Diskriminasi dan Masa Depan Arsya
Erna sempat khawatir ada perlakuan diskriminatif di Nias akibat sertifikat medis penyebab kematian Nadine terkait suspect covid-19.
Erna tidak tahu lagi harus berbuat apa jika pada akhirnya, Nadine harus dimakamkan di Jakarta, sementara dirinya dan suami kembali ke Nias.
Bahkan, Erna sudah membayangkan akan adanya penolakan dari masyarakat Nias saat dirinya kembali.
Tapi, kekhawatiran itu buru-buru ditepis ketika pihak RSCM berkenan mengubah isi sertifikat medis penyebab kematian Nadine.
Jumat, 14 Agustus 2020, Nadine dimakamkan di tempat pemakaman umum di Desa Baruzo, Kecamatan Sogaeadu, Kabupaten Nias, Sumetera Utara.
Di Jakarta, Arsya dan kelima anak atresia bilier yang kini tinggal di Rumah Singgah Pejuang hati hanya bisa berharap, pihak RSCM kembali membuka program transplantasi hati. Karena bagi mereka, hanya itu alasan utama datang ke Jakarta.
Di masa pandemi seperti ini, tak banyak kegiatan yang dilakukan penghuni Rumah Singgah Pejuang Hati.
Setiap hari jika tidak ada jadwal kontrol ke RSCM, hanya berdiam diri di kamar. "Terkadang, saya isi kekosongan kegiatan dengan senam dan memasak," kata Sartiani.
Jumat, 24 April 2020, saat Jakarta menerapkan PSBB, Dyah Putri Ambarwati mengirim pesan ke penulis, "Pasienku terpenjara akibat PSBB di Jakarta. Nggak ada yang bisa keluar. Aku waswas saja kalau ada yang meninggal, bagaimana nih?"
"Yang tertahan di Jakarta menjadi tanggungan kami (Yayasan Rumah Satu Hati). Mereka makan saja susah, biaya hidup juga mahal. Mata publik semua fokus ke covid-19," katanya.