Alin berjalan menuju ranjang Hamzah, ia membuka tirai kemudian masuk ke dalamnya. Ia menatap sedih pada suaminya yang kini terbaring tanpa kesadaran. Kemudian ia duduk di samping sang suami. Ia tautkan jarinya dengan jari suaminya kemudian menangis diam pada ranjang rumah sakit.Â
Hamzah terbangun dini hari, melihat Alin yang menggenggam erat tangannya ia hanya diam. Kemudian ia memilih untuk tertidur lagi karena tak ingin membuat tangan istrinya terlepas dari genggamannya. Tak lama Alin dibangunkan adzan subuh, ia kemudian beranjak dari duduknya dan menuju ke masjid untuk sholat. Sekembalinya dari sholat ia menemui Hamzah sudah siuman, ia memanggil perawat. Alin mengurus kepulangan Hamzah karena tensinya sudah normal.Â
Keduanya pulang berboncengan motor dengan Alin sebagai pengemudi. Sampai di rumah, tanpa adanya obrolan, Alin bersiap untuk mengajar. Profesinya sebagai guru SD membuatnya tak bisa meninggalkan murid-muridnya tanpa alasan yang teramat penting.Â
Setelah pulang kerja, Alin melihat Hamzah duduk di meja makan, dengan tatapan malas Alin beralih menuju kamarnya namun Hamzah mencegahnya dan meminta Alin untuk duduk dan berbicara.
"Bagaimana tadi di sekolah?"
"Baik, kenapa?" Jawab Alin malas.
"Katamu ... apakah kita sebaiknya bercerai saja?"
"...." Tanpa jawaban. Alin menautkan alisnya. Ia tak menyangka bahwa suaminya bisa mengatakan hal ini.Â
"Kurasa, kau dan aku sudah tak ada yang bisa dipertahankan. Kau juga lelah kan selalu berdebat denganku? Mungkin lebih baik kau mencari orang yang lebih setara dengan dirimu Lin." Ucap Hamzah sedikit melemah, ia setengah hancur mengatakan semua ini.Â
"Mas ingin kita cerai?" Dengan setengah tak percaya, namun pikirannya justru membenarkan tudingan perselingkuhan suaminya.Â
"..." Hamzah bisu tanpa jawab, ia bukannya ingin cerai. Tapi bila ia pikir lagi Alin lebih butuh cerai daripada dirinya.