“Mak..Emak tetaplah yang terbaik,” balasku sambil menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Sebenarnya aku sendiri masih tidak mengerti mengingat usia beliaku. Tetapi yang terpenting aku dan kami sekeluarga tetap menyayanginya sampai kapanpun.
“Titisan darah emaklah yang mengakibatkan ayah dan adikmu mungkin belum kembali,” emak seperti tampak meratapi nasibnya disuatu sore menjelang hari raya diesok pagi.
Diceritakan bahwa hal tersebut adalah karena titisan darahku adalah berasal dari dari negeri tinggi, yang nantinya akan membawa akibat tidak baik kepada pasanganku nantinya. Bisa kehilangan atau kematian yang menjemput dengan berbagai cara.
Emak tidak ingin nasibku harus menanggung beban, seperti yang ditanggungnya saat ini. Dimana suami dan dua anaknya yang belum kembali seperti hilang ditelan bumi. Tidak seperti tetanggaku yang bersukacita saat menjelang hari raya. Semua orang-orang dari perantauan akan kembali merayakan bersama, hari kemenangan yang sangat ditunggu-tunggu. Sebaliknya emak, seperti menjadi orang yang paling merana. Ia menaggung kerinduan tiada berujung kepada ayah dan adik laki-lakiku. Sedang kakak perempuanku satu-satunya juga lagi tengah berjuang mengadu nasib kenegri tetangga untuk membantu memperbaiki kehidupan keluarga.
Waktu terus berlalu. Tak terasa air yang sebelumnya pasang tinggi sore tadi, sekarang sudah tampak surut menjauh dari tempat kami duduk.