Itu kalau masih ada tempat untukku," aku menyahut.

"Sejujurnya, pegawaiku sudah cukup banyak, Ran. Tapi, karena Inspektur Migure merekomendasikan dirimu, maka aku tak punya alasan untuk menolak lamaranmu," ia tersenyum.

"Oke, jadi tidak ada masalah. Kau sudah tahu siapa diriku dan apa tugasku. Sekarang coba ceritakan secara mendetail apa yang sesungguhnya terjadi. Aku siap mendengarkan," ujarku bersungguh-sungguh.

Nugie pun mulai mengungkap semuanya.

 

***

"Aku terlahir kembar, Ran. Kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakaan pesawat terbang ketika kami, aku dan saudara kembarku, Nugha, beranjak remaja. Mereka meninggalkan warisan yang cukup banyak. Beberapa rumah mewah dan sebuah perusahaan yang akhirnya harus kukelola. Mengapa harus aku? Karena Nugha lebih suka tinggal di luar negeri. Ia memilih melanjutkan kuliah di Singapura dan menetap di sana.

Sementara itu, tak banyak yang tahu bahwa perusahaan yang diwariskan kepada kami, ternyata bermasalah. Almarhum ayahku, terlilit hutang pada seorang investor blasteran bernama Mr. J. Perusahaan ini akan disita karena kami tidak mampu membayar pinjaman itu.  Aku mesti berusaha keras untuk menyelamatkannya, Ran. Aku mencoba bernegoisasi dengan Mr. J agar menangguhkan hutang-hutang kami. Mr. J bersedia mengabulkan permohonanku dengan satu syarat. Ia diperbolehkan ikut andil menangani perusahaanku ini. Awalnya aku agak keberatan. Tapi berhubung aku masih terikat hutang padanya, maka aku terpaksa menerima dia sebagai manager di kantorku. Jabatan itu pun dia sendiri yang memintanya.

Tapi lambat laun aku merasa ia mulai berkuasa. Ia yang mengendalikan semuanya, Ran. Termasuk diriku. Aku menjadi semacam robot yang diprogram untuk melayani dan harus patuh padanya.

Sampai pada suatu hari aku memperkenalkan dia pada Rheinara. Tunanganku. Dan agaknya Mr. J, menaruh hati pada Rhein. Itu terlihat dari cara dia menatap Rhein.

Aku pura-pura tidak tahu. Meski hatiku sangat cemburu. Apalagi Mr. J sering mengajak Rhein bertemu. Mereka kerap makan siang bersama. Rhein sendiri mengeluh padaku, ia sudah berusaha menolak tapi Mr. J tetap ngotot dan terus membujuknya.

Sampai suatu hari Mr. J menemuiku secara pribadi.

"Apakah kau menjalin hubungan istimewa dengan Rhein?" ia bertanya serius.

"Ya, aku dan Rhein sudah bertunangan. Kami akan segera menikah," jawabku berterus terang. Mendengar itu seketika wajah Mr. J berubah. Ia terlihat sangat marah dan kecewa.

Sejak saat itu Mr. J tidak lagi mendekati Rhein.

Aku sangat mencintai Rhein melebihi diriku sendiri, Ran. Aku bekerja keras membangun kembali perusahaan ini juga demi Rhein.

Kau pasti bertanya-tanya. Mengapa aku sangat mencintai Rhein? Itu karena Rhein pernah menyelamatkan nyawaku. Aku hampir mati tenggelam ketika kami berempat, aku, Nugha, Nina dan Rhein mengadakan pendakian. Nugha sengaja mendorongku hingga aku terjatuh ke sungai yang arusnya sangat deras. Itu terjadi ketika kami masih remaja, Ran.

Rheinara yang jago berenang itu segera menolongku. Aku selamat. Aku berhutang nyawa padanya. Sejak saat itu, hubungan kami semakin dekat. Kami saling jatuh cinta.

Kami melewati hari-hari yang indah, Ran. Sembari menunggu kondisi perusahan stabil, aku berniat segera menyuntingnya. Ia ikut serta membantu mengelola perusahaanku. Dan aku telah membeli sebuah apartemen untuk kami berdua.

Hingga kabar mengejutkan itu kuterima. Rheinara mengalami kecelakaan. Aku pun segera menuju lokasi dengan perasaan cemas dan gemetar. Aku mengkhawatirkan keselamatan Rhein.

Aku sempat histeris ketika tiba di lokasi kecelakaan. Mobil yang ditumpangi Rheinara tak karuan lagi bentuknya. Bisa kau bayangkan betapa paniknya aku. Apalagi di tempat terjadinya kecelakaan itu tak kutemukan sosok Rhein. Ia lenyap.

Aku segera menghubungi polisi. Secara kebetulan Inspektur Migure yang menerimaku. Aku menceritakan semuanya. Melaporkan hilangnya Rhein.

Inspektur Migure berjanji akan membantuku.

Ah, Ran. Tahukah kamu, betapa khawatirnya aku mengenai diri Rhein. Aku ingin ia segera ditemukan. Dalam keadaan apapun...."

Nugie mengakhiri kisahnya dengan mata berkaca-kaca.

Aku menyimak penuturan Nugie dengan seksama. Sungguh, pusaran kasus ini tidak sesederhana perkiraanku.

 

***

Satu Minggu usai pertemuan itu, aku mendapat kabar dari Nugie.

"Ran, Rhein sudah ditemukan!" serunya gembira.

"Benarkah? Di mana dia sekarang?" aku ikut lega mendengarnya.

"Rhein ditemukan di sebuah Rumah Sakit kecil di pinggiran kota. Bisakah kita bertemu, Ran?"

"Oke, tunggu aku, Gie. Kita akan bersama-sama menemui Rhein."

 

***

Seharusnya setiap pertemuan dengan orang yang kita cintai itu membahagiakan. Tapi tidak bagi Nugie. Kondisi Rheinara yang terikat membuat keceriaan wajahnya seketika sirna. Binar matanya yang tadi sempat kulihat kini tak ada lagi.

"Apa yang terjadi pada Rheinara-ku, Dokter? Mengapa kaki dan tangannya mesti diikat?" ia bertanya gemetar.

"Kami harus melakukannya. Jika tidak ia akan terus berontak dan mengamuk. Ia mengalami Multiple Personality Disorder," Dokter Jalal menjelaskan.

"Penyakit apa itu, Dokter? Semacam gangguan jiwakah?" Nugie menatap Dokter Jalal cemas.

"Ia tidak bisa membedakan antara khayalan dan kenyataan. Coba mendekatlah. Temui dia," Dokter Jalal mengajak kami menghampiri Rhein.

"Rheinara, ada tamu untukmu...." Dokter Jalal membangunkan Rhein.

"Siapa? Nina?" Rheinara membuka matanya. Nugie mendekat. Ia menyentuh wajah Rhein dan menciuminya.

"Rhein, ini aku, Nugie...."

"Oh, benarkah itu kau, Gie?"

"Rhein...." Nugie hanya mampu mendekap gadis itu. Hatinya terlalu sedih untuk diungkapkan dengan kata-kata.

"Ah, Gie, kemana saja kau selama ini? Mengapa kau tinggalkan aku demi seorang Ran?" Rheinara menatap Nugie dengan pandangan kosong.

"Ran? Dari mana kau tahu mengenai Ran?" Nugie terkejut.

"Nina, Gie. Ia menceritakan semuanya....Nina bilang Ran telah merebutmu dariku. Nina bilang, kau dan Ran, ber-ciuman...."

Nugie melepas pelukannya. Ia menatapku. Seketika wajahku terasa panas.

 

***

Aku menghampiri Dokter Jalal. Menanyakan sesuatu yang sangat penting.

"Siapa yang membawa Rheinara kemari, Dokter?"

"Seorang laki-laki. Aku lupa namanya."

"Apakah wajahnya blasteran?" aku menegaskan. Dokter Jalal menatapku heran. Tapi kemudian ia mengangguk.

Aku menarik napas panjang.

Mr. J!

Ia dalang dari semua ini.

 

***

Nina. Ya, aku tinggal menghadapi gadis ini. Ia mengetahui banyak hal. Aku harus bisa mengorek keterangan darinya.

Nina dengan mudah memberi tahu tempat persembunyian Nugha. Nina mengira bisa mengelabuiku. Kau, salah, Na. Aku tahu yang kau tunjukkan itu Nugha. Karena sebenarnya Nugie tengah bersama Rheinara di Rumah Sakit.

Usai pertemuanku dengan Nugha yang mengaku sebagai Nugie, aku mulai mencemaskan keselamatan Alexa. Ah, ya, Alexa. Ia harus kuperingatkan agar lebih berhati-hati. Singa buruan mulai berani menampakkan diri.

Ternyata Alexa tidak menjawab panggilanku. Kuputuskan untuk mendatangi apartemennya. Dan benar, ia tak ada di sana. Aku hanya menemukan selembar foto, surat pengantar dokter milik Rheinara, dan pada cermin. Kill...

Itu petunjuk dari Alexa! Ia sedang dalam bahaya. Pasti Nugha sudah mengetahui identitas Alexa yang sebenarnya.

Aku segera melakukan pengejaran ke tempat persembunyian Nugha.

Ternyata dugaanku benar. Ketika aku tiba di rumah persembunyian itu, Nugha sudah menungguku di ambang pintu. Ia berdiri menghadangku dengan tatapan penuh kebencian.

"Ternyata kau seorang Polisi, ya?" ia berkata sinis seraya merogoh saku jaketnya.

"Kau juga ternyata bukan Nugie," aku membalas kata-katanya.

"Kau sudah tahu terlalu banyak, Ran!" Ia mengeluarkan senjata dari saku jaketnya. Lalu menodongkan senjata itu tepat di kepalaku.

"Sangat disayangkan, Ran. Semuanya harus berakhir sampai di sini. Kau sudah berhasil membongkar identitasku yang sebenarnya. Dan aku juga sudah tahu siapa sebenarnya kau. Kita impas!" Nugha siap menarik pelatuk senjata api di tangannya.

"Tunggu!!!" sebuah teriakan membuat Nugha menoleh. Nina! Gadis itu keluar dari ruang dalam sembari menodongkan pistol ke arah Nugha.

"Kau bajingan, Nugha! Kau menipuku! Kau bilang tak akan melukai Ran!" Nina mengamuk.

"Hei....Ada apa ini? Kawan sejawatku, kenapa tiba-tiba kau begitu perhatian pada laki-laki brengsek ini?" Nugha menatap Nina tajam.

"Dengar Nugha! Terlalu lama aku mengabdi padamu. Menjadi kaki tanganmu. Menyelundupkan dirimu di perusahaan saudara kembarmu. Mengikuti perintahmu agar aku menyingkirkan Nugie dan Rhein. Menuruti saranmu agar aku menjejali otak Rhein dengan halusinasi jahat. Tapi apa yang kudapat? Aku tidak mendapatkan apa-apa!" suara Nina gemetar.

"Hahaha, kau baru sadar rupanya," Nugha terkekeh.

"Dasar pecundang! Sejak dulu kau menginginkan kematian Nugie dan Rhein. Kau bukan manusia, kau sama jahatnya dengan Mr. J. Kalian berdua sama-sama iblis!" Nina berteriak kalap. Suaranya menggema ke seluruh ruangan.

Dooorrrr!!!

Satu peluru melesat menyerempet pundak Nina. Gadis itu terhuyung. Kemudian jatuh tersungkur mengerang di lantai bersimbah darah. Senjata di tangannya terjatuh.

"Dasar gadis bodoh! Kenapa kau bawa-bawa nama Mr. J? Apa kau akan membuka rahasia kami di depan laki-laki yang kau puja ini?" napas Nugha tersengal. Tangannya yang memegang pistol bergetar hebat. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku merangsek maju. Menendang selangkangannya sekuat tenaga. Ia menjerit kesakitan. Senjata di tangannya terpental jatuh tak jauh dari kakiku. Kuraih senjata itu dan berbalik menodongnya.

"Sekarang katakan di mana kau sembunyikan Alexa!" aku memaksanya bicara.

"Hoho, jadi perempuan itu bernama Alexa, ya...." Nugha tersenyum mengejek. Ia terhuyung-huyung bangun.

"Jika sampai terjadi sesuatu pada Alexa, maka aku tidak akan segan menghancurkan kepalamu!" ancamku.

"Oh, ya? Seberapa besar cintamu pada Alexa? Sebesar cintaku yang ditolak Rheinara kekasih kembaranku itukah? Kau tahu, Ran, aku benci Nugie! Ia telah mendapatkan semuanya. Kesuksesan, wanita cantik, hhh, sementara aku? Siapa yang peduli padaku? Hanya Mr. J!" ia berkata penuh amarah.

Habis sudah kesabaranku. Aku harus segera membungkam mulutnya yang tak berhenti mengigau. Kulayangkan satu bogem ke arah wajahnya. Dia menjerit. Lalu tubuhnya menggelosor jatuh mencium lantai. Kali ini tak bergerak lagi. Pingsan.

Aku segera mengikat kaki dan tangannya menggunakan tali sepatuku.

Erangan Nina menyadarkanku. Kuhampiri gadis itu. Ia masih meringkuk di lantai sembari meringis memegangi pundaknya yang terluka.

"Na, gunakan ini," aku melepas syal yang melilit leherku dan membantu mengikat lukanya agar darah berhenti mengalir.

"Setelah ini, Na, pergilah sejauh-jauhnya. Jangan perlihatkan wajahmu lagi di hadapan kami. Juga jangan ganggu Rheinara dengan pikiran menjijikkan lagi. Biarkan ia sembuh dan hidup tenang bersama Nugie," bisikku. Nina menatapku. Matanya terlihat basah.

"Ran, jangan pedulikan aku. Segera selamatkan Alexa! Nugha mengurungnya di kamar atas. Cepat, Ran! Kamar itu telah dialiri gas beracun!"

Mendengar kata-kata Nina aku segera berlari ke lantai atas. Ada tiga kamar dalam keadaan terkunci. Aku mulai cemas. Di kamar mana Alexa disekap?

 

***

Terdengar suara rintihan perlahan. Itu suara Alexa! Sekuat tenaga aku mendobrak pintu kamar yang terletak paling ujung. Sial. Pintu itu sama sekali tak bergerak. Wajahku mulai berkeringat. Bau gas kian menusuk.

Bertahanlah, Alexa! 

Serta merta aku merogoh saku jaketku. Pistol Nugha! Tanpa pikir panjang lagi segera kumuntahkan pelurunya pada lubang kunci.

Dor!! Dor!! Dua kali tembakan membuat daun pintu hancur berkeping.

"Alexa!" aku berlari menemukannya. Ia terbujur pingsan di atas tempat tidur dengan kaki dan tangan terikat. Aku segera membopongnya keluar kamar.

"Alexa, bangunlah!" Aku mencoba menyadarkannya. Alexa tak bergerak. Sama sekali tak bergerak. Aku memeluknya dengan panik.

"Woow, sebuah kisah yang sangat dramatis!"

Aku menoleh.

Seseorang berdiri di belakangku.

Mr. J!

 

***

Laki-laki blasteran itu menodongkan senjatanya ke arahku.

"Sepasang tikus terperangkap di sarang Singa. Hahaha....lucu sekali," Mr. J tertawa terbahak-bahak. Ia berjalan perlahan mendekati aku dan Alexa.

"Berapa banyak yang sudah kau ketahui tentang kami, Ran?" ia menyeringai.

"Kalian mafia serbuk setan!" aku mendengus.

"Wow...keren sekali sebutan yang kau berikan, Ran. Mafia serbuk setan. Hahaha....pasti Nina, gadis bodoh itu telah bicara banyak padamu."

"Menyerahlah, polisi sudah mengepung tempat ini!" aku mengingatkannya.

"Menyerah? Kedengaran pengecut sekali, Ran. Sayang kami tidak mengenal kata-kata itu," Mr. J mencium ujung senjatanya.

"Ah, ya, ini akan menjadi peringatan bagi teman-temanmu, Ran. Yang telah lancang mengirim kalian berdua untuk memata-mataiku," Mr. J menghampiri kami. Ia kemudian berjongkok dan mengangkat wajah Alexa yang masih terkulai pingsan di pelukanku.

"Gadis secantik dia tak seharusnya terlibat dalam urusan ini, Ran. Kau mengenal Rheinara? Apa yang terjadi padanya? Ia nyaris mati karena tahu terlalu banyak mengenai urusan kami. Tapi aku puas, meski ia lolos dari maut, ia tak bisa memberikan keterangan apa-apa. Ia telah mengalami gangguan jiwa, hahaha...." tawanya kembali berderai. Lalu ia terdiam. Menempelkan ujung senjata di tangannya pada pelipis kanan Alexa.

"Pada hitungan terakhir, Ran...ucapkan selamat tinggal....pada kekasihmu ini," ia tersenyum dingin.

'Sepuluh...sembilan...delapan...tujuh...enam..., lima, empat, tiga, dua, sa...."

Jleddakkk!!!

Sebuah tendangan keras dan telak mengenai wajah Mr. J. Laki-laki itu jatuh tersungkur bergedebum mencium tanah. Aku segera bangkit. Meringkus dan mengunci kedua lengannya. Ia meronta-ronta sebentar. Tapi kemudian terdiam karena aku menindih tubuhnya yang tambun itu.

"Good job, Alexa! " aku tersenyum ke arah Alexa yang baru saja melayangkan tendangan maut itu.

"Aduh, Ran, berasa menendang tembok! Keras juga wajah laki-laki blasteran itu...." Alexa mengelus-elus ujung kaki kanannya.

Alexa melempar tali sepatunya ke arahku. Kuikat kedua kaki dan tangan Mr. J sekuatnya. Kubiarkan ia meringkuk di pojok ruangan menunggu pasukan polisi yang mulai berdatangan.

 

***

Alexa menggeliat. Ia terbangun ketika peluit kereta berbunyi.

"Maaf, Ran, aku ketiduran ya...," ia berusaha bangun sembari mengucek kedua matanya.

"Lanjutkan tidurmu, Al. Masih separuh perjalanan," ujarku meraih pundaknya. Ia menurut.

Malam kian merayap. Rasa penat tak mampu membuatku terlelap. Pikiranku masih berkutat pada peristiwa-peristiwa yang hampir saja merenggut nyawa Alexa. Lagi-lagi aku memandang wajah cantik perempuan yang tengah tidur di pangkuanku itu. Aku menghela napas panjang. Semua sudah berakhir, Al....

"Permisi, Anda turun di mana?" tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.

"Inspektur Migure?" aku terkejut. Laki-laki di hadapanku itu tertawa.

"Adikku tersayang ini memang jago tidur, Ran," Inspektur Megure menyentuh lembut pundak Alexa.

"Alexa...adik Anda?" aku menatap tak percaya.

"Ah, pasti dia tidak pernah cerita padamu, ya....Begitulah Alexa. Aku sempat heran. Mengapa ia mengikuti jejakku menjadi Polisi. Padahal menurutku, ia lebih pantas menjadi seorang artis."

 

***

Angin bulan November hampir berakhir. Aroma bulan baru pun mulai merebak.

Di sebuah kafe, di sudut Alun-Alun Kota Malang, aku dan Alexa menghabiskan senja yang sebentar lagi menghilang.

"Oh, ya, aku telah memesan minuman favoritmu, Al," ujarku riang.

"Hei, jangan bilang kau memesan white frappe ya...." ia tertawa.

"Tentu saja tidak! Kau kan sekarang bukan Rheinara lagi...." Aku menggodanya.

"Oh, ya, Rheinara, bagaimana keadaan dia?" Alexa menatapku serius.

"Rheinara akan baik-baik saja. Ada cinta Nugie yang selalu menjaganya...." aku membalas tatapannya. Alexa mengangguk. Wajah cantiknya tersenyum.

Ah, senyum itu, seolah menyindirku."Kau juga akan selalu menjagaku dengan cintamu kan, Ran?"

 

The End

 

***

Malang, 27 November 2015

Lilik Fatimah Azzahra

*Sumber gambar :www.bintang.com

*Untuk membaca karya peserta lain :http//m.kompasiana.com/androgini

                                                       FB Fiksiana Community

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun