Kalimat bijak itu berdenyar di benaknya. Sejujurnya dia memang menyadari kerancuan yang kasatmata terjadi di dalam dunia mereka yang rapuh dan rentan. Dan dia tidak ingin terjerumus karenanya!
"Sarwana!" Gadis Jepang itu menjerit memanggil namanya, menggebah lamunannya seketika.
"Maafkan saya, Ruki. Saya tidak dapat menyertaimu ke Narita."
"Ke-kenapa...?!"
"Masih banyak tugas yang belum saya rampungkan di sini. Persoalan keluarga saya di Jakarta; Ibu serta Ayah yang belum akur. Semuanya itu masih belum beres. Saya tidak bisa lari meninggalkan tanggung jawab meski kesempatan untuk itu datang lewat tawaranmu tadi," tolaknya tegas. "Memang, Jepang merupakan obsesi saya dulu. Tapi, obsesi hanyalah tinggal obsesi. Itu seperti mimpi. Sekarang saya sadar, lebih baik menyongsong masa depan ketimbang terus-menerus terbelenggu di dalam obsesi-obsesi saya yang dulu itu, Ruki."
"Ka-kamu...."
"Sudahlah, Ruki. Saya bahagia dapat mengenal kamu. Kamu gadis yang baik. Tapi ada kalanya memang kita harus melangkah pada jalan kita masing-masing. Kalau kita memang sejodoh, suatu saat kita pasti dipertemukan kembali."
Gadis itu menggigit bibirnya. Mematung dalam diam.
"Saya harap kamu dapat mengerti." Sarwana beranjak dari bangkunya, melirik jam di pergelangan tangan kirinya. "Sudah larut malam. Besok saya mesti kerja. Saya antar kamu pulang, ya?"
Gadis itu menggeleng. "Besok saya kembali ke Narita!"
Sarwana menghela napas panjang. Diliriknya gadis itu diam-diam. Sepasang mata sipitnya membasah. Dicobanya untuk bersikap tegar. Menghalau gundah atas keputusan tegasnya tadi. Dilangkahkannya kakinya yang memberat ke arah pintu keluar kafe.