PERPPU ORMAS NOMOR 2 TAHUN 2017: DISKRESI YANG MENJELMA JADI UNDANG-UNDANG TERKINI
 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam kehidupan masyarakat berlaku berbagai ketentuan sopan santun, moral, agama, dan hukum. Keempatnya harus berjalan beriringan supaya sistem yang berlaku tetap berjalan harmonis.Â
Segala suatu yang terjadi dalam masyarakat sudah dapat dipastikan bahwa keempat unsur tersebut terdapat didalamnya baik secara alamiah maupun disengaja dibentuk. Individu berkumpul, membuat suatu komunitas, menempati suatu wilayah dan menjalankan norma yang berlaku dan lahirlah hukum yang mengatur hak dan kewajiban masyarakat didalamnya.
Berawal dari bergabungnya unsur-unsur tersebut terbentuklah Negara sekaligus hukum yang berlaku serta pemimpin dan yang dipimpin. Termasuk Negara Indonesia sendiri, bersamaan dengan konsep demokrasi yang dianut, sifat sikap Negara Indonesia sudah tercermin dalam Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusinya. Cita-cita Negara hingga bagaimana cara Negara ini berjalan sudah tertuang dalam dua dari empat pilar Negara itu.
Negara dengan konsep yang berasaskan Pancasila pada hakikatnya tidak boleh pasif dalam menjalankan tugas negara, melainkan harus aktif turut serta dalam kegiatan masyarakat. Sehingga persatuan bagi setiap masyarakat tetap terjamin sesuai dengan apa yang terdapat dalam nilai-nilai Pancasila.Â
Sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila sila ketiga "Persatuan Indonesia" juga Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ketiga yang menyebutkan bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum yang berarti negara yang berdiri di atas hukum dan menjamin keadilan bagi warga negaranya.
Hukum merupakan sebuah sistem yang terdiri dari sub-subsistem yang apabila terjadi kekurangan pada satu subsisten, subsistem yang lain akan menutupinya. Adapun hukum yang dimaksud ialah hukum tertulis atau undang-undang, dengan demikian pengubahan hukum untuk disesuaikan dengan keadaan tidak dapat setiap kali dilakukan.[1]
Arti dari hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dan masyarakat berarti pula mengatur bagaimana penguasa bertindak terhadap masyarakat. Dengan adanya asas legalitas sebagai unsur utama dalam negara hukum, maka diartikan bahwa setiap tindakan administrasi negara atau penguasa harus berdasarkan hukum yang berlaku.Â
Apabila seorang penguasa bertindak atas nama pemerintah untuk mengatur masyarakat, tentu harus mempunyai dasar hukum agar tidak ada kesewenang-wenangan dan kewenangan tersebut terbatas dengan fungsi dan tugasnya. Itulah yang dimaksud dengan asas legalitas.Â
Selain menjadi unsur utama dalam suatu negara hukum juga merupakan suatu ciri bagi Hukum Administrasi Negara yang mulai berkembang ketika negara mulai menata masyarakatnya.[2] Hal tersebut sesuai dengan isi Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 yang menyatakan bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum", sehingga negara dituntut untuk selalu menjunjung tinggi prinsip negara hukum.
Fakta yang sedang mencuat dekat ini mencirikan terjadinya problematika mengenai pro kontra pengeluaran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (ORMAS) yang merupakan bentuk dari diskresi pemerintah, dalam hal ini dilakukan oleh Presiden RI Joko Widodo. PERPPU Nomor 2 Tahun 2017 disahkan oleh DPR pada tanggal 24 Oktober 2017 menjadi UU. Dan kini resmi menjadi undang-undang menggantikan UU Nomor 17 Tahun 2013.[3]
Dikeluarkannya PERPPU ini mengacu kepada Pasal 22 ayat 1Undang-Undang Dasar 1945:Â "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
 " Dalam hal ini dianggap ada salah satu Organisasi Masyarakat (ORMAS) yang menurut pemerintah telah mengganggu menganggu ketertiban, keamanan, tidak menyatu dan paralel dengan pemerintah. "pemerintah tidak akan membiarkan jika Ormas yang dibentuk secara nyata menganggu ketertiban, keamanan, tidak menyatu dan paralel dengan pemerintah".[4].
Undang-undang Nomo 17 Tahun 2013 menyebutkan bahwa Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.Â
Akan tetapi, dalam kenyataannya justru terdapat Ormas yang dianggap telah bertolak belakang dengan tujuan undang-undang tersebut. Maka, keresahan masyarakat mengenai Ormas yang dianggap ingin merubah ideologi Pancasila dan kurangnya kepastian hukum untuk mengatasi masalah tersebut, muncullah diskresi Presiden berupa PERPPU Nomor 2 Tahun 2017.
Namun mengingat hukum tertulis tidak dapat setiap waktu mendapatkan perubahan, maka dirasa perlu mengkaji hal ini lebih lanjut. Apakah diskresi yang telah melahirkan Undang-undang baru itu perlu diadakan?
KAJIAN KEPUSTAKAAN
Negara Hukum Demokratis
Negara hukum merupakan wacana yang bersifat universal dan merupakan dapat dimaknai secara beragam sesuai dengan konteks dan tempat dimana konsep itu digunakan. Dalam implementasinya konsep negara hukum akan dipengaruhi falsafah dan budaya bangsa, ideologi negara, sistem politik, dan perkembangan sejarah. Namun penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada penganturan (hukum) yang baik.[5] Â
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa negara hukum adalah suatu negara yang menjadikan hukum sebagai aturan main dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Rumusan negara hukum memiliki empat unsur antara lain[6]:
Adanya kepastian hukum; asas legalitas, undang-undang yang mengatur, undang-undang retroaktif, hak asasi dijamin dengan undang-undang, serta pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain.
Asas persamaan; tindakan yang berwenang diatur dalam undang-undang secara materiil dan adanya pemisahan kekuasaan.
Asas demokrasi; hak untuk memilih dan dipilih bagi warga negara, peraturan untuk badan yang berwenang ditetapkan oleh parlemen, dan parlemen mengawasi tindakan pemerintah
Asas pemerintahan untuk rakyat; hak asasi dijamin dengan UUD dan pemerintahan efektif dan efisien.
Sedang negara hukum demokratis ialah negara hukum yang diselenggarakanndengan bertumpu pada partisipasi dan kepentingan rakyat, implementasi konsep negara hukum harus ditopanh dengan sistem demokrasi.Â
Hubungan negara hukum dengan demokrasi tidak dapat dipisahakan, demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedang hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Demokrasi yang bukan negara hukum bukan demokrasi yang sesungguhnya, demokrasi merupakan cara paling aman untuk mempertahankan kontrol atas hukum.[7]
Merujuk pada konsep negara hukum yang diselenggarakan melalui mekanisme demokrasi, Indonesia tergolong pula sebagai negara hukum demokratis.[8] Terpenuhinya unsur formal suatu negara hukum menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang segala cita-citanya sudah tertuang dalam konstitusi yang berlaku.
Asas Legalitas
Dalam Hukum Administrasi Negara asas legalitas yang pada hakikatnya mengandung arti badan/pejabat administrasi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus senantiasa berpedoman pada undang-undang yang dibuat oleh wakil-wakil rakyat dan tanpa dasar undang-undang pejabat admistrasi tersebut tidak berwenang untuk melakukan suatu tindakan yang dapat mempengaruhi keadaaan hukum masyarakat.Â
Menurut Sjachran Basah asas legalitas berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar yang sifat hakikatnya konstitutif.[9]
Kedaulatan hukum bermakna hukum sebagai legitimasi bagi kewenangan pemerintah dan tindakan badan/pejabat pemerintah harus didasarkan pada kewenangan yang ditentukan oleh undang-undang.Â
Sedangkan kedaulatan rakyat bermakna rakyat merupakan legitimasi bagi hukum yang berlaku. Hukum yang berlaku harus disepakati oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di parlemen. Asas legalitas dalam hukum administrasi juga sering disebut sebagai keabsahan pemerintah. Keabsahan pemerintah mengandung tiga aspek yakni aspek negatif, aspek formal positif dan aspek materil positif.Â
Aspek negatif menentukan bahwa tindakan badan/pejabat pemerintah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, aspek formal positif menentukan bahwa badan/pejabat pemerintah mempunyai kewenangan sepanjang ditentukan atau berdasarkan undang-undang, dan aspek materil positif menentukan bahwa undang-undang memuat aturan umum yang mengikat tindakan badan/pejabat pemerintah.[10]
Kewenangan Diskresi
Tujuan negara Indonesia sebagaimama tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 adalah "...melindungi segenap banhsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukam kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bamhsa, dan ikut melaksanakan ketertibam dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial...".Â
Upaya mewujudkan tujuan negara itu ditempuh melalui pembangunan nasional. Pembangunam nasional sendiri bersifat multi kompleks membawa akibat pemerintah harus banyak turut campur dalam kehidupan masyarakat. Campur tangan itu tertuang dalam ketentuan perudang-undangan maupun peraturan pelaksanaan lainnya yang dilaksanakan oleh administrasi negara yang menyelenggarakan tugas servis-publik.[11]
Dalam kehidupan sehari-hari khususnya di Indonesia, hampir seluruh aspek kegiatan masyarakat bersentuhan dengan pemerintah. Berbagai bidang kehidupan masyarakat seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, sampai pernikahan, terdapat unsur pemerinyah didalamnya, baik lamgsung maupin tidak langsung. Keterlibatan pemerintah dakam kehidupan warga negara ini harus didasakan pada asas legalitas yang dianggap sebagai dasar terpenting sebuah negara hukum.Â
Dan Indonesia adalah negara hukum sebagaimana disebutkan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3), hal ini berarti keterlibatan pemerintah Indonesia dalam kehidupan warga negara harus berdasarkan asas legalitas. Keharusan ini mensyaratkan adanya hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan. Negara hukum membawa konsekuensi bahwa hukum harus dibentuk secara sadar oleh badan pembentuk undang-undang.[12]
Perkembangan konsepsi negara hukum modern sekarang telah menimbulkan dilema yang penuh kontradiksi, sebab bagi negara hukum modern, setiap tindakan pemerintahannya harus berdasarkan atas hukum atau setidak-tidaknya tidak boleh bertentangan dengan hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis). Bersamaan dengan ketentuan ini, pemerintah juga diserahi tugas, peran, dan tanggung jawab yang semakin luas dan berat.Â
Hingga sering kali terjadi kesenjangan antara asas legalitas dengan realitas yang dihadapi pemerintah. Dalam rangka mengantisipasi kesenjangan ini, pemerintah diberikan wewenang untuk berinisiatif sendiri dalam menyelesaikan persoalan sosial yang disebut dengan freies Ermessen atau diskresi.[13]Â
Pada umumnya, tindakan pemerintah yang tindakannya didasarkan pada diskresi dalam bentuk tertulis akan melahirkan peraturan kebijakan yaitu, segala keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud tertentu. Diusulkan dalam suatu lingkungan tertentu, mengandung hambatan dan peluang untuk mengatasi masalah, mencapai sasaran, dan merealisasikan maksud tertentu.[14]
Secara eksplisit kewenangan diskresi diatur dalam UUAP, tepatnya Pasal 22 (umum), Pasal 23 berkaitan dengan ruang lingkup diskresi, Pasal 24, Pasal 25 berkaitan dengan persyaratan diskresi, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 berkaitan dengan prosedur penggunaan diskresi, dan Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32 yang berkaitan dengan akibat hukum diskresi.
Kewenangan diskresi hakikatnya sebagai pelengkap dari kelemahan yang ada pada Undang-Undang, meskipun kewenangan diskresi merupakan kewenangan bebas atau tidak terikat bukan berarti kewenangan diskresi tidak tunduk dan patuh terhadap undang-undang sebagai wujud kedaulatan rakyat, karena kewenangan diskresi digunakan oleh badan atau pejabat tata usaha negara untuk merealisasikan apa yang telah ditentukan dalam undang-undang itu sendiri atau dengan kata lain secara tidak langsung juga melaksanakan undang-undang.[15]
METODE PENELITIAN
Sumber data yang diperoleh dari bahan-bahan hukum primer yang terdiri dari perundang-undangan. Undang-undang yang dipakai adalah isi PERPPU Nomor 2 Tahun 2017 yang telah diganti dengan Undang-Undang ORMAS Nomor 2 Tahun 2017,UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP), Â Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan lain yang menunjang penelitian ini.
Selain itu, bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan dokumen-dokumen resmi juga digunakan. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan peradilan[16], surat kabar elektronik, dan juga pendapat para ahli hukum.
Dari seluruh data yang diperoleh, penulis menganalisis dengan cara pengumpulan secara utuh seluruh data yang diperoleh, kemudian diformulasikan untuk dilakukan analisis. Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan satuan dasar[17]. Setelah itu disimpulkan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif[18] dengan alur berpikir deduktif, yaitu memulai dari peraturan hukumnya dan dibawa ke dalam masalah yang sebenarnya.
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif adalah suatu penelitian yang dimaksud untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan gejala-gejala lainnya.[19] Atau dalam artian lain adalah meneliti dan menganalisis secara terperinci dan tepat tentang suatu fenomena tertentu terkait dengan penulisan hukum ini.
ANALISIS DATA
Syarat Penetapan PERPPU
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1)Undang-Undang Dasar 1945: "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang".
Penetapan PERPPU yang dilakukan oleh Presiden juga tertulis dalam Pasal 1 Angka (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: "Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa."
Dari bunyi kedua pasal di atas dapat kita ketahui bahwa syarat Presiden mengeluarkan serta menetapkan PERPPU adalah dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Kedudukan PERPPU sebagai norma subyektif juga dinyatakan Jimly Asshiddiqie:
 "Pasal 22 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subyektif menilai keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera, sedangkan kebutuhan akan pengaturan materiil mengenai hal yang perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU)"
Ukuran obyektif penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) baru dirumuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Berdasarkan Putusan MK tersebut, terdapat tiga syarat sebagai parameter adanya "kegentingan yang memaksa" bagi Presiden untuk menetapkan PERPPU, yaitu:
Adanya keadaan berupa kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang akan tetapi tidak memadai;
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
[20]
Undang-Undang Ormas dan Diskresi Presiden
Dalam Undang-Undang  terbaru tentang Organisasi Masyarakat, dijelaskan dengan sangat jelas bahwa suatu Ormas yang dibentuk harus menjunjung tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Akan tetapi pada kenyataannya terdapat Ormas yang dianggap telah bertolak belakang dengan tujuan undang-undang tersebut.
Hal ini dikuatkan dengan paparan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto bahwasanya Ormas yang bersangkutan, cita-citanya bukan mengarah kepada penguatan NKRI, bahkan tidak sepakat dengan negara berbentuk republik, kerajaan dan sebagainya. Akan tetapi ingin membentuk suatu model ketatanegaraan dalam bentuk khilafah yang mana telah merubah ideologi negara karena tidak berdasarkan Pancasila lagi.[21]
Selain itu karena dirasa undang-undang tersebut belum dapat menyelesaikan masalah yang terjadi ditengah masyarakat dan mengenai Ormas yang dianggap ingin memunculkan ideologi diluar Pancasila dan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas yang dianggap tidak memadai lagi untuk menghadapi munculnya kelompok ideologi di luar Pancasila sehingga kurang memberikan kepastian hukum untuk mengatasi masalah tersebut sehingga dalam ihwal genting dan mendesak seperti ini, diskresi Presiden berupa PERPPU Nomor 2 Tahun 2017 yang sudah disahkan menjadi Undang-Undang merupakan sebuah solusi dari fakta ini.
Setelah keluarnya Diskresi Presiden terjadilah pro dan kontra mengenai peraturan tersebut dikarenakan dibuat guna pembubaran Ormas yang memunculkan ideologi di luar Pancasila. Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus AT Napitupulu menyarankan pemerintah menempuh jalur pengadilan jika ingin membubarkan Ormas yang tidak sesuai dengan tujuan Negara.Â
Menurutnya jalur pengadilan ditempuh agar tidak menyalahi aturan. Aturan mengenai mekanisme pembubaran Ormas telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.[22] Dijelaskan bahwa tata cara pembubaran Ormas dengan cara:
Permohonan pembubaran Ormas berbadan hukum, sebagaimana disebutkan di atas, diajukan ke Pengadilan Negeri oleh kejaksaan hanya atas permintaan tertulis dari Menteri Hukum dan HAM.
Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri sesuai tempat domisili hukum Ormas dengan disertai bukti penjatuhan sanksi administratif oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Dalam hal permohonan tidak disertai bukti penjatuhan sanksi administratif, permohonan pembubaran Ormas berbadan hukum tidak dapat diterima.
Setelah permohonan diajukan, Pengadilan Negeri menetapkan hari sidang dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal pendaftaran permohonan. Surat pemanggilan sidang pemeriksaan pertama harus sudah diterima secara patut oleh para pihak paling lambat 3 (tiga)hari sebelum pelaksanaan sidang.
Dalam sidang pemeriksaan Ormas sebagai pihak termohon diberi hak untuk membela diri dengan memberikan keterangan dan bukti di persidangan.
[23]
Permohonan pembubaran Ormas harus diputus oleh Pengadilan Negeri dalam jangka waktu paling lama 60 hari terhitung sejak tanggal permohonan dicatat dan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.[24] Jangka waktu ini dapat diperpanjang paling lama 20 hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pengadilan Negeri menyampaikan salinan putusan pembubaran Ormas kepada pemohon, termohon, dan Menteri Hukum dan HAM dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.[25]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa mekanisme pembubaran Ormas dilakukan dengan cara mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri oleh kejaksaan atas permintaan tertulis dari Menteri Hukum dan HAM serta pembubaran Ormas dilakukan melalui putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, setelah itu pemerintah menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum.[26]
Dilihat dari mekanisme yang ada, sangat memakan waktu lama sedangkan Indonesia berada dalam kegentingan yaitu adanya Ormas yang berkeinginan untuk memunculkan ideologi diluar Pancasila. Keinginan tersebut mengakibatkan terjadinya perpecahan persatuan Indonesia sebagai bentuk antitesis dari isi Pancasila sila ketiga "Persatuan Indonesia".Â
Sehingga sikap sigap dari pemerintah sebagai pemegang kedaulatan negara dan pemegang legitimasi akan kedaulatan hukum sangat tepat terutama dalam keadaan genting demi terciptanya persatuan. Antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat keduanya harus harmonis.
Menurut Sjachran Basah, asas legalitas berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar yang sifat hakikatnya konstitutif.[27]
Kedaulatan hukum bermakna hukum sebagai alat legitimasi bagi kewenangan pemerintah, tindakan badan/pejabat pemerintah harus didasarkan pada kewenangan yang ditentukan oleh Undang-undang. Oleh karena itu dikeluarkanlah diskresi sebagai keputusan yang sesuai dengan Undang-Undang.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto mengatakan bahwa mekanisme pembubaran dengan membuat undang-undang baru sangat memakan waktu lama dan dalam keadaan mendesak; Sehingga pemerintah memilih menerbitkannya dengan PERPPU.Â
Hal ini bukan merupakan kepentingan pemerintah, bukan kepentingan pribadi Presiden, atau para menteri, bukan, tetapi kepentingan rakyat Indonesia untuk menjaga eksistensi, menjaga keutuhan NKRI dan PERPPU ini betul diarahkan untuk kebaikan. PERPPU justru diarahkan untuk merawat persatuan dan kesatuan sesuai dengan sila ke tiga Pancasila; Persatuan Indonesia.[28]
Dari hasil kajian dan penelitian terhadapUU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) Persyaratan diskresi Seorang pejabat yang berwenang bisa melakukan diskresi jika memenuhi  enam syarat:
Pertama, diskresi itu harus sesuai dengan salah satu atau beberapa tujuan yang dapat dibenarkan, yakni: (i) melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; (ii) mengisi kekosongan hukum; (iii) memberikan kepastian hukum; atau (iv) mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Kedua, diskresi itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Â
Ketiga, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (good governance). Keempat, berdasarkan alasan-alasan yang obyektif. Alasan-alasan obyektif dalam konteks ini mengandung arti alasan itu sesuai fakta dan kondisi faktual, tidak memihak, rasional, serta berdasarkan asas good governance.Â
Kelima, tidak menimbulkan konflik kepentingan. Keenam, dilakukan dengan iktikad baik. Iktikad baik dalam konteks ini adalah keputusan yang ditetapkan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan motif kejujuran dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Dari persyaratan diatas dapat diberi kesimpulan bahwa diskresi Presiden berupa PERPPU Nomor 2 Tahun 2017 sangat tidak bertentangan dengan aturan yang ada dan bisa dikatakan sah menurut Undang-Undang.Â
Maka sikap menerima dan menghormati keputusan tersebut merupakan cara yang tepat sehingga akan tercipta darinya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dan bahkan jika diskresi tersebut tidak ada maka akan mengakibatkan kepada lambatnya pembubarkan Ormas tersebut dan timbulah perpecahan persatuan bangsa karena adanya paham diluar ideologi Pancasila.
SIMPULAN
Sebagai hukum tertulis, peraturan pedundang-undangan mempunyai jangkauan yang terbatas, sifatnya sekedar masa opname dari unsur-undur politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan dan keamaanan masyarakat yang paling berpengaruh pada saat pembentukan, karena itu mudah sekali kadaluarsa bila dibandingkan dengan perubahan masyarakat yang semakin cepat atau dipercepat.[29]Â
Dapat terjadi dilema antara pemerintah dituntut untuk melayani perkembangan pesat masyarakat, di sisi lain dalam melakukan tindakan pelayananannya harus berdasarkan hukum yang belum tentu sudah ada atau tersedia.[30]
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, wewenang dan pembentukan deskresi sepenuhnya berada di tangan pejabat pemerintah. Namun reputasi deskresi tidak selalu mendapag reputasi yang baik, ada kalanya diskresi dianggap sewenang sebab kepercayaan akan netralktas dan keumuman yang dianut. Diskresi dan negara hukum itu bertentangan karena sebenarnya diskresi itu merenggut kebebasan hukum warga negara apabila wewenang ini tidak memiliki batas dan diberikan kepada pemerintah secara absolut.
Oleh karena itu diperlukan pembatasan wewenang atas diskresi agar tidak mengarah pada penyalahgunaan wewenang. Penggunaan diskresi harus dibatasi pada hal yang tidak melanhvag atas penyelenggaraan administrasi negara yang baik yang tetap menjamin kepastian hukum, persamaan perlakuan, dan tidak bias. Setiap tindakan administrasi negara di luar wewenang yang gelah ditetapkan berdasarkan hukum termasuk tindakan diskresi adalah tindakan melampaui wewenang, bahkan dapat melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang.[31]
Tampak bahwa diskresi dan peraturan kebijakan merupakan kekuasaan dan instrumen penyelenggaraan pemerintahan yang sangat diperlukan untuk terselenggaranya tugas-tugas pemerintahan terutama dalam memberikan pelayanan terhadap warga secara efektif dan efisien, namun di sisi lain, diskresi dan peraturan kebijakan telah menimbulkan kecurigaan dan kekhawatiran.Â
Diskresi dapat digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan maupun untuk keburukan dan kesewenang-wenangan. Diskresi dan peraturan kebijakan yang mengarah pada penyimpangan dan kesewenang-wemangan adalah penggunaan diskresi yang tidak sah, sedangkan diskresi dan peraturan kebijakan yang mengarah pada penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien serta tidak bertentangan dengan norma hukum merupakan diskresi yang sah.
Kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat dapat direalisasikan, niscaya akan ada banyak masukkan dari rakyat, dan pemimpin juga akan mengetahui apa saja yang menjadi kebutuhan rakyatnya. Dengan demikian akan terjadi hubungan yang baik antara pemimpin dan rakyatnya, dan rakyatpun akan senantiasa aktif bekerja sama dalam pembangunan suatu bangsa.
Suasana saling menghargai sesama manusia tersebut bisa mengurangi pelanggaran HAM, Suasana tersebut bisa terwujud dengan adanya sikap toleransi, rendah hati, tidak memaksakan kehendak dan menerima keputusan kelompok dengan lapang dada. Jika sifat-sifat tersebut dimiliki oleh para pemimpin, maka bangsa yang dipimpinnya pun dapat maju.
Untuk merealisikan hal tersebut Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dibuat dengan matang. Dalam sila ke-4 dikatakan bahwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang memiliki arti bahwa Indonesia membentuk negara demokratisnya dengan mempercayakan kepada dewan perwakilannya.
Dengan adanya konflik mengenai Diskresi Presiden: PERPPU Ormas Nomor 2 Tahun 2017 yang sudah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas) ini diharapkan untuk menyerahkannya kepada dewan perwakilan untuk menyelesaikannya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie ikut mengomentari walaupun terdapat banyak kelemahan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (PERPPU Ormas). Namun, karena DPR sudah mengesahkannya menjadi undang-undang, maka segera diterima dan harus dihormati.[32]
Mahfud MD, pakar Hukum Admisnistrasi Negara menyatakan bahwa dengan disahkannya UU Ormas ini, akan ada beberapa konsekuensi hukum, antara lain PERPPU Nomor 2 Tahun 2017 sudah sah menjadi UU, sehingga mengikat secara hukum.
Jikalau ingin diusahakannya suatu gugatan judicial review ke MK terkait PERPPU Nomor 2 Tahun 2017 secara otomatis gugatan tersebut gugur karena objek gugatan berupa PERPPU itu sudah tidak ada, karena sudah berubah menjadi Undang-Undang sehingga jikalau gugatan itu diajukan tidak ada gunanya.[33]
Beberapa poin yang harus diperhatikan adalah sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Jimly diharapkan kepada pemerintah untuk merevisi dan memikirkan kembali sanksi pidana yang tidak terlalu penting, yakni pidana yang diancam dan dibebankan kepada anggota Ormas yang bersalah sebelum dibubarkan.Hal kedua yang perlu direvisi adalah soal proses pengambilan keputusan pembubaran. Jimly meminta agar mengembalikan peran pembubaran Ormas kepada pengadilan.[34] Sehingga sesuai dengan dasar negara hukum.
Pemerintah juga diharapkan untuk terbuka terhadap usulan revisi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2017 yang baru saja disahkan sebagai Undang-Undang. Agar Indonesia menjadi negara yang demokratis, saling menerima dan menghormati satu sama lain. Sehingga terciptalah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Azhary, M. Tahid. 1992. Negara Hukum.Jakarta: Bulan Bintang.
Azhary, M. Tahid. 1995. Negara Hukum Indonesia. Jakarta: UI-Press.
Basah, Sjachran. 1985. Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia.Bandung: Alumni.
Hadjon, Philipus M. 1996. "Ide Negara Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia", Kumpulan Esai dalam Rangka 70 Tahun R. Sri Soemantri Martosoewiryo. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Huda, Nimatul. 2011. Dinamika KetatanegaraanIndonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta:Â Penerbit FH UII.
Hurint, Farlian Belawa. 2017. Pelaksanaan Kewenangan Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Mana, Bagir. 1990. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945. Sebuah Disertasi, Universitas Padjajaran Bandung.
Manan, Bagir dan Kuntana Magnar. 1987. Peranan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional.Bandung: Armico.
Manan, Bagir. 2003. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII-Press.
Marzuki, Peter Mahmud. 2016. Penelitian Hukum.Jakarta: PT Kharisma Putra Utama.
Mertokusumo, Sudikno. 2001. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar.Yogyakarta: Liberty.
Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ridwan. 2014. Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah.Yogyakarta: FH UIIPress.
Santoso, Amir. Analisis Kebijakan Publik: Suatu Pengantar, Jurnal Ilmu Politik 3. Jakarta: Gramedia.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta: UI Press.
Suseno, Frans Magnis. 1997. Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis. Jakarta: Gramedia.
Utrecht, E. 1988. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas.
Waluyo, Bambang. 1996. Penelitian Hukum Dalam Praktek.Jakarta: Sinar Grafika.
http://nasional.kompas.com/read/2017/05/23/17530961/pemerintahlm.disarankan.tak.terbitkan.PERPPU.untuk.bubarkan.hti, Diakses Pada Tanggal 14 November 2017.
http://nasional.kompas.com/Read/2017/07/11/08132591/Menanti.Realisasi.Pembubaran.Hti.Dan.Penindakan.Ormas.Pro-Kekerasan.?Page=2#, Diakses Pada Tanggal 16 Desember 2017.
http://nasional.kompas.com/read/2017/07/13/07414181/kontroversi-isi-PERPPU-Ormas-bukti-keberanian-atau-jalan-pintas-?page=all, Diakses Pada Tanggal 14 Desember 2017.
http://www.hukumonline.com/Klinik/Detail/Lt5188b1b2dfbd2/Syarat-Syarat-Penetapan-PERPPU-Oleh-Presiden, Diakses Pada Tanggal 17 Desember 2017.
https://news.detik.com/berita/d-3697962/sah-PERPPU-Ormas-resmi-jadi-uu, Diakses Pada Tanggal 17 Desember 2017.
https://news.detik.com/berita/d-3706216/mahfud-md-pengesahan-uu-Ormas-ribut-karena-menyangkut-hti, Diakses Pada Tanggal 14 Desember 2017.
https://www.academia.edu/11194205/Penggunaan_Asas_Diskresi_Dalam_Melaksanakan_Fungsi_Pemerintahan, Diakses Pada Tanggal 16 Desember 2017.
https://www.suara.com/news/2017/11/01/183009/mantan-ketua-mk-ungkap-kelemahan-PERPPU-dan-uu-Ormas, Diakses Pada Tanggal 14 Desember 2017.
Perundang-Undangan:
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
Undang-Undang Nomor 30 Pasal 1 Angka 3 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
[1] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar,(Yogyakarta: Liberty, 2001), hlm. 103.
[2]https://www.academia.edu/11194205/Penggunaan_Asas_Diskresi_Dalam_Melaksanakan_Fungsi_Pemerintahan, Dikutip Pada Tanggal 16 Desember 2017.
[3]https://news.detik.com/berita/d-3697962/sah-PERPPU-Ormas-resmi-jadi-uu, Dikutip Pada Tanggal 17 Desember 2017.
[4]http://nasional.kompas.com/Read/2017/07/11/08132591/Menanti.Realisasi.Pembubaran.Hti.Dan.Penindakan.Ormas.Pro-Kekerasan.?Page=2#, Dikutip Pada Tanggal 16 Desember 2017.
[5] M. Tahid Azhary, Negara Hukum, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm 63-66.
[6] Azhary, Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 1995), hlm. 50.
[10] Ridwan, Diskresi Dan Tanggung JawabPemerintah, hlm. 92.
[16] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,(Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2016), hlm. 181.
[17] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 161.
[18] Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 14.
[19]Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 10.
[20]http://www.hukumonline.com/Klinik/Detail/Lt5188b1b2dfbd2/Syarat-Syarat-Penetapan-PERPPU-Oleh-Presiden, Dikutip Pada Tanggal 17 Desember 2017.
[21]http://nasional.kompas.com/read/2017/07/13/07414181/kontroversi-isi-PERPPU-Ormas-bukti-keberanian-atau-jalan-pintas-?page=all, Dikutip Pada Tanggal 14 Desember 2017.
[22]http://nasional.kompas.com/read/2017/05/23/17530961/pemerintahlm.disarankan.tak.terbitkan.PERPPU.untuk.bubarkan.hti, Dikutip Pada Tanggal 14 November 2017.
[23] Undang-Undang Ormas Pasal 70 ayat (7).
[24] Undang-Undang Ormas Pasal 71.
[25] Undang-Undang Ormas Pasal 72.
[26] Undang-Undang Ormas Pasal 68 ayat (2).
[28]http://nasional.kompas.com/read/2017/07/13/07414181/kontroversi-isi-PERPPU-Ormas-bukti-keberanian-atau-jalan-pintas-?page=all, Dikutip Pada Tanggal 14 Desember 2017.
[30] Ridwan, Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah, (Yogyakarta: FH UIIPress, 2014), hlm. 5
[31] Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FH UII-Press, 2003), hlm 13.
[32]https://www.suara.com/news/2017/11/01/183009/mantan-ketua-mk-ungkap-kelemahan-PERPPU-dan-uu-Ormas, Dikutip Pada Tanggal 14 Desember 2017.
[33]https://news.detik.com/berita/d-3706216/mahfud-md-pengesahan-uu-Ormas-ribut-karena-menyangkut-hti, Dikutip Pada Tanggal 14 Desember 2017.
[34]https://www.suara.com/news/2017/11/01/183009/mantan-ketua-mk-ungkap-kelemahan-PERPPU-dan-uu-Ormas, Dikutip Pada Tanggal 14 Desember 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H