"Gadis desa itu yang membuat Kevin merasa hidup, gadis desa itu yang membuat Kevin merasa bahagia..."
      "Apasih kurangnya Erika? Ia pandai, kaya, seagama?"
      Kevin tak menjawabnya dan berlalu menuju kamarnya. Dibantingnya pintu kamar, selera makannya mendadak hilang.
      "Vin..." suara Erika memanggil dari balik pintu
      "Pergi kau..."
      "Vin... izinkan aku masuk, aku nggak bermaksud apa-apa, aku nggak ingin  mengusik hatimu..." Erika perlahan membuka pintu kamar dan duduk disamping  Kevin.
      "Vin... kalau pintu hatimu memang sudah tertutup untukku, aku ndak papa.  Tapi paling tidak, izinkan aku untuk sekedar menjadi sahabatmu."
      "Kamu nggak akan pernah bisa mengerti aku, Ka" Suara Kevin melunak
      "Memang Vin, aku nggak akan pernah bisa mengerti hatimu. Tapi perasaan Sisil aku bisa mengerti..."
      "Tahu apa kamu tentang Sisil?" Suara Kevin kembali keras memutus perkataan Erika.
      "Aku tahu perasaan Sisil karena aku dan dia sama-sama wanita Vin... Aku  tahu bagaimana seandainya aku berdiri dipihak Sisil, aku tahu perasaan  hatinya yang harus terbentur pada dinding yang tak tertembus, kalau kamu  memang mencintinya, kamu harus punya keyakinan bahwa Cinta mempunyai  kekuatan yang mampu menembus apapaun meski terhalang tembok China,  karena cinta mampu meruntuhkan tembok Berlin. Pergilah Vin temui  cintamu. Bila cinta memanggilmu, temuilah ia walau tajam pisau  menghadangmu"