Mohon tunggu...
Diekdock
Diekdock Mohon Tunggu... -

Karyawan swasta pemilik blog ruangkita.co

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Tak Sendiri, Cinta Saling Menjaga Hati

7 Januari 2016   18:15 Diperbarui: 7 Januari 2016   18:15 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SIANG itu, cuaca panas. Di depan lorong ruang-ruangan kampus, tampak seorang mahasiswi berjalan sendiri membawa tumpukan buku. Namanya Livi. Mahasiswi kedokteran semester 5 di kampus itu, sebuah universitas swasta di Surabaya.

Wajahnya yang oriental dengan kulit putih melengkapi kecantikannya. Kulitnya nampak merah saat dia jalan ke parkir mobil dengan cuaca panas. Tak heran jika dia menjadi bunga kampus. Tak sedikit pula banyak yang naksir gadis dengan penampilan modis tapi bersikap kalem itu.

Namun, meskipun banyak yang mencoba mendekati, dia tak menjatuhkan pilihan hatinya kepada salah satunya. Dia justru dekat dengan cowok beda kampus.

Di tempat lain, di parkiran mobil salah satu kampus, tampak mahasiswa menuju arah mobil sedan warna biru. Dia adalah Elangbiru. Mahasiswa Teknik Mesin di Universitas Negeri di kota yang sama. Elangbiru yang biasa dipanggil Elang perawakannya tinggi besar dan wajah mirip Nicholas Saputra. Namun gayanya cuek, penampilan pakaiannya pun apa adanya, tidak serapi mahasiswa lain. Kaos oblong, celana jenas dan ransel adalah pakaian ‘kebesarannya’.

Teman dekat Livi itu adalah Elangbiru. Mereka kenal sejak SMA. Namun, meskipun dekat, keduanya tidak menjalin hubungan pacaran. Keduanya hanya menganggap sebagai sahabat. Kemana-mana mereka sering jalan berdua.

Selain mereka berdua, ada satu lagi cowok bernama Ardian. Cowok ini teman sekampus Elang yang paling akrab. Ardian juga akrab dengan Livi. Jadi mereka bertiga menjadi sahabat dekat.

“Pingin rasanya nanti pas aku ulang tahun kita rayakan di pantai sini saja. Menikmati ombak yang menghantam karang. Kita duduk berdua menunggu senja, menyaksikan matahari tenggelam, menandai berakhirnya hari,” kata Livi kepada Elang. Sore itu, rupanya sepulang dari kampus masing-masing, mereka ke pantai menikmati es kelapa muda.

Elang yang asyik main gadgetnya tampak cuek. Dia sebenarnya mendengarkan tapi tidak menganggap serius omongan Livi. Mereka berdua saat itu duduk di atas kap mobil sedan milik Elang yang parkir tak jauh dari warung penjual es kepala muda. Livi tampak menikmati es kelapa mudanya.

Merasa tak diperhatikan, Livi pun kesal. “Ihhhhhhh hape mulu. Denger ndak sih Livi tadi ngomong apa,” ujarnya sambil mendorong Elang hingga hampir jatuh.

“Eh eh eh, iya..iya aku denger. Bagus itu. Sip pokoknya. Nanti kukasih tau Ardian juga,” jawab Elang sambil turun dari mobil. Livi terlanjur kesal. Dia pun menjewer telinga Elang. Mereka kejar-kejaran berputar di mobil yang sore itu parkir di dekat pantai. Keduanya pun pulang.

Pantai itu memang pantai karang, bukan pantai pasir. Jarak dari jalan raya hanya sekitar 10 meter. Di pinggiran pantai banyak penjual makanan, bahkan hasil kerajinan. Para pedagang kaki lima itu diatur rapi berderet tak jauh dari jalan raya dan pantai.

Memang tempat itu sering menjadi tempat sekedar nongrong di sore hari warga setempat. Mereka yang datang kadang hanya sekedar main di karang atau menikmati sajian khas pesisir. Banyak pohon besar yang meneduhkan. Tempat yang cocok menikmati sunset.

Esok harinya Elang bangun tidur kesiangan. Dia harusnya ke kampus karena ada mata kuliah. Dia pun buru-buru bangun dan mandi. Usai mandi dia ambil smartphonenya. Iya, smartphone canggih itu tak pernah lepas dari genggaman Elang karena dia memang hobi main game online.

Saat hendak berangkat kuliah, dia melihat  ada 12 kali panggilan dari Livi. Selain itu ada juga satu BBM dari livi dan SMS tidak dikenal nomornya.

Isi BBM Livi intinya mengingatkan kalau dia ada mata kuliah. Sedangkan SMS dari nomor tak dikenal itu membuat Elang bertanya-tanya, siapa pengirimnya. SMS itu berisi ‘Hai, Elang ya. Pa kbr. Lama ndak ketemu...’ tanpa menyebut nama.

Elang pun penasaran. Sepanjang jalan dia mencoba mengingat nomor itu. “Daripada penasaran, kutelpon aja kali ya? Ah nanti ternyata dikerjain teman aja. Atau aku SMS aja ya,” ujar Elang bergumam sambil mengendarai mobil menuju kampus.

Akhirnya Elang pun SMS menjawab SMS yang dikirim nomor tak dikenal itu dan menanyakan siapa dia sebenarnya. Ting Tung.. tak lama suara smartphone Elang berbunyi. Dia pun cepat-cepat buka isi SMS. Tampak wajahnya kaget tapi lama-lama tersenyum senang.

‘Hmmmm mentang2 sdh punya cewek lupa sama aku. Ini Rere’. Elang mencoba mengingat lagi Rere yang mana. Setelah saling berbalas SMS, ternyata Rere adalah sang mantan jaman sekolah dulu yang bernama lengkap Gending Revolusi dan dipanggil Rere.

Sejak itu Elang tampak asyik sendiri dengan smartphonenya. Bukan lagi sibuk main game online, tapi chating dengan Rere. Bahkan, Elang sering menelepon Rere.  Sejak saat itu juga Elang mulai jarang bermain dengan Livi maupun Ardian.

“Kemana si bos?” tanya Ardian. Yang dimaksud bos adalah Elang.

“Lha aku baru mau tanya sama kamu. Memangnya di kampus gak ada. Ditelepon sekarang susah. Di BBM kadang dibaca aja ga dibalas. Kupikir sibuk kerjain tugas,” jawab Livi.

Ardian mencium gelagat tidak baik. Maklum, Ardian yang merupakan teman satu kampus Elangbiru, mengenal betul sifat temannya itu. Sebenarnya Livi juga paham kelakuan Elang dan biasanya cuek. Namun entah kenapa kali ini Livi merasa seperti ada yang beda dengan sikap Elang.

“Cewek lagi kayaknya ini. Nanti kalau putus baru ke sini. Curhat. Sedih, halaah kelakuan gak berubah,” ketus Livi.

Ardian hanya senyum dan membalas, “cieee cemburu ya? Tumben-tumbenan lu ketus gitu. Biasanya cuek bebek. Ada something kayaknya nih.” Muka Livi tampak  merah digoda Ardian. 

“Udah ah, pulang aja yuk,” ajak Livi. Mereka berdua pun pulang ke rumah masing-masing setelah membayar minuman di sebuah kafe, di dekat kampus Livi.

“Doorrrr!!!”

Livi kaget tiba-tiba Elang muncul di rumahnya. “Ihh apaan sih, mau copot jantungku. Ketuk pintu dulu kek, salam dulu kek, nyelonong aja,” kata Livi yang berdiri dari kursi tamu karena dikagetkan Elang.

“Hehehehehe. Kok sepi. Mana papa mamamu?” tanya Elang sambil celingak celinguk.

“Hmmmm gini nih kalau punya gebetan baru, lupa sama semuanya. Kan papa sama mama masih di Singapura sampai minggu depan. Tumben ke sini, hmmm jangan-jangan sudah putus yaaa? Masa baru dua hari sudah putus?” kata Livi dengan nada datar.

“Siapa bilang putus. Justru ini lagi hangat-hangatnya. Dan kamu tahu siapa dia, Rere, hahahahaha,” kata Elang tampak bahagia sore itu.

Livi kaget. Setahu dia Rere itu adalah mantannya Elang semasa di SMP dan pernah pacaran lagi sebentar saat kelas 2 SMA. Rere dan Elang beda sekolah di tingkat SMA. Sedikit banyak Livi tahu hubungan Elang dengan Rere.

Dan terakhir kali, Elang ketemu pas SMA kelas 2 itu. Setelah itu dia tak tahu kabarnya. Informasi yang didengar Livi, Rere pacaran dengan teman dekat Elang.

“Hah? Yanie. Pacarmu yang dulu itu? Kok bisa ketemu?” tanya Livi serius. Meski tahu siapa Rere, tapi selama berteman dengan Elang, Livi tak pernah dikenalkan dengan Rere.

“Ternyata dia kuliah di kota ini. Banyak cerita pokoknya,” kata Elang yang kemudian duduk setelah dari tadi hanya berdiri di depan Livi. Elang pun bercerita. Intinya, selama ini, sejak Elang berpisah dengan Rere, rupanya Rere sering mencari Elang. Namun baru bisa ketemu nomor telepon Elang dari teman SMPnya yang lain.

Livi hanya diam mendengarkan cerita Elang. Tanpa menyahut sepatah kata pun. Dia hanya melamun. Bahkan tak semua cerita dia dengar. Tak seperti biasanya. Saat Elang bercerita tentang cewek, dia selalu ikut komentar, turut campur memberi penilaian, bahkan kadang menyatakan tidak setuju jika memang tidak cocok. Begitu sebaliknya.

Namun pada intinya, selama ini jika Elang dekat dengan cewek, Livi banyak tak mendukungnya, begitu juga dengan Elang. Padahal keduanya juga tidak pernah saling cerita dari hati ke hati masing-masing. Intinya mereka seolah tak mau masing-masing punya pacar, meskipun tidak sampai membuat saling jengkel.

Namun kali ini nampaknya Livi ada rasa jengkel mendengar cerita soal Rere. “Ihhh penting banget kah dia?” kata Livi dalam hati.

“Aku mau nemuin dia, tapi belum tahu kapan,” kata Elang.

“Oh, bagus lah,” jawab Livi ketus.

“Oke bos, aku balik dulu. Mau mandi,” Elang pamit pulang.

Livi hanya diam bengong. Suasana seperti itu baru ini terjadi. Livi tampak kaku menghadapi sahabatnya itu. Tidak ada canda tawa. Seolah dia baru mengenal Elang. Bermacam pikiran memenuhi otak Livi sore itu.

Dia pun menutup pintu dan masuk kamar. Di kamar dia tampak gelisah. Dia sendiri tidak percaya dengan perasaannya, kenapa kacau. Livi mencoba mencari jawaban yang logis atas apa yang dialaminya, namun tidak ada satu pun alasan ditemukan.

“Tuhan, kenapa dengan aku ini. Harusnya aku senang sahabatku kembali bertemu dengan mantannya. Siapa tau mereka jodoh. Kenapa aku jadi jengkel seperti ini. Mengingatnya saja membuatku emosi. Ampun Tuhan,” guman Livi sambil membalikkan badan.

“Apakah aku jatuh cinta sama Elang? Oh tidak!.”

“Bukankah wajar dia kemarin perhatian sama aku, kemana-mana sama aku, bercanda bebas sama aku. Bukankah wajar dia tak seperti itu saat ini karena dia menemukan yang dia cari selama ini. Kenapa aku merasa kehilangan dan merasa sangat butuh dia? Kenapa aku jadi egois seperti ini.”

Hingga menjelang tengah malam, Livi baru tertidur. Dari sore sejak Elang datang, dia belum mandi, bahkan juga belum makan. Pembantu di rumah yang mengingatkannya pun diacuhkan.

Tepat pukul 12 malam, tiba-tiba smartphonenya berdering. Setelah dua kali panggilan, Livi terbangun. Rupanya mamanya yang di Singapura menelepon. “Happy birthday sayang mama. Wish you the best ya. Maaf mama sama papa belum bisa merayakan ultahnya Livi bersama di rumah. Tapi nanti mama bawa kado istimewa kok. Ini papa mau bicara,” kata mamanya di ujung telpon. Livi sengaja me-loudspeaker karena dia malas menguping HP-nya.

“Selamat ulang tahun putri papa satu-satunya yang cantik. Livi pesan apa? Mau dibelikan apa sayang,” kata papanya.

Livi sendiri kaget. Dia sampai lupa kalau hari itu ulang tahunnya. “Terimakasih ma, pa. Cepat pulang. Sepi di rumah. Kangen mama papa,” kata Livi pelan. Tak terasa air matanya menetes.

“Iya sayang. Papa sama mama jadi pulang sesuai jadwal. Jaga diri baik-baik di rumah. Telepon mama atau papa kalau ada apa-apa,” kata papanya kemudian telepon ditutup.

Livi makin menangis saat melihat layar Hpnya tidak ada SMS, BBM atau telepon dari Elang. Selama ini, sejak SMA hingga ulang tahun setahun lalu, Elang selalu orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun. Bahkan, selain sama orangtuanya, Elang adalah orang yang selalu bersama dia saat merayakan ulang tahun.

Dia kemudian teringat rencananya bersama Elang merayakan ulang tahun di tepi pantai hanya berdua. Namun, dia sangsi kalau rencananya itu terkabul. Ucapan yang tiap tahun disampikan Elang saja, kali ini tidak ada.

Pikiran Livi makin kemana-mana. Kadang dia berpikir apakah dia benar-benar jatuh cinta kepada Elang. Apakah kebersamaan mereka selama ini dilandasi kecocokan. Apakah perasaan nyaman selama ini adalah hubungan sebenarnya, meskipun keduanya tidak pernah saling menyatakan cinta.

Livi tidak bisa tidur lagi. Berulang kali dia lihat smartphone-nya. Namun tidak ada tanda-tanda SMS, BBM, Whats Up, Line atau telepon dari Elang. “Kenapa aku menunggunya. Mungkin dia tertidur pulas, menikmati mimpi bersama Rere. Kenapa aku memikirkan dia, dia saja tidak memikirkan aku.”

“Tuhan, jika memang ini tentang jatuh cinta, tolong hilangkanlah dari pikiranku. Jauhkanlah pikiran-pikiran ini. Kenapa rasa cinta membuat sakit seperti ini? Bukankah Tuhan membuat cinta agar ada kedamaian? Jika memang ini bukan jatuh cinta, kenapa seperti ini yang aku rasakan. Oh Tuhan, aku ingin damai di hari kelahiranku.”  Akhirnya menjelang pagi Livi tertidur.

Tak seperti biasanya, Elang bangun pagi. Kuliahnya masih siang. Tak seperti biasanya juga dia tiap pagi asyik dengan smartphonenya. Sejak kembali terhubung dengan Rere, banyak hal berubah. Bahkan, sering status di BBM nya tak seperti biasa. Kadang dia nulis status ‘Pagi adalah Kamu’ dan kalimat-kalimat aneh yang tak seperti biasanya.

Elang tampak buru-buru keluar ruang kuliah dan bergegas ke parkiran mobil. Dia pun meluncur. Ardian yang memperhatikan itu tampak aneh. Ardian berpikir Elang ke rumah Livi karena Ardian tahu kalau hari itu adalah ulang tahun Livi. Tapi kenapa Elang tidak mengajak Ardian karena biasanya mereka bertiga merayakannya, meskipun hanya ditraktir makan.

Elang meluncur dengan semangatnya. Dia pun memutar radio dan turut menyanyikan lagu yang diputar. Rupanya dia hendak bertemu dengan Rere di kosnya. Ternyata semangat sejak pagi itu  karena dia sudah ada janji dengan Rere.

Tibalah dia di sebuah rumah kos yang besar. Sepertinya rumah itu diisi khusus mahasiswi putri. Kalau dilihat dari bentuk dan suasananya, kos itu terbilang mahal. Elang pun memencet bel pagar. Kemudian keluarlah seorang ibu. “Mencari siapa mas?” tanya ibu yang sepertinya penjaga rumah kos itu.

 “Rere bu,” jawab Elang sambil melihat-lihat rumah kos itu.

“Ehm Mbak Rere yang kuliah apa yang kerja di hotel?” ibu itu kembali menanyakan.

“Yang kuliah bu,” jawab Elang.

Namun belum sempat dipanggilkan, Rere keluar dan meminta Elang masuk. Meski rumah itu besar, tapi tamu cowok tidak bisa masuk. Di rumah itu disediakan gazebo dekat teras khusus penghuni kos menerima tamunya, khususnya tamu cowok.

Wajah Elang sumringah, tampak sangat senang. Meski agak sedikit malu karena lama tidak bertemu. Bahkan saking senangnya, dalam pikiran Elang rasanya ingin memeluk Rere yang siang itu memakai kaos ketat dengan celana jeans ketat. Rindu yang sudah tersimpan lama. Hampir empat tahun tidak bertemu.

“Hai, kok bengong gitu sih? Kenapa, kaget lihat aku yang cantik yaaa...,” goda Rere.

“Hahahaha, lama kita gak ketemu ya? Berapa tahun sudah hilang kontak,” jawab Elang menutupi malu. Elang tampak kikuk menghadapi Rere yang tampak banyak berubah.

“Halaaaah, kalau bukan aku yang mencari nomor kontakmu, mana ada kamu mencari aku,” kata Rere sambil meminta Elang duduk.

“Hehehehe,” jawab Elang singkat merasa tak berdosa.

Setelah basa basi saling mengingat, Rere pun membahas hal yang lebih serius. “Lang, aku belum tahu kuliahku mau lanjut apa tidak. Kalau berhenti sayang tinggal tiga semester lagi. Kalau lanjut aku belum tahu, apa bisa,” ujar Rere.

Elang kaget, “kenapa? Biaya? Kenapa ndak mencoba sambil kerja?”

“Bukan. Bukan itu. Ehmm gimana yang ngomongnya. Boleh ndak aku minta pendapatmu. Selama ini kalau kamu kasih pendapat kan biasanya enak didengar, obyektif,” Rere mencoba mencari cara mengungkapkannya.

“Jadi, kenapa kok tiba-tiba berpikiran ndak bisa melanjutkan kuliah,” tanya Elang.

“Aku mau dilamar. Bapak ibuku setuju. Awalnya aku belum siap karena masih kuliah. Tapi dia serius dan memberi pengertian ke aku, bahwa pernikahan ini akan menghindarkan kami dari hal-hal yang tidak benar. Aku juga tidak mau nanti punya anak sementara umur sudah tua,” kata Rere yang membuat Elang terdiam lama.

“Pertanyaanmu sudah kamu jawab sendiri. Sebenarnya itu tidak perlu lagi pendapatku. Kecuali Rere sengaja memberitahu jika mau menikah. Kenapa kamu lakukan ini. Baru lima menit yang lalu kamu bilang kangen, selama ini mencari aku, berharap aku jodohmu, tapi..” belum selesai ngomong, Rere memotong pembicaraan.

“Bukan. Bukan itu maksudku. Aku serius senang bisa mengontakmu lagi. Aku serius selama ini kangen. Tapi selama ini kamu kemana? Tidak ada kabarnya sama sekali. Tidak mencoba mencari aku. Apa itu yang dulu kamu bilang aku cinta sejatimu, cinta pertamamu?” Rere membela diri.

“Hah? Di sini aku yang harusnya marah karena sikapmu seperti ini. Kok malah mencari salahku. Jangan mencari kesalahan orang lain untuk menutupi kesalahan sendiri,” jawan Elang makin emosi.

“Apa maksudmu? Kamu tidak pernah berubah ternyata,” Rere ikut emosi.

Keduanya pun terdiam. Terbawa pikiran masing-masing. Tujuan Rere minta pendapat pun akhirnya berakhir dengan perdebatan sengit. Keduanya terbawa emosi.

Elang merasa kecewa saat dia sudah berusaha menemukan kembali perasaanya. Meskipun dia sebenarnya menyadari, bahwa perasaanya sudah beda seperti saat mereka duduk di bangku sekolah. Perasaan berbeda saat dulu elang pernah kecewa karena Rere memilih teman akrabnya. Namun Elang menepiskan semua dengan harapan perasaan itu tumbuh kembali saat mereka bersama lagi. Elang kecewa buat apa dia harus dicari jika hanya untuk disakiti.

Rere pun kecewa karena Elang tidak berubah dan selalu mendulukan emosinya. Rere semakin kecewa saat Elang tak bisa memberikan penjelasan kenapa selama ini tak pernah mencoba mencarinya. Namun saat dia yang berusaha mencari dan menemukannya, justru dia menjadi dipersalahkan.

Rencana lamaran itu juga belum tentu terjadi. Rere sengaja minta pendapat Elang dengan harapan ada niat serius dari Elang, bukan malah emosi dan marah-marah. Keduanya memang tampak mudah emosi dan saling gengsi.

“Sudah lah Re, pilihanmu sudah tepat. Jangan tunggu jawabku karena kamu sudah menjawab sendiri. Mungkin aku salah tak pernah mencarimu selama ini. Dan mungkin aku juga bodoh terlalu berharap sesuatu yang tak pasti. Aku hanya berdoa, semoga apa yang diajarkan calon suamimu benar adanya. Kadang tak harus dengan cinta untuk bersama, kadang cinta juga tak harus bersama. Selamat!,” kata Elang kemudian berdiri.

Rere masih diam. Elang hendak melangkahkan kaki. Rere makin kecewa dengan sikap Elang yang pergi begitu saja.

“Silahkan pergi dan jangan kembali. Saya menyesal mencarimu. Dan mungkin benar semua ucapanmu. Semoga benar adanya aku bahagia dengan pasanganku,” Rere menangis dan berdiri, berjalan masuk ke kos. Elang tak menoleh sedikit pun saat Rere bicara. Dia tetap berlalu.

Suasana hati Elang kacau. Dia pun memasanga display picture (DP) BBM-nya dengan gambar hitam. Dia tulis status ‘Datang untuk dikecewakan’. Rupanya hal yang sama dilakukan Rere, di recent update status, Rere mengganti statusnya dengan kalimat, ‘Tak pernah berubah, egois jangan dipelihara!!!’ Elang merasa tersudut dan emosi sehingga dia men-delcont kontak Rere.

Dia pun pulang dengan lemas. Elang menjadi ingat kata Ardian, bahwa jangan begitu mudah larut dalam harapan dalam suasana yang seolah menyenangkan. Kesenangan belum menjamin kebahagiaan. Ada kalanya kesenangan itu hanya sesaat. “Ada orang lain yang mungkin lebih mencintaimu dan kamu pun sama, tapi tanpa kamu menyadarinya,” Elang mengingat ucapan Ardian.

“Ternyata saat kita berlari mengejar dengan penuh rasa senang, belum tentu kita mendapatkan yang sama. Justru mungkin akan membuat kita sakit saat apa yang kita temukan tidak sesuai harapan. Ah! Hidup sudah ada jawabnya, kenapa selalu aku tanyakan,” keluh Elang.

Elang menghela nafas dan memutar radio. ‘Kubayangkan, jika engkau datang, kupeluk bahagiakan aku. Keserahkan, seluruh hidupku, mejadi penjaga hatimu...’ stasiun radio di mobil Elang kebetulan memutar lagunya Ari Lasso berjudul Penjaga Hati.

“....Lover, kadang cinta itu ada tanpa kita sadari. Saat dia pergi, kita baru menyadarinya karena cinta adalah menjaga hati. Baik lover, pada hari ini, Kamis 24 Februari 2015 mungkin ada yang sedang berbahagia, Ari ucapkan selamat berbahagia. Ari tunggu teleponnya atau SMS di 08125357xxxx. SMS yang dikirim nanti Ari bacakan. Sambil menunggu telepon masuk yang mau mengucapkan salam atau ucapan selamat ulang yang masuk ke HP Ari, saya bacakan dulu SMS yang sudah masuk...”

Suara penyiar radio itu membuat Elang kaget dan baru ingat jika hari ini adalah ulang tahun Livi. Dia pun memacu mobilnya. Dia bingung mencari Livi kemana. Hari sudah sore. “Aduuuhh ayo dong Livi angkat telponnya,” guman Elang yang mencoba menelepon Livi namun tidak diangkat.

Dia pun berinisiatif ke rumah Livi. Tak lama dia pun sampai di rumah besar bercat krem, dengan dua pohon mangga di samping kiri dan kanan pintu pagar. Rumah dengan arsitektur lama namun tampak kokoh dan asri. “Mbak, Livinya ada?” tanya Elang kepada pembantu Livi yang membukakan pintu.

“Ndak ada eh Mas, keluar dari siang. Itu HPnya ketinggalan di meja. Dari tadi HPnya bunyi terus saya tidak berani mengangkat Mas. Mbak Livi tadi naik taksi Mas, tapi ndak pamit,” kata pembantu Livi.

“Mbak tahu ndak kemana perginya?” Elang bertanya lagi. Pembantu Livi hanya geleng-geleng dan bingung melihat tingkah Elang yang tampak bingung tak seperti biasanya. Elang pun pamit dan buru-buru pergi.

Tujuan kedua adalah rumah Ardian. Pas sampai, Ardian kebetulan ada di depan rumah utak atik mobilnya. “Di, tahu ndak Livi kemana? Kutelepon ndak diangkat, aku ke rumahnya ndak ada. Ternyata HPnya ketinggalan,” kata Elang saat turun dari mobil.

Ardian membalikkan badan dan menatap Elang dengan penuh emosi. Elang sendiri bingung dengan tatapan Ardian yang tak seperti biasanya. “Eh, elu itu emang gak berubah yah. Sudahi kelakuan elu yang hanya menyakiti perasaan orang seperti itu. Jangan cari Livi. Apapun yang terjadi elu tanggungjawab,” ucapan Ardian keras.

Elang makin bingung dan terpancing emosi, “Loh, aku ini cari Livi. Nanya dia dimana. Kok kamu marah-marah?”

“Gue kasih tau ke elu ya. Ini hari ulang tahun Livi. Dan dari pagi kagak ada sama sekali lu coba telepon dia, ngucapin selamat atau apa kek. Elu asyik ama bokin lu. Hilang kagak jelas. Hei Elangbiru! gue kasih tau lagi satu hal ke elu, selama ini Livi suka sama elu dan gue juga tau elu pun suka sama Livi. Kalian sama-sama gengsi menyampaikan. Terus gara-gara si.. siapa itu namanya datang, elu berubah. Ini momen istimewa di saat Livi pingin sama elu, malah kacau,” jelas Ardian panjang lebar.

“Oke oke aku ngaku salah. Itu kita bahas nanti. Sekarang ikut aku cari Livi. Kemana pun aku akan cari Livi sampai ketemu. Aku janji akan minta maaf ke Livi,” Elang menyeret Ardian ke mobilnya. Meskipun Ardian hanya memakai celana pendek dan kaos oblong yang ada bercak oli, dia pun menuruti permintaan sahabatnya itu. Ardian tahu, meskipun sahabatnya itu sering bikin kesal, tapi Elang tipe orang yang konsisten dengan ucapannya.

“Kita kemana, kampusnya? Tidak mungkin dah mau senja dia ke sana. Ke rumah temannya kamu kenal ndak? Atau ke mall, kafe, atau kemana?” Elang memberondong perntanyaan karena mulai panik.

“Jangan nyerocos. Kita cari di tempat terdekat sini dulu. Kita ke kafe di dekat kampusnya, siapa tahu dia merayakan ulang tahun sama teman kampusnya. Tapi elu jangan ngebut gini dong bro,” jawab Ardian.

Sebelum sampai di kafe kampusnya Livi, Elang ingat ucapan Livi tiga hari lalu tentang keinginannya merayakan ulang tahun hanya berdua di pantai, duduk di atas batu, menikmati senja. Tanpa banyak bicara, Elang memutar mobilnya dengan tujuan pantai. Ardian hanya diam mengikuti kemana arah sahabatnya itu.

Sementara itu, di tempat lain, Livi yang mamakai gaun berwarna biru muda tampak duduk sendiri di atas batu. Di pantai. Sepatunya dilepas dengan menjuntaikan kaki ke air. Sesekali ombak mengenai kaki putihnya itu. Dia seolah mendegarkan suara riak ombak itu bicara. Livi ingin menceurahkan hati ke ombak itu.

Dia hanya diam sendiri, menatap langit yang mulai berwarna jingga. Matahari sebentar lagi tenggelam.

Tempat duduk batu besar itulah yang dulu pernah ditunjukkan ke Elang. Namun, harapan berdua bersama Elang sirna. Dia hanya sendiri di hari istimewanya. Seribu rasa kecewa pun hanya terpendam di pikiran tanpa bisa dilampiaskan. Tak lama dia bangkit dan pergi.

Sekitar 10 menit kemudian, tampak mobil Elang datang. Namun sayang, baru saja Livi pergi. Elang buru-buru turun dari mobil dan berlari ke arah batu yang pernah ditunjuk Livi. Dia pun terdiam menyesal tak menemukan Livi.

Tiba-tiba matanya tertuju pada batu di sebelah batu besar. Di situ ada sebuah kalimat yang ditulis tangan dengan batu kapur. ‘Cinta Tak Sendiri, Cinta saling Menjaga Hati’  Elang menduga itu adalah tulisan Livi. Dia semakin menyesal.

“Ayo kita cari lagi. Coba kita ke rumahnya lagi. Ini mau adzan maghrib, siapa tau dia pulang,” teriak Ardian.

Mereka berdua pun saling diam, larut dalam pikiran masing-masing. Saat sampai tepat di gang masuk ke arah rumah Livi, mereka melihat seorang gadis tinggi semampai berjalan menenteng sepatu hak tinggi. Wajahnya tidak jelas karena mereka melihat dari belakang serta suasana makin gelap, hanya lampu penerangan jalan yang bersinar. Namun, Elang dan Ardian mengenali siapa dia.

Elang pun memacu mobilnya dan mendekati perempuan itu yang ternyata benar si Livi. Elang berhenti dan turun dari mobil, “Livi...”

Livi yang berjalan lemas berhenti, kemudian menoleh ke belakang. Elang berlari dan memeluk Livi tepat di bawah lampu penerangan. Keduanya berpelukan erat tanpa sepatah kata keluar dari bibir masing-masing. Livi menangis dan semakin erat memeluk Elang. “Kamu jahat, jahat, jahat...” air mata Livi menetes deras.

Elang hanya diam. Begitu juga Livi. Mereka larut dalam pelukan yang membawa suasana syahdu. “Aku sayang...” keduanya serempak mengucapkan kata yang sama.

“Ihhhhh...” Livi melepaskan pelukan dan memukul Elang dengan gemas.

Kemudian Elang kembali memeluk Livi. Kali ini tangan Elang di pinggang Livi, sementara tangan Livi di pundak Elang.  Sambil mengusap air mata Livi, Elang berucap, “Aku sayang kamu, selamat ulang tahun. Aku minta maaf atas semua ini.”

Livi pun menatap mata tajam Elang. “Aku juga sayang kamu,” kemudian mereka berpelukan erat lagi.  Ardian yang melihat keduanya hanya tersenyum dari dalam mobil.

“Ternyata benar, cinta yang kita kejar belum tentu cinta sejati. Justru cinta sejati kadang ada di sekitar kita yang selama ini tak pernah disadari,” kata Elang kepada Livi.  

“Mungkin aku bodoh tak pernah menyadari kebersamaan kita menumbuhkan perasaan. Semua baru terasa saat kamu pergi. Mungkin selama ini aku tak sadar karena kamu masih ada di sebelahku. Selama ini pula hatiku damai dan nyaman. Ternyata Tuhan tidak salah tentang jatuh cinta,” kata Livi.

“Dan cinta itulah yang menampakkan dirinya sendiri hingga kita menyadarinya. Cinta tak bisa diukur dengan logika, cinta tak bisa dihitung dengan matematika, cinta tak bisa dicari alasannya, cinta tak perlu dirangsang untuk tumbuh, cinta adalah soal perasaan. Iya perasaan kita yang sama. Perasaan yang saling mendamaikan.” (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun