Bukan hanya sampai disitu, sebagai orang yang peduli lingkungan, mereka tanami tanah kosong itu dengan beraneka pohon yang tidak jauh berbeda dengan yang kami tanam dulu. Bedanya, lengkap dengan makian dan cacian yang diberikan kepada siapapun yang lewat ketika mereka beraktivitas. Bahkan di tanah untuk fasilitas umum itu, mereka pun mempersembahkan tempat sampah permanen tepat di depan pintu keluar rumah kami.
Soal tempat sampah ini, kami pernah menuliskannya di kompasiana.com tanggal 15 November 2010 dengan judul Rumah Bertempat Sampah Terbanyak di Dunia.
http://green.kompasiana.com/polusi/2010/11/15/rumah-bertempat-sampah-terbanyak-di-dunia-319119.html
Demikian juga berbagai hal yang kelihatannya biasa-biasa saja menjadi sesuatu yang luar biasa bagi para tetangga penghuni permukiman. Tentu saja tidak hanya berlaku untuk keluarga kami, keluarga penghuni rumah yang lain pun mengalami hal kompleks yang luar biasa ini. Sebuah konsekuensi logis dari penghuni rumah milik sendiri. Bagi yang hanya kontrak? Tentu permasalahannya lebih kompleks dan bertubi-tubi lagi.
Sadar akan sangat kompleksnya permasalahan hidup di permukiman kami, maka kami sekeluarga sepakat untuk memulai dari keluarga kami sendiri. Misalnya, mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan kepada kami dan semua orang khususnya penghuni kompleks tempat kami tinggal. Selalu berpikir positif akan rezeki para tetangga dan mensyukuri, jika ada tetangga membeli mobil misalnya, tidak perlu berpikir lain-lain tetapi mensyukuri kebahagiaan tetangga dan siapa tahu suatu saat kita membutuhkan dapat pinjaman kendaraan.
Dengan berpikir positif maka anggapan beberapa rekan yang memilih hidup di perkampungan tadi terpatahkan. Bukan hanya itu, dengan syukur dan do’a yang terpanjatkan ketika mendapat rezeki pribadi ataupun para tetangga maka hati terbebas dari iri, dengki dan sakit hati yang akan berdampak pada munculnya berbagai penyakit lainnya. Insya Allah, rezeki dari Yang Maha Kuasa juga seiring dengan pikiran positif dan perbuatan baik kita. Aamiin YRA.
Kamipun sepakat untuk tidak meladeni aksi yang menyakitkan hati dengan reaksi yang hanya akan membuat hati lebih sakit. Semisal tentang tetangga yang membuat tempat sampah tetap depan rumah kami, bahkan mereka mengubur beberapa binatang kekamingannya di dekat tempat sampah itu. Kami menaggapi pancingan nafsu jelek tetangga itu dengan membuat pagar yang cukup menutup pandangan rumah kami ke tempat sampah penuh lalat itu. Soal bau, ya, namanya sampah pasti bau, dan yang merasakan tentu bukan hanya kami tetapi juga beberapa tetangga lainnya termasuk yang membuang sampah di sana.
Reaksi kami atas tempat sampah tersebut lainnya adalah kami tidak membuang sampah di tempat sampah tersebut. Jika kami membuang sampah disana tentu akan ada rekasi dari pemilik tempat sampah tersebut, juga akan menabur benih bau sampah dan ikutannya dari para tetangga yang lain yang menganggap bahwa tempat sampah tersbut adalah milik umum. Tentu saja yang paling rugi adalah kami sekeluarga sebagai penerima dampak negatif dari berdirinya tempat sampah di depan rumah kami. Apalagi tukang sampah hanya mengangkut sampah seminggu sekali Itupun kalau tidak ada halangan, sudah beberapa kali sampah bertumpuk hingga hitungan bulan.
Kami membuang sampah rumahtangga kami ke Tempat Penampungan Sampah (TPS) yang didirikan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Indramayu. Letaknyalumayang jauh, tepat di gerbang masuk/keluar permukiman kami. Satu atau dua plastik kresek sampah kami buang setiap harinya, sangat mudah, sambil berangkat kerja pun bisa.
Dua tahun lalu dan sebelumnya, sungguh perbuatan kami itu adalah sesuatu yang langka. Warga permukiman selalu tergantung pada pengangkut sampah umum yang dibayar dengan iuran bulanan. Mungkin malu atau gengsi menjinjing sampah yang dianggapnya bukan pekerjaan yang pantas bagi penghuni permukiman. Selama beberapa tahun, kami hanyalah satu-satunya orang yang tidak tahu malu mengerjakan yang hanya dilakukan tukang sampah.
Alhamdulillah, satu demi satu warga mulai melihat apa yang kami lakukan tanpa malu ini sebagai kegiatan positif. Kemudian mengikutinya, membawa sampah sambil keluar kompleks. Makin hari, makin banyak yang mengikuti jejak kami. Sungguh kami tidak mentasbihkan bahwa mereka meniru perbuatan kami, mungkin ada yang terkesima oleh iklan obat peluruh perut yang menyatakan kejelekan orang yang menyimpan sampah di perut, atau merasakan sendiri betapa terganggunya oleh bau sampah yang tidak diangkut tukang sampah di depan rumahnya, atau banyak sebab lainnya.
Pengendaraan roda dua tidak malu lagi menggelantungkan sampah di setang kirinya. Ada juga yang menyimpan plastik kresek sembunyi di balik bemper sepeda motornya. Kadang kami bertemu dengan mobil mewah yang diparkir dekat TPS, pemiliknya menjinjing kantong plastik dan membuang sampah yang dibawanya dari rumah.