Denpasar, 2004
Mengikuti partyzone seperti hari ini memang bukan kebiasaannya. Sarwana sama sekali tidak suka dengan iklim hura-hura, meski kadang-kadang kewajiban profesinya sebagai guide di sebuah travel mengharuskan dia mengikuti rutinitas hiburan sebagaian besar para turis itu.
Untung malam ini Mr John Rickers tidak terlalu ngotot ingin mengikuti acara pesta sampai pagi. Jadi dia bisa tenang beristirahat, dan tidak melulu begadang sampai kantung matanya menghitam. Usia senja memang tidak mengizinkan lagi tubuh visitornya yang besar itu untuk bergerak terlalu lama. Dan orangtua itu cukup bijak menyadari dirinya sendiri. Separuh tenaga tuanya memang sudah habis untuk mengelilingi Bedugul dan beberapa obyek wisata lainnya di Tanah Lot pagi hingga sore hari tadi.
Diputarnya tumit ke arah bartender setelah berpisah dengan bule tua asal Amsterdam itu. Sayang kalau voucher minumannya ditinggal mubazir. Jadi diputuskannya untuk menukarkannya dengan segelas minuman ringan. Dan dia baru saja bergerak dua tindak ketika seorang gadis Jepang menabraknya tidak sengaja.
"Sumimase," ujarnya dalam bahasa Jepang.
"It's okay." Gadis bermata sipit itu kelimpungan. Terbalik. Seharusnya sayalah yang minta maaf, bukan dia! serunya dalam hati. "Oh, I'm sorry. This is my fault."
Sarwana menanggapinya dengan senyum. Sama sekali tidak menyalahkan gadis itu meski Coca-Colanya terpental dan tumpah di lantai kafe. Sebuah anggukan kecilnya menyudahi kejadian kecil tadi. Dia pamit setelah bilang sayonara. Dan menghilang di rimba manusia yang tengah bergoyang mengikuti irama dari band di atas panggung.
Tapi gadis itu mencecarnya. Belum mau ditinggal begitu saja meski tidak ada sanksi apa-apa yang dikenakan padanya. Diterobosnya rimba manusia yang memadati ruangan kafe malam hari ini. Tiga malam berturut-turut dia kemari, tidak biasanya tempat hiburan di salah satu Kuta Square ini padat pengunjung, keluhnya. Diedarkannya matanya ke pojok ruangan. Cowok tadi sudah menghilang.
Dia berputar-putar. Masih berusaha mencari cowok tadi. Dia mengelak ketika tubuhnya nyaris terpental oleh sebuah dorongan tak sengaja dari seorang lelaki bule bertelanjang dada. Tanpa merasa bersalah lelaki tinggi besar itu meninggalkannya tanpa bilang apa-apa. Sementara itu band di atas panggung masih mengentak-entak. It's My Life-nya Bryan Adam terdengar serak dari suara sang penyanyi ketika dia memutuskan untuk berhenti sementara mencari cowok berkulit sawo matang tadi. Dia duduk di sebuah bangku kosong.
"May I sit here?"
Mata sipit gadis itu sertamerta membola. Cowok yang dicari-carinya berdiri tepat di hadapannya. "Oups...."
"Hey, what are you looking for?"
"Nothing,"Â balas gadis berkulit putih itu, lalu mencacahnya dengan pertanyaan secepat peluru. Dia tidak ingin kehilangan orang yang sedari tadi dicari-carinya itu. "Exused me. Where are you come from?"
"I'm stay here."
"Oya? Rupanya kamu orang Indonesia. Saya sangka kamu dari Puerto Rico."
"Hei, Anda bisa berbahasa Indonesia?"
"Sedikit. "
"Bagus. Jadinya, kita bisa berkomunikasi dengan lancar. Maaf ya kalau bahasa Jepang saya masih kaku. Daripada keseleo, mendingan saya berbahasa Indonesia saja. Anda setuju, kan?"
"Sure. Eh, jangan formil begitu, dong. Saya jadi risih, nih."
"Oke, oke. Saya lihat, sedari tadi kamu mutar-mutar di ruangan kafe. Cari siapa? Sori ya, atas kejadian tadi. Mungkin baju kamu basah kena tumpahan minuman."
"Tidak. Justru, sayalah yang seharusnya minta maaf karena menabrak dan menumpahkan minuman kamu. Eh, kenapa kamu tidak marah, sih? Saya jadi penasaran dan mencari-cari kamu ke sana kemari seperti cacing kepanasan. Saya mau minta maaf sekali lagi."
"Oh, rupanya kamu uber saya untuk minta maaf, ya?"
"Bukan begitu...."
"Apa saya pernah...."
"Hihihi. Kamu jangan salah sangka dulu. Saya nguber kamu bukan karena hendak menagih utang."
"Syukurlah. Soalnya, saya lari ke tempat ini karena ingin menghindari utang-utang saya yang menumpuk di luar."
"Memangnya kamu punya banyak utang apa di luar?"
"Hah, jangan pikir saya ini anak konglomerat. Kamu lihat, jins belel dan kaos oblong ini. Ini adalah simbol kemelaratan anak indekos."
"Hihihi. Lagu lama kebanyakan anak kuliahan."
"Hei, kamu tahu banyak tentang Indonesia?"
"Tentu saja. Saya pernah menjadi duta pertukaran pelajar Jepang-Indonesia dua tahun lalu di Makassar."
"Pantasan."
"Justru karena itulah saya nguber kamu. Sekadar untuk berbagi rasa...."
"Hei, jangan anggap saya ini biro curhat tempat penampungan unek-unekmu. Arigato atas kepercayaan kamu terhadap saya. Persoalan saya sendiri saja tidak beres-beres...."
Gadis itu tersenyum mendengarkan gurauan Sarwana, cowok kenalan barunya di dalam ruangan kafe. Ada sepasang lesung yang menyembul di sudut bibirnya. Indah seperti bunga sakura. Sarwana memandangnya kagum. Keluwesan gadis itu memikat hatinya. Menebarkan pesona yang jarang didapatinya dari serangkaian persahabatannya dengan gadis lain.
"Astaga, kita belum kenalan!" Gadis berdagu lancip itu menepuk kepalanya pelan. "Padahal, sudah sok akrab begitu...."
"Sarwana Parawangsa." Sarwana mengangsurkan telapak tangan kanannya ke arah gadis itu. "Status masih bujangan, sekarang sudah men-'duda' lagi karena baru saja ditinggal pacar."
Gadis itu menjabat tangan yang diangsurkan ke bawah perutnya. "Saya Ruki. Ruki Hirosue. Asal Narita. Pelajar. Status, gadis beranak satu."
"Hah, maksudmu apa sih?!" Sarwana ternganga dengan rupa bingung. "Kamu gadis tapi sudah punya anak? Maksudmu, kamu janda...."
"Hihihi. Maksud saya, saya ini gadis yang memiliki satu anak kucing betina yang bernama Mimi Hirosue."
Sarwana terbahak. "Asal! Kamu nakal, ya?" serunya sembari menjawil pipi gadis itu tanpa sadar.
"Eh, kamu kok ngerti bahasa Jepang, sih?"
"Saya pernah kursus di Jakarta."
"Kursus?"
"Tidak sampai mahir. Waktu itu saya masih kelas satu SMA. Ada iming-iming beasiswa ke Jepang dari sekolah untuk beberapa siswa teladan. Karena terobsesi, saya jadi giat belajar. Dan mengambil kegiatan ekstra kokurikuler bahasa Jepang. Lucu juga ya, mengingat motivasi yang melatarbelakangi niat saya bisa berbahasa Jepang."
Gadis itu tersenyum. "Edukasi kita mirip. Tapi motivasinya beda."
"Eh, kamu ceritakan dong sedikit tentang Jepang. Hm, saya paling suka melihat bunga sakura...."
***
"Bunga sakura berwarna merah muda. Sangat muda sehingga nampak memutih dari kejauhan. Bunga ini mempunyai lima kelopak dan sangat kecil, sehingga sulit dinikmati keindahannya secara individual. Keindahan sakura justru terletak pada jumlahnya yang sangat banyak memenuhi kanopi pohon, dan mekar bersamaan. Seperti halnya tulip di Belanda, mekarnya sakura juga menandai awal musim semi di Jepang".
Sudah pukul sebelas malam ketika Ruki menceritan keindahan simbol Negeri Matahari Terbit tersebut. Hingar bingar suasana kafe sedikit mengganggu. Namun gadis itu masih saja bersemangat berkisah tentang negerinya.
"Dan di Taman Ueno...."
"Taman Ueno?"
"Haik. Taman Ueno merupakan salah satu sakura garden yang paling ramai dikunjungi di Tokyo. Eh, sebetulnya di Tokyo ada beberapa tempat untuk melihat sakura pada awal musim semi. Misalnya, di seputaran Istana Kaisar 'Imperial Park', yang dikelilingi dengan danau buatan Hanzo-bori yang ciamik. Danau itu tampak lebih cantik dengan pantulan bayangan juntaian cabang-cabang pohon sakura yang sarat dengan bunga, yang menjulur ke atas air danau. Seperti cermin raksasa. Wah, indah sekali pokoknya. Turis-turis mancanegara yang kebetulan menginap di Palace Hotel, dapat melihat dengan leluasa pemandangan 'Imperial Park' yang sangat indah melalui jendela kamar mereka."
"Duh, asyik sekali."
"He-eh," angguk gadis itu dengan mata berbinar-binar. Dijedahinya lima detik cerocosannya untuk menyeruput jus apel pesanannya. "Bersamaan dengan mekarnya sakura, di bawah-bawah pohon sakura biasanya telah pula muncul bunga-bunga kecil berwarna kuning yang menambah cantik suasana. Di Taman Ueno, tidak jauh dari stasiun kereta Ueno, sakura malah tumbuh menakjubkan. Sewaktu Fifa World Cup 2002, saya sempat mampir ke sana. Transportasi ke sana juga tidak sulit. Karena dari stasiun Ueno ini memang ada kereta langsung ke Narita. Kalau di 'Imperial Park' pengunjung tidak boleh menggelar tikar untuk piknik dan makan, di Ueno hampir semua pengunjung datang justru untuk piknik. Tidak perlu kuatir seandainya lupa membawa bekal makanan dari rumah. Cukup banyak kedai kecil di sekitar Ueno yang menjajakan o-bento untuk di makan di Ueno."
"O-bento?"
"Itu sejenis makanan dalam kotak." Ruki menjelaskan antusias. "Hampir semua orang Jepang tidak pernah melewatkan kesempatan setahun sekali berpiknik di bawah naungan sakura. Orang Jepang menyebut kegiatan itu sebagai hana-mi, yang secara harfiah berarti menonton bunga. Sekalipun bunga sakura sudah mulai mekar pada akhir Maret, biasanya baru pada minggu kedua April diselenggarakan festival sakura. Setiap acara festival, masyarakat Jepang selalu memadati taman-taman maupun tempat-tempat bunga sakura itu tumbuh."
"Wah, heboh sekali, dong?"
"Sudah pasti. Terus, ada pula tradisi di kalangan para petani Jepang, yaitu melakukan upacara minum sake di bawah naungan kanopi bunga sakura. Upacara ini bertujuan untuk mengharapkan hasil panen yang baik pada tahun berikutnya." Ruki masih bercerita panjang-lebar. "Eh, mungkin mirip dengan kegiatan kultural orang-orang Sulawesi Selatan di Indonesia jika habis menuai padi. Kalau tidak salah namanya 'Lappo Ase'. Kira-kira berarti Panen Raya."
"Wah, kamu masih ingat budaya Bugis-Makassar, ya?"
"Sedikit, sudah lupa-lupa ingat." Ruki mengerutkan dahinya. "Orang Jepang juga percaya, pohon sakura merupakan tumbuhan suci yang menyimbolkan hubungan antara Tuhan dan manusia. Karena itu, melakukan hana-mi juga merupakan ritual keagamaan. Yang jelas, ketika menyaksikan keindahan sakura, orang tidak mungkin menyangsikan keagungan Tuhan."
"Oya? Ternyata bunga sakura memiliki banyak makna, ya?"
"Kalau bicara mengenai bunga sakura, pasti tidak ada habisnya," ulas Ruki bangga. "Sakura memang bunga yang sangat dicintai dan dibanggakan masyarakat Jepang. Bahkan menjadi simbol nasional bangsa kami. Para pejabat pemerintah dan diplomat Jepang misalnya, sering menggunakan lambang sakura sebagai label pin pada jas mereka. Bunga sakura juga menjadi desain yang muncul dalam berbagai kerajinan khas Jepang. Seperti pada kimono, tatami, kipas, cangkir, dan lain-lain."
"Duh, saya jadi ngiler ke Jepang." Sarwana berujar dengan mimik memelas.
"Oh ya, lalu obsesimu bagaimana, dong?"
Cowok itu menggeleng lunglai. Sinar di matanya meredup. Dihimpunnya alur lawas yang tersimpan di memori otaknya. Hatinya memerih. Ada seribu kenangan getir dalam lembar-lembar hitam masa remajanya. Dia ingin melupakan segalanya. Membilasnya dengan buliran waktu yang berjalan cepat.
***
"Kenapa?"
"Kegagalan itu yang menghancurkan semua semangat saya," jawab Sarwana separuh mendesis. Seolah berbicara pada dirinya sendiri.
"Gagal?" Ruki mengernyitkan dahinya. Dicondongkannya kepalanya lebih dekat, nyaris menyentuh dahi cowok yang tengah menundukkan kepalanya itu. "Gagal apa?"
"Sumimase, Ruki-chan,"Â sahutnya lemah, mengalihkan pertanyaan dari Ruki. "Tidak seharusnya pertemuan dan perkenalan kita ini diawali dengan kisah sedih begini...."
"Manusia pasti punya masalah. Kamu tidak usah ragu bakal merecoki perkenalan kita dengan tangis. Never mind. Saya rela jadi waskom curhatmu, kok," kata gadis yang bergaya funky itu. Matanya mendelik lucu.
"Hei, apa saya kelihatan cengeng begitu...."
"Habis, muka kamu memelas begitu." Ruki mencibir. "Ada apa sih sebenarnya?"
Sarwana membisu. Dadanya serasa sesak. Dihelanya udara dalam-dalam. Dibutuhkannya waktu lima detik untuk menimbang-nimbang, sebelum akhirnya menjawabi desakan pertanyaan gadis dari Negeri Sakura itu.
"Saya gagal mendapat beasiswa ke Jepang dari sekolah!"
"Mungkin kamu belum beruntung."
"Bukan. Semua karena Ayah saya...."
"Apa hubungannya?"
"Ayah terpikat pada wanita lain. Meski Ayah sah berpoligami, tapi Ibu saya tidak ikhlas. Setiap hari Ayah dan Ibu bertengkar. Keadaan dalam rumah tidak ada bedanya dengan neraka."
"Tapi seharusnya...."
"Seharusnya saya memang tidak boleh terpengaruh. Tapi, anak mana yang tidak sedih melihat kedua orangtuanya bertengkar sampai memutuskan untuk talak?!"
"Lalu...."
"Saya menyalahkan Ayah. Setiap hari saya uring-uringan dan membangkang perintahnya. Saya tidak lagi konsentrasi mengikuti mata pelajaran di sekolah. Nilai saya jeblok. Nama saya dicoret dalam daftar siswa teladan calon penerima beasiswa. Saya sakit hati dan frustasi. Akhirnya, saya mulai mengenal dan mengkomsumsi narkoba untuk melupakan masalah. Saya jadi junkies."
"Kamu kurang tabah."
"Saya menyesal. Tapi semuanya sudah terlambat. Ketika sadar, sekolah sudah mengeluarkan saya."
"Masih untung kamu cepat sadar."
"Saya tidak mau mati muda. Teman-teman salah gaul saya banyak yang kolaps. Sayang...."
"Kamu masih bisa bangkit lagi. Kamu masih muda. Paling usiamu terpaut dua-tiga tahun di atas saya."
"Saya tidak tahu, apakah saya bisa bangkit atau tidak. Makanya, saya kabur dari rumah dan merantau ke Pulau Dewata ini."
"Lalu, orangtuamu bagaimana?"
"Entahlah. Ibu dan Ayah sudah bercerai setahun lalu ketika saya baru saja kabur dari rumah. Ibu tinggal bersama Nenek di kampung, sementara Ayah saya tinggal dengan istri mudanya."
"Kamu anak tunggal?"
"He-eh."
"Ibumu...."
"Saya masih rutin menyurati Ibu. Saya bilang, saya di sini mencari pengalaman hidup. Kalau kembali dan tinggal di Jakarta, saya takut terpengaruh lagi dengan dunia saya yang dulu itu. Setelah bilang begitu, Ibu jadi tenang, dan tidak memaksa saya lagi untuk pulang ke Jakarta.
"Kenapa larinya ke Bali?"
"Saya sebenarnya tidak pernah merencanakan akan kabur kemana. Mulanya saya bingung. Di luar daerah, saya sama sekali tidak punya sanak famili. Tapi setelah menimbang-nimbang beberapa hari, akhirnya saya pilih Bali karena di sini adalah daerah pariwisata. Paling tidak, saya punya modal bisa berbahasa asing. Bisa 'mengemis' jatah makan pada bule dengan jasa sulih suara. Buktinya, sampai sekarang saya masih dapat hidup berkat modal itu. Jadi guide lebih baik ketimbang jadi junkies, kan?"
"Kamu masih membenci Ayahmu?"
"Sakit hati sih, iya. Percuma membencinya. Toh hal itu tidak bakal dapat mengubah keadaan."
"Lalu, apa rencana masa depanmu?"
"Tergantung nasib. Saya sekarang tidak terlalu berharap banyak. Ada makan tiga kali sehari serta ada sedikit uang untuk bayar pondokan ya, sudah syukur. Bagi saya, terlepas dari dunia saya yang dulu itu merupakan keajaiban. Jadi, saya tidak berpikir macam-macam lagi selain dapat hidup dengan wajar. Itu saja."
Ruki mengangguk-angguk. Dia paham benar prahara masa lalu cowok itu. Ada empati yang perlahan menjalari dinding-dinding hatinya. Menggugahnya sampai ke batas iba. Dia bersimpati atas keteguhan dan kesederhanaannya dalam menyikapi hidup yang keras ini.
Sementara itu di atas panggung kafe, sang penyanyi bercelana jengki itu melompat-lompat membawakan lagunya yang cadas. Rimba manusia meluber di bibir panggung. Ikut bergoyang dan melompat-lompat seperti kesurupan.
***
"Ikutlah ke Narita...."
Sarwana membeliakkan mata. Sama sekali tidak percaya dengan indera pendengarannya sendiri. Sementara gadis itu mengangguk, mempertegas kalimatnya tadi dengan bahasa tubuh.
"Kamu bercanda!" Sarwana tertawa tertahan. Ini lelucon paling lucu yang pernah didengarnya!
"Saya tidak main-main."
"Ke-kenapa mesti saya?!"
Gadis itu membisu. Sejenak ditekuknya kepalanya ke dada sebelum mengedarkan mata ke sekeliling ruangan kafe Suasana masih seramai tadi. Dihirupnya kembali jus apelnya dengan gerak gelisah.
"Padahal, ketemu juga baru beberapa jam lalu...."
"Memangnya kenapa kalau saya suka sama kamu!"
Sarwana terenyak. Dadanya bergemuruh. Ditatapnya sepasang mata ekuator gadis yang telah mengungkapkan perasaan hatinya itu. Ini mimpi! Serunya dalam hati.
"Saya suka kamu, Wana!"
"Kamu aneh...."
"Tapi, saya benar-benar suka sama kamu."
"Saya bukan orang yang pantas kamu sukai. Kamu cuma emosi. Lama-lama rasa suka itu juga akan hilang sendiri. Jadi...."
"Kamu tidak fair!"
"Kita temanan."
"Saya tidak mau membohongi perasaan saya!" Ruki menyanggah, berusaha meyakinkan ketulusannya. "Sedari kecil saya sudah diajari untuk berlaku jujur pada diri sendiri. Saya tidak ingin kecewa karena menutup-nutupi perasaan saya. Meski saya cewek, saya tidak ingin bersikap pasif terhadap orang yang saya senangi. Mungkin saya terlalu agresif. Tapi saya tidak peduli."
Sarwana memejamkan matanya. Gadis itu mendesaknya. Negeri Matahari Terbit merupakan obsesinya selama ini! Kini obsesi itu terpentang lebar di hadapannya....
"Bukankah apa yang saya tawarkan merupakan obsesi kamu selama ini?"
"Iya. Tapi bukan begitu caranya!"
"Kamu meragukan kesungguhan niat saya?!"
"Tentu saja tidak. Saya yakin kamu punya kemampuan finansial untuk melakukan niat kamu itu. Saya hargai semua itu. Cuma...."
"Cuma kenapa?"
"Cinta bukan masalah sepele, Ruki. Cinta itu tidak tumbuh sekejap seperti jamur. Tolong bedakan rasa sayang itu dengan emosi...."
"Ta-tapi...."
Sarwana menggeleng. Mendadak dia teringat seorang gadis teman seprofesinya di sebuah travel di Sanur, Kadek Sundriani. Ada serangkaian kalimat bijak yang pernah disampaikan gadis hitam manis itu kepadanya. Yang dijadikannya sebentuk bekal untuk senantiasa berpijak ke jalan yang lurus.
"Profesi kita sangat rentan, Wana. Kalau tidak pandai-pandai jaga diri, maka kapan saja kita dapat terjerumus ke jalan yang salah. Cobalah memilah antara profesionalisme dengan perasaan hati. Kedua-duanya beda. Sangat jauh berbeda!"
Kalimat bijak itu berdenyar di benaknya. Sejujurnya dia memang menyadari kerancuan yang kasatmata terjadi di dalam dunia mereka yang rapuh dan rentan. Dan dia tidak ingin terjerumus karenanya!
"Sarwana!" Gadis Jepang itu menjerit memanggil namanya, menggebah lamunannya seketika.
"Maafkan saya, Ruki. Saya tidak dapat menyertaimu ke Narita."
"Ke-kenapa...?!"
"Masih banyak tugas yang belum saya rampungkan di sini. Persoalan keluarga saya di Jakarta; Ibu serta Ayah yang belum akur. Semuanya itu masih belum beres. Saya tidak bisa lari meninggalkan tanggung jawab meski kesempatan untuk itu datang lewat tawaranmu tadi," tolaknya tegas. "Memang, Jepang merupakan obsesi saya dulu. Tapi, obsesi hanyalah tinggal obsesi. Itu seperti mimpi. Sekarang saya sadar, lebih baik menyongsong masa depan ketimbang terus-menerus terbelenggu di dalam obsesi-obsesi saya yang dulu itu, Ruki."
"Ka-kamu...."
"Sudahlah, Ruki. Saya bahagia dapat mengenal kamu. Kamu gadis yang baik. Tapi ada kalanya memang kita harus melangkah pada jalan kita masing-masing. Kalau kita memang sejodoh, suatu saat kita pasti dipertemukan kembali."
Gadis itu menggigit bibirnya. Mematung dalam diam.
"Saya harap kamu dapat mengerti." Sarwana beranjak dari bangkunya, melirik jam di pergelangan tangan kirinya. "Sudah larut malam. Besok saya mesti kerja. Saya antar kamu pulang, ya?"
Gadis itu menggeleng. "Besok saya kembali ke Narita!"
Sarwana menghela napas panjang. Diliriknya gadis itu diam-diam. Sepasang mata sipitnya membasah. Dicobanya untuk bersikap tegar. Menghalau gundah atas keputusan tegasnya tadi. Dilangkahkannya kakinya yang memberat ke arah pintu keluar kafe.
"Sayonara, Ruki!" ucapnya parau.
Gadis itu masih terisak di seberang meja ketika dia meninggalkan ruangan kafe.
Semuanya seperti mimpi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H