Mohon tunggu...
Dinoto Indramayu
Dinoto Indramayu Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar, belajar dan belajar....

Setiap saat saya mencoba merangkai kata, beberapa diantaranya dihimpun di : www.segudang-cerita-tua.blogspot.com Sekarang, saya ingin mencoba merambah ke ranah yang lebih luas bersamamu, Kompasiana....

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Layak

29 Januari 2015   16:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:09 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Sesungguhnya harga yang dibayarkan untuk kontrak dan barang-barang fisik yang harus rusak saat penggantian tempat tinggal adalah sangat murah, bukti kebenaran prinsip yang dianut mereka. Tetapi, yang sangat mahal dan tidak dapat dinilai dengan uang adalah interaksi keluarga para “kontraktor” dengan lingkungannya. Ketika pindah rumah berarti pula ganti tetangga dan masyarakat permukiman secara keseluruhan dengan segala perilaku kehidupan yang tentu saja berbeda dengan tempat tinggal yang baru saja ditinggalkan. Tentu saja dampak terbesar adalah terhadap anak-anak, generasi yang semestinya bermasa depan lebih baik daripada kedua orangtuanya.

Dengan kata lain, jika hanya memandang bahwa manusia dalam kehidupan ini berhadapan dengan masalah fisik semata maka anggapan para “kontraktor” relatif benar. Tetapi jika melihat dari sisi makro, maka masalah sosial yang tidak dapat dibeli inilah yang sesungguhnya pengorbanan terbanyak dari mereka. Bahkan permasalahan fisik yang dianggap murah oleh mereka pun sering tidak benar adanya.

Kami termasuk orang yang sependapat dengan mereka di awal kehidupan berumahtangga, tetapi kami juga orang yang segera sadar bahwa pola pikir seperti itu harus segera berubah. Jika tidak berubah haluan maka sampai kapan pun kita tidak akan mempunyai tempat tinggal tetap. Padahal keluarga akan semakin besar, anak-anak bertambah banyak dan berbagai kebutuhan lainpun akan semakin membengkak.

Itulah sebabnya, kami termasuk orang yang sering bertukar pendapat dengan teman-teman yang muda, atau pegawai negeri yang baru saja diangkat, untuk hati-hati dalam menyikapi tawaran kredit dari berbagai bank. Sebab jika salah dalam perencanaan maka niat baik perbankan akan menjadi boomerang yang akan menjerat leher nasabahnya, yang hidup ketergantungan pada hutang.
Kepada mereka kami menyarakan agar mendahulukan tempat tinggal. Tentu saja rumah milik pribadi, baik dari orangtua ataupun membeli sendiri. Jangan sampai kita hidup dalam rumah sewaan, kasihan anak-anak dan masa depan kita sendiri. Oleh karena itu, jika hendak mengagunkan Surat Keputusan (SK) kepada bank maka jangan untuk kebutuhan konsumtif, tetapi pergunakan untuk memenuhi kebutuhan perumahan terlebih dahulu, baik untuk membeli rumah, uang muka kredit rumah ataupun renovasi rumah yang sudah ada.

Sebagai ilustrasi, kami menyampaikan pengalaman pribadi. Ketika tahun 2001 harus mengagunkan SK ke Ban Jabar untuk mendapatkan dana sejumlah Rp. 20 juta dengan masa hutang 5 tahun (60 bulan). Uang tersebut cukup untuk pembelian satu unit rumah type 21.

Setiap bulan gajipun dipotong untuk hutang pokok beserta bunga yang nilainya sama besar. Sebelum waktunya tiba, alhamdulillah ada rezeki, sehingga beberapa bulan sebelum bulan ke-60 dapat terlunasi. Tentu saja dengan pembayaran yang jumlahnya sama dengan kalau dicicil hingga 60 bulan sesuai perjanjian.

Pada tahun ke-lima itu pula, tetangga kami menjual rumahnya dengan harga yang 100% lebih tinggi daripada harga pembelian kami lima tahun sebelumnya. Harga yang tinggi itu ternyata sama saja dengan besarnya uang cicilan pokok dan bunga yang kami bayarkan ke bank Jabar. Walaupun hutangnya semula hanya Rp. 20 juta tetapi selama lima tahun itu kami membayar Rp. 40 juta.

Dengan kata lain, kami beruntung sekali dibantu oleh bank, bisa mempunyai rumah pribadi sejak lima tahun yang lalu. Ketika harga masih Rp. 20 juta, sekalipun kami harus membayar Rp. 20 juta tetapi rumah tersebut adalah milik pribadi kami dan harganya saat itu sudah naik menjadi Rp. 40 juta juga.

Kami membandingkan dengan rekan sekerja yang menggunakan uang pinjaman untuk membeli kendaraan roda empat yang saat itu dibanggakannya. Pada tahun kelima beliau harus menyekolahkan SK-nya untuk pinjaman berikutnya dalam rangka memenuhi kebutuhan lainnya, termasuk uang muka rumah. Kerugian lainnya adalah bahwa harga mobil yang dulu dibelinya dengan harga Rp. 20 juta sudah sangat usang dan ditawar tidak jauh dari separuh harga sebelumnya.
Padahal untuk tetap berkendara dengan mobil yang layak pakai, beberapa juta dikeluarkan untuk perbaikan kendaraan.

Sementara kami dan keluarga, jika ada dana lebihan maka akan digunakan untuk memoles rumah mungil itu secara bertahap sehingga enak ditempati. Bahkan, tanpa disangka-sangka, rumah kami tumbuh sampai belakang. Kebetulan pemilik lama melepas dengan harga yang sesuai, sehingga kami dengan bangga menggabungkan kedua rumah mungil kami menjadi kelihatan sangat luas.
Kami semakin sadar bahwa anggapan orangtua dulu sangatlah benar, kalau mau investasi maka belilah tanah. Harga tanah tidak akan berkurang, makin tinggi setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan permukiman. Pola pikir yang terbentuk oleh efek domino kehidupan masa lalu sudah waktunya dirubah, kembali ke pola pikir masa lalu yang sebelumnya banyak disepelekan. Pola pikir yang menganggap pendapat orangtua zaman dulu adalah kuno pun harus dirubah, banyak pelajaran dari pendahulu yang tidak pernah usang.

Alhamdulillah, beberapa orang mengikuti saran kami dan mengucapkan terimakasih beberapa tahun sebelumnya. Jika saja terlambat membeli rumah maka tidak akan pernah terbeli karena selain harga rumah dan tanah yang terus meroket, kebutuhan harian pun tidak pernah berkurang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun