"Saya tidak mau mati muda. Teman-teman salah gaul saya banyak yang kolaps. Sayang...."
"Kamu masih bisa bangkit lagi. Kamu masih muda. Paling usiamu terpaut dua-tiga tahun di atas saya."
"Saya tidak tahu, apakah saya bisa bangkit atau tidak. Makanya, saya kabur dari rumah dan merantau ke Pulau Dewata ini."
"Lalu, orangtuamu bagaimana?"
"Entahlah. Ibu dan Ayah sudah bercerai setahun lalu ketika saya baru saja kabur dari rumah. Ibu tinggal bersama Nenek di kampung, sementara Ayah saya tinggal dengan istri mudanya."
"Kamu anak tunggal?"
"He-eh."
"Ibumu...."
"Saya masih rutin menyurati Ibu. Saya bilang, saya di sini mencari pengalaman hidup. Kalau kembali dan tinggal di Jakarta, saya takut terpengaruh lagi dengan dunia saya yang dulu itu. Setelah bilang begitu, Ibu jadi tenang, dan tidak memaksa saya lagi untuk pulang ke Jakarta.
"Kenapa larinya ke Bali?"
"Saya sebenarnya tidak pernah merencanakan akan kabur kemana. Mulanya saya bingung. Di luar daerah, saya sama sekali tidak punya sanak famili. Tapi setelah menimbang-nimbang beberapa hari, akhirnya saya pilih Bali karena di sini adalah daerah pariwisata. Paling tidak, saya punya modal bisa berbahasa asing. Bisa 'mengemis' jatah makan pada bule dengan jasa sulih suara. Buktinya, sampai sekarang saya masih dapat hidup berkat modal itu. Jadi guide lebih baik ketimbang jadi junkies, kan?"