"Kamu masih membenci Ayahmu?"
"Sakit hati sih, iya. Percuma membencinya. Toh hal itu tidak bakal dapat mengubah keadaan."
"Lalu, apa rencana masa depanmu?"
"Tergantung nasib. Saya sekarang tidak terlalu berharap banyak. Ada makan tiga kali sehari serta ada sedikit uang untuk bayar pondokan ya, sudah syukur. Bagi saya, terlepas dari dunia saya yang dulu itu merupakan keajaiban. Jadi, saya tidak berpikir macam-macam lagi selain dapat hidup dengan wajar. Itu saja."
Ruki mengangguk-angguk. Dia paham benar prahara masa lalu cowok itu. Ada empati yang perlahan menjalari dinding-dinding hatinya. Menggugahnya sampai ke batas iba. Dia bersimpati atas keteguhan dan kesederhanaannya dalam menyikapi hidup yang keras ini.
Sementara itu di atas panggung kafe, sang penyanyi bercelana jengki itu melompat-lompat membawakan lagunya yang cadas. Rimba manusia meluber di bibir panggung. Ikut bergoyang dan melompat-lompat seperti kesurupan.
***
"Ikutlah ke Narita...."
Sarwana membeliakkan mata. Sama sekali tidak percaya dengan indera pendengarannya sendiri. Sementara gadis itu mengangguk, mempertegas kalimatnya tadi dengan bahasa tubuh.
"Kamu bercanda!" Sarwana tertawa tertahan. Ini lelucon paling lucu yang pernah didengarnya!
"Saya tidak main-main."