Elang hanya diam. Begitu juga Livi. Mereka larut dalam pelukan yang membawa suasana syahdu. “Aku sayang...” keduanya serempak mengucapkan kata yang sama.
“Ihhhhh...” Livi melepaskan pelukan dan memukul Elang dengan gemas.
Kemudian Elang kembali memeluk Livi. Kali ini tangan Elang di pinggang Livi, sementara tangan Livi di pundak Elang. Sambil mengusap air mata Livi, Elang berucap, “Aku sayang kamu, selamat ulang tahun. Aku minta maaf atas semua ini.”
Livi pun menatap mata tajam Elang. “Aku juga sayang kamu,” kemudian mereka berpelukan erat lagi. Ardian yang melihat keduanya hanya tersenyum dari dalam mobil.
“Ternyata benar, cinta yang kita kejar belum tentu cinta sejati. Justru cinta sejati kadang ada di sekitar kita yang selama ini tak pernah disadari,” kata Elang kepada Livi.
“Mungkin aku bodoh tak pernah menyadari kebersamaan kita menumbuhkan perasaan. Semua baru terasa saat kamu pergi. Mungkin selama ini aku tak sadar karena kamu masih ada di sebelahku. Selama ini pula hatiku damai dan nyaman. Ternyata Tuhan tidak salah tentang jatuh cinta,” kata Livi.
“Dan cinta itulah yang menampakkan dirinya sendiri hingga kita menyadarinya. Cinta tak bisa diukur dengan logika, cinta tak bisa dihitung dengan matematika, cinta tak bisa dicari alasannya, cinta tak perlu dirangsang untuk tumbuh, cinta adalah soal perasaan. Iya perasaan kita yang sama. Perasaan yang saling mendamaikan.” (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H