Mohon tunggu...
Dyah R.
Dyah R. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berguguran Daun Senja itu

8 Desember 2024   18:42 Diperbarui: 8 Desember 2024   19:16 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dunia sudah mulai tua, begitu pula aku dan kamu ..." Ucapnya dengan melihat kepada jendela kafetaria yang sama dengan 26 tahun lalu. Senyumnya miring menatap toko seberang. 

"Begitukah ..." Perempuan di depannya mengaduk lemon tea dengan rasa yang legendaris meski sudah beralih tangan.

....

Seminggu lagi putri pertama mereka mengadakan wisuda namun keadaan kacau justru merumitkan perasaan mereka. Seakan lenggang sudah janji pernikahan yang di ucap dengan sepenuh jiwa. Dengan pecahan gelas kaca yang remuk mumur, seperti itu lah perasaan keduanya.

"Aku tau kamu sudah lelah karena bekerja, tapi hargai aku juga yang berusaha!"

"Lalu usaha kamu mana? Selama ini kerjamu pun tidak bisa menghidupi kita kan?"

"Iya! Benar apa yang kau katakan! ... Aku memang suami yang tidak beruntung mendapati istriku lebih berkecukupan daripada aku!" Matanya menatap nanar istri yang dulu selalu ia peluk sepulang kerja namun kini justru beradu pandang penuh dendam.

"Aku tidak minta banyak, aku hanya ingin gajimu berikan kepadaku sekecil apapun aku terima. Tapi aku tidak suka bila kamu tidak jujur mas!" Sudah tak ada kendali lagi cucuran sedih dari pelupuk matanya.

"Apa yang aku tidak jujur? Hah? Semua kau pegang aku tak punya uang sepeser pun!" 

"Lalu dengan bulan ini? Kemana gajimu?!" Ia mengusap matanya yang mulai buram saking derasnya air mata itu.

"Aku belum mendapatkannya! Itu terlambat diberikan!" Ucapnya sambil mengalihkan pandangan.

     Istrinya memegang kening kepalanya. Dengan sesak ia bernafas seakan ia mau sekarat.

"Kamu bohong! Aku tau kamu pun sudah mendapat gaji. Teman-temanmu semua sudah dapat mas!"

"Oh? Sampai situ kau curiga padaku?? Sampai kau menanyakan kepada temanku??"

"Iya! Karena aku rasa kamu menyembunyikan sesuatu dariku!" 

"Jadi inilah sumber curigamu menudingku yang tidak-tidak? Kau lebih percaya orang daripada aku ... Suamimu? Hah ... Entah masih adakah derajat itu untukku..." Ucapnya kecewa.

"Apa yang kau ucap mas? Kamu tetap suamiku dan hal itu yang membuatku mempertanyakan ini semua" 

Tak kuat lagi ia menahan emosi, sang suami memilih mengambil tasnya dan keluar dari rumah untuk mendinginkan kepala. Sementara istrinya berteriak memanggil namanya. Dengan penuh marah, sedikit menahan perginya karena ia merasa kesal ditinggal tanpa penjelasan dari masalah ini. 

Begitulah yang terjadi dalam rumah tangganya. Semua pertengkaran ini dimulai sejak pernikahan mereka berumur 10 tahun. Dan kian memburuk setelah kedua putri mereka berkuliah dan jarang di rumah. Selain tidak ada yang membuat mereka harus menahan diri karena takut putrinya tersakiti, kini pengeluaran mulai membengkak karena biaya kuliah. 

Alin hanya menangis di sofa ruang tengah dengan seluruh pikiran negatifnya. Kenapa suaminya sampai berbohong kepadanya. Adakah ia berjudi di luar sana? Atau terlilit hutang, atau parahnya ia memiliki perempuan lain yang lebih cantik dari dirinya telah merebut perasaan suaminya, sehingga hanya emosi dan dendam yang tersisa. Sakit rasa hatinya memikirkan semua itu. Alin dulu sangat mencintai Hamzah karena ketaatannya kepada Allah, sekarang dengan segala asumsi dalam pikirannya ia merasa telah salah menilai orang. 

Di sisi lain, Hamzah termenung di sebuah warung kopi milik temannya sambil menghisap rokok. Ia tak percaya bahwa sekarang ia dituduh berjudi dan berselingkuh hanya karena gajinya tak diberikan pada istrinya. Memang baru tahun ini ia tak memberi gaji pada istrinya, tahun-tahun sebelumnya ia selalu memberi walau jumlahnya kecil. 

"Zah ada apa lagi kau?" Ucap kawannya menghampirinya setelah mengubah tulisan open menjadi close pada kaca warungnya.

"Biasa Wan, marahan lagi aku dengan istriku..." Ucap Hamzah dengan nada sedih dan napas yang besar.

"Walah namanya rumah tangga ya begini Zah, tengkar baikan tengkar lagi baikan lagi ..." 

"Dia menuduhku selingkuh dan berjudi Wan!"

"Astaghfirullah ... Jangankan selingkuh kamu menatap perempuan lain lama-lama saja tidak bisa, bagaimana istrimu itu?" 

"Yah kamu sudah dengar kemarin masalah gajiku yang dipotong kan? Belum lagi separuhnya ku buat ganti rugi mobil yang ku serempet tanpa sengaja." 

"Marah gara-gara gajimu dipotong itu?" Ucapnya setengah marah.

"Bukan ... Belum sempat aku jelaskan dia sudah marah dan ... bahkan sudah bertanya kepada temanku apakah kami sudah gajian atau belum." Ucapnya sambil menghisap rokok ditengah-tengah ucapannya.

"Walah Zah..Zah. Yo jelas istrimu marah kamu juga belum kasih penjelasan kenapa nya." 

"Aku bingung Wan harus bicara seperti apa, takutnya akan ada pertengkaran saat aku mengatakannya aku coba buat cari cara lain buat kasih uang biar menutup gajiku yang habis itu tapi dia sudah tersulut duluan"

"Serba salah juga kau!" Ucapnya sambil geleng-geleng kepala.

"Apa lebih baik aku cerai saja dengannya ya Wan?"

"ASTAGHFIRULLAH! Istighfar kamu! Ngawur kalau ngomong. Pertengkaran itu wajar Zah dalam rumah tangga jangan dikit-dikit mikir cerai!" 

"Lagi pula, sudah bertahun-tahun kami terus bertengkar. Aku lelah Wan, dan aku tau Alin juga muak dengan semua ini ..." 

"Zah, pikirkan putrimu, bagaimana hati mereka bila orang tuanya bercerai?"

"Mereka sudah dewasa, harusnya sudah paham tentang perasaan orang tua kan?"

"Gila kamu! Jangan pernah ada pikiran seperti itu. Justru karena mereka sudah besar lalu nanti keduanya berkeluarga dan kau ditinggal mereka, siapa yang mengurus mu bila ada apa-apa hah? Ibu bapakmu sudah tak ada Zah, saudaramu pun sudah memiliki keluarga yang diurus."

"Kau lah urus aku ... Kita saudara kan?" 

"Ish, tak mau aku! Aku juga punya istri dan anak yang harus kupikirkan!" 

.... 

Setelah sebatang rokok itu habis disedotnya, ia pergi keluar untuk menghirup udara segar setelah pekatnya asap rokok memenuhi paru-paru nya. Tiba-tiba kepalanya pusing matanya mulai buram dan menggandakan semua benda yang ia pandang. Badannya terhuyung dan oleng ke kanan ke kiri. Telinganya berdengung mendengar panggilan dari Wawan tapi tak ada tenaga yang tersisa untuk menimpalinya. Dan seketika ia ambruk dan semuanya menjadi gelap. 

"Wes.. menyusahkan sekali si Hamzah ini." Umpat Wawan sambil membopong badan kawannya ke dalam mobil carry yang baru ia beli second. 

Dengan panik dia mengangkut Hamzah dan membawanya ke rumah sakit. Setelah beberapa menit yang lalu ia menampar temannya namun tak kunjung menyadarkan si pingsan. Setelahnya sampai di UGD dan memberikan Hamzah pada petugas medis, Wawan menelepon istri Hamzah untuk mengabarkan keadaan suaminya. 

Dengan panik Alin menyahut segala kerudung tanpa berpikir cocok kah warnanya dengan bajunya, tanpa menimbang bagaimana kini keadaan wajahnya apakah sedap dipandang atau tidak. Dengan kalut walau burung hantu sudah berkokok di tengah malam ia menerjang segala ketakutannya kepada makhluk halus yang konon muncul di waktu begini. saat ini ia hanya memikirkan suaminya.

"Mas Wawan!" Ucapnya gopoh dengan wajah yang masih bengkak akibat tangis.

"Lin!" Wawan berdiri dan berusaha menenangkan Alin yang tergesa-gesa. Sepertinya bahkan ia tak ingat untuk bernafas. 

"Mas Hamzah dimana?" 

Wawan menunjuk ranjang yang masih tertutup kelambu karena sedang dilakukan pemeriksaan oleh tenaga kesehatan. "Tenang Lin, Hamzah tidak apa-apa tadi katanya sepertinya tensinya naik jadi dia pingsan tapi masih dilakukan pemeriksaan lanjutan itu."

"Ya Allah mas, terima kasih. Alhamdulillah mas ketemu sama mas Hamzah, kalau tidak bagaimana kalau dia pingsan tidak diketahui orang!" Ucapnya sambil sesenggukan dan derai tangis. 

Wawan menyuruh Alin duduk dan menunggu dengan menenangkan diri dulu. Keduanya terduduk sama-sama memikirkan pasien bernama Hamzah yang tengah diperiksa. Tak lama perawat mengatakan kondisi Hamzah masih belum stabil. Ia hanya mengalami hipertensi saja, untuk saat ini Hamzah harus menginap di rumah sakit. Jika besok pagi tensinya sudah membaik ia diperbolehkan pulang. 

"Mas Wawan pulang saja dulu, Mbak Dina pasti mencari Mas. Terima kasih sudah mengantar Mas Hamzah, saya akan disini menunggunya siuman." 

"Baiklah, Lin, kalau ada apa-apa telepon aku ya!" Ucapnya khawatir kepada istri temannya. 

"Iya mas, terima kasih sudah mau direpotkan." 

Ucapan terima kasih Alin dibalas senyum dan anggukan dari Wawan. Ia kemudian berlalu dan pulang mengendarai carry nya. 

Alin berjalan menuju ranjang Hamzah, ia membuka tirai kemudian masuk ke dalamnya. Ia menatap sedih pada suaminya yang kini terbaring tanpa kesadaran. Kemudian ia duduk di samping sang suami. Ia tautkan jarinya dengan jari suaminya kemudian menangis diam pada ranjang rumah sakit. 

Hamzah terbangun dini hari, melihat Alin yang menggenggam erat tangannya ia hanya diam. Kemudian ia memilih untuk tertidur lagi karena tak ingin membuat tangan istrinya terlepas dari genggamannya. Tak lama Alin dibangunkan adzan subuh, ia kemudian beranjak dari duduknya dan menuju ke masjid untuk sholat. Sekembalinya dari sholat ia menemui Hamzah sudah siuman, ia memanggil perawat. Alin mengurus kepulangan Hamzah karena tensinya sudah normal. 

Keduanya pulang berboncengan motor dengan Alin sebagai pengemudi. Sampai di rumah, tanpa adanya obrolan, Alin bersiap untuk mengajar. Profesinya sebagai guru SD membuatnya tak bisa meninggalkan murid-muridnya tanpa alasan yang teramat penting. 

Setelah pulang kerja, Alin melihat Hamzah duduk di meja makan, dengan tatapan malas Alin beralih menuju kamarnya namun Hamzah mencegahnya dan meminta Alin untuk duduk dan berbicara.

"Bagaimana tadi di sekolah?"

"Baik, kenapa?" Jawab Alin malas.

"Katamu ... apakah kita sebaiknya bercerai saja?"

"...." Tanpa jawaban. Alin menautkan alisnya. Ia tak menyangka bahwa suaminya bisa mengatakan hal ini. 

"Kurasa, kau dan aku sudah tak ada yang bisa dipertahankan. Kau juga lelah kan selalu berdebat denganku? Mungkin lebih baik kau mencari orang yang lebih setara dengan dirimu Lin." Ucap Hamzah sedikit melemah, ia setengah hancur mengatakan semua ini. 

"Mas ingin kita cerai?" Dengan setengah tak percaya, namun pikirannya justru membenarkan tudingan perselingkuhan suaminya. 

"..." Hamzah bisu tanpa jawab, ia bukannya ingin cerai. Tapi bila ia pikir lagi Alin lebih butuh cerai daripada dirinya.

"Baiklah bila itu yang Mas mau, aku tak menolak. Mari kita lakukan. Akhiri saja semua ini!" Ucapnya sambil berpaling, tak ingin terlihat menyedihkan.

"Tapi, aku harap kita urus setelah wisuda Ajeng. Karena aku tak ingin kita pergi dengan keadaan bercerai di hari bahagia itu." 

Alin mengerti Hamzah paling menyayangi kedua putrinya, ia hanya beralih menuju kamarnya. "Terserah mas saja." 

....

Lama termenung pada kaca gedung Hamzah tak menyendok apapun dari piringnya. 

"Zah, kenapa kau!" Ucap temannya sambil menepuk bahunya keras.

"Ah kau ini, tak apa hanya tak berselera aku." 

"Makan lah untuk membuatmu tetap hidup." Candaan temannya hanya membawa sesenti senyum dari mulutnya. 

'tring...tring...' bunyi dering handphone membuyarkan lamunan Hamzah, ia tak lagi menyendok sotonya. 

"San, bayarkan sotoku ini uangnya, aku izin ada urusan penting!" Wajahnya kalut tak terbaca hanya berlari dengan kecepatan penuh.

Yang ditinggali uang terbingung, "Zah.. sayang sotomu tak makan e lah!" Ucapnya sambil menyeret mangkuk mendekat. "Lumayan hehe.. beli satu gratis satu." 

"Istri bapak mengalami kecelakaan, saat ini sedang dilarikan ke rumah sakit. Bapak bisa segera ke rumah sakit saja untuk menyusul." 

Bagaimana tidak kalut dia saat handphone istrinya menelepon namun justru petugas medis yang berbicara. 

Sampai di rumah sakit Hamzah melemah, ia melihat sang istri terdiam diatas brankar yang tengah di dorong dengan kepala bercucuran darah dan kakinya entah apa yang terjadi kakinya terbalut kain yang bahkan ikut memerah. Ia kini terduduk di depan ruang operasi mondar-mandir sambil menggigit jari. Sesekali ia terduduk sambil memegang keningnya. Sekujur tubuhnya bergetar, sudah tak perduli pada air mata yang bahkan hampir mengering. Ia hanya berharap sang istri tersadar. 

Beberapa jam berlalu istrinya sudah keluar dari ruang operasi ia menatap sang istri yang masih belum sadar dan menggenggam erat tangan istrinya sambil mengikuti brankar operasi berjalan menuju rawat inap. Berjam-jam ia menunggu istrinya tertidur. Ia hanya duduk setia di samping istrinya. Rasanya seakan hampir kehilangan hidupnya. Ia sudah bertanya pada perawat akan keadaan istrinya yang sampai saat ini belum juga terbangun. Dikatakan perdarahan pada kepalanya cukup banyak maka dari itu kesadarannya akan cukup lama. 

Hilir mudik para kerabat menjenguk Alin tanpa kesadaran yang dijenguk, hanya bercakap-cakap dengan Hamzah. 

"Bude, kenapa tidak bareng sama Jihan tadi kesini nya?" Sapa Hamzah pada perempuan tua yang masih saja terlihat bugar dengan sang suami di sampingnya.

"Hohoho, kami mau beromantisasi masa tua." Ucap sang suami yang memang sok puitis. 

"Monggo-monggo duduk dulu, mohon maaf duduk di bawah karena tidak ada kursi ini." 

"Wes le, tidak usah repot-repot kamu duduk o sini." Ucap Bude sambil melarang Hamzah mengeluarkan segala kletikan untuk disuguhkan pada tamunya. 

Seperti yang lain Hamzah menceritakan kronologi kecelakaan Alin yang ia dengar dari saksi dan polisi. Ia bersyukur bahwa Alin ditangani orang yang paham kalau tidak mungkin kakinya tidak terselamatkan karena patah tulangnya tak terlihat. 

"Le, kamu itu suami yang baik. Tidak salah Pakde menjodohkan mu dengan ponakan tersayangnya." Ucap Bude di sela-sela perbincangan

"Ya jelas lah, aku ini melihat orang dari sikapnya, jujur, tanggung jawab, sabar, juga telaten!"

"Hahaha ... dulu Bude menolak kamu loh, karena Alin sudah Bude anggap seperti anak sendiri sepeninggal orang tuanya. Bude pikir kamu orang yang loyo dan tidak bisa jadi suami yang baik. Lah kok si Alin terlanjur kepincut sama kamu." Ucapnya sambil tertawa mengingat betapa bodoh ponakannya sampai memohon padanya dulu. 

"Bude tau kamu sangat paham akan agama, tapi ketika melihat pekerjaanmu dulu Bude melarang, takut kalian akan mengalami pertengkaran karenanya, tapi lihat sekarang. Lega sekali rasanya. Memang watak keras nya Alin itu cuma bisa luluh sama sabarnya kamu Zah!" Ucap Bude sambil mengusap wajah Hamzah. 

"Le, uang itu bisa dicari tidak usah kamu bingung sama masalah itu semua sudah ada ketentuannya. Barangkali Alin marah padamu, Taulah itu cuma karena dia kelas atau perasaannya sedang buruk orang Pakde saja dapat marahnya juga dulu sering sekali." 

"Betul sekali, bahkan setara Bude yang merawatnya saja dapat marahnya ya Pakde hahaha, memang wataknya yang begitu. Itulah nak kalau Alin itu api kamu yang jadi airnya bukan untuk membunuhnya, tapi mencegah dia agar tidak merusak dan memporandakan dunia." 

"Hancur dunia kalau Alin ketemunya yang wataknya sama. Hahahaha!" 

Mendengar semua wejangan itu Hamzah hanya termenung. Ia hanya tersenyum dan tertawa dipaksakan.

Hamzah kembali pada duduknya dengan menggenggam tangan istrinya. Ia kemudian membacakan ayat Al-Quran yang ia hafalkan. Ia kembali berpikir sambil membacakan ayat suci. Sudah benarkah keputusannya menceraikan istrinya sedang yang ia pelajari dulu ustadz sangat mewanti-wanti semua muridnya untuk tidak gampang bercerai. Dengan berakhirnya surat yang ia baca ia tertidur sambil menggenggam dan mencium tangan kecil istrinya. 

"Mas hamz...A..M..as..Hamzah.." Ucapan lirih itu membangunkan Hamzah dari tidur pulas nya. Ia tersadar kemudian langsung menimpali panggilan itu.

"Iya sayang.. Mas disini Alin..." Ucapnya sambil mengelus wajah mungil istrinya dengan tangan besarnya. Hatinya bergetar, sudah lama kata sayang tidak terucap untuk satu sama lain.

Tak lama setelah panggilan Hamzah pada istrinya Alin mulai membuka matanya perlahan ia mengerjap memandang suaminya yang kini berderai air mata di depannya. Kemarin bahkan mereka beradu pandang penuh dendam sedang kini ia dapati tatapan halus penuh khawatir dari sang suami. 

Hari bertambah setelah kesadaran Alin, ia mulai diperbolehkan untuk duduk makan dan perenggangan diatas kasur. Hamzah yang sangat telaten mengurusnya ia memandikan dan menyuapinya makan bahkan ia membersihkan kotoran Alin setelah ia BAB. Rasanya dia malu pada suaminya yang telah merawatnya tanpa jijik. 

'Srek...' tirai pasien sebelah dibuka. Seperti biasa memang nenek Sutiyah sangat senang berbincang dengan Alin, terkadang ia ikut mendengarkan lantunan ayat suci yang dibaca oleh Hamzah untuk Alin. 

"Nduk Kirana..." Sapa nenek sebelah pada Alin.

"Nggih nek?" Sahut Alin, meski bukan nama aslinya yang ia dengar. Nenek itu sedikit pikun ia selalu merubah nama panggilan Alin dengan panggilan putri-putri zaman kuno. 

"Kamu itu beruntung sekali punya suami seperti dia. Orang nya baik sekali, Sholeh pula. Dia tidak ada perhitungannya bolak balik rumah sakit dan rumah, memandikan mu dan menjagamu. Nenek doakan kalian langgeng dunia akhirat Aamiin ya Allah" Ucap nenek dengan bahagia dan senyum. 

"Aamiin nek ..." Ucap Alin dengan tersenyum getir. Ia berpikir atas apa yang sudah mereka sepakati untuk bercerai. Bagaimana mungkin mereka bisa langgeng dunia akhirat. Sedang dunia saja mereka sudah mau berpisah. 

....

Sehari sudah setelah kepulangan Alin ke rumah, kini ia mulai berpikir apa yang akan terjadi dalam rumah tangganya. 

"Mas ... Mas Hamzah." Panggil Alin sambil mengetuk pintu kamar Hamzah. 

"Lin, kenapa kamu kemari, kan bisa panggil mas dari kamar saja." Ucap yang dipanggil dengan khawatir.

"Kita makan di luar yuk Mas, mau ke kafetaria yang dulu kita kesana." Ucap Alin memohon sambil menampakkan senyumnya yang paling manis.

Hamzah menatap istrinya penuh kasih, kemudian mengecup keningnya, "Boleh, Mas siap-siap dulu ya." 

Mereka berboncengan dengan motor menuju kafetaria yang dimaui, jalanan setelah hujan memang sangat sejuk menyegarkan paru-paru. Tak kurang mentari senja yang membuat suasana kota kecil ini semakin romantis bagi pasangan tua ini. Di atas Vario tinggi itu Alin memeluk suaminya dengan erat. Ia berniat membahas tentang perceraian, setidaknya apapun yang akan diputuskan nanti biarkan ia saat ini memeluk suaminya dengan penuh cinta. Si pengemudi pun bukannya tak paham, ia sudah menduga dalam hati mungkin Alin akan membahasnya. Ia sungguh ingin waktu berjalan lama 

berharap perceraian tak akan terjadi. Bagaimana hati mereka kan berbicara itulah yang menjadi penentu karam tidaknya kapal mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun