“Ternyata dia kuliah di kota ini. Banyak cerita pokoknya,” kata Elang yang kemudian duduk setelah dari tadi hanya berdiri di depan Livi. Elang pun bercerita. Intinya, selama ini, sejak Elang berpisah dengan Rere, rupanya Rere sering mencari Elang. Namun baru bisa ketemu nomor telepon Elang dari teman SMPnya yang lain.
Livi hanya diam mendengarkan cerita Elang. Tanpa menyahut sepatah kata pun. Dia hanya melamun. Bahkan tak semua cerita dia dengar. Tak seperti biasanya. Saat Elang bercerita tentang cewek, dia selalu ikut komentar, turut campur memberi penilaian, bahkan kadang menyatakan tidak setuju jika memang tidak cocok. Begitu sebaliknya.
Namun pada intinya, selama ini jika Elang dekat dengan cewek, Livi banyak tak mendukungnya, begitu juga dengan Elang. Padahal keduanya juga tidak pernah saling cerita dari hati ke hati masing-masing. Intinya mereka seolah tak mau masing-masing punya pacar, meskipun tidak sampai membuat saling jengkel.
Namun kali ini nampaknya Livi ada rasa jengkel mendengar cerita soal Rere. “Ihhh penting banget kah dia?” kata Livi dalam hati.
“Aku mau nemuin dia, tapi belum tahu kapan,” kata Elang.
“Oh, bagus lah,” jawab Livi ketus.
“Oke bos, aku balik dulu. Mau mandi,” Elang pamit pulang.
Livi hanya diam bengong. Suasana seperti itu baru ini terjadi. Livi tampak kaku menghadapi sahabatnya itu. Tidak ada canda tawa. Seolah dia baru mengenal Elang. Bermacam pikiran memenuhi otak Livi sore itu.
Dia pun menutup pintu dan masuk kamar. Di kamar dia tampak gelisah. Dia sendiri tidak percaya dengan perasaannya, kenapa kacau. Livi mencoba mencari jawaban yang logis atas apa yang dialaminya, namun tidak ada satu pun alasan ditemukan.
“Tuhan, kenapa dengan aku ini. Harusnya aku senang sahabatku kembali bertemu dengan mantannya. Siapa tau mereka jodoh. Kenapa aku jadi jengkel seperti ini. Mengingatnya saja membuatku emosi. Ampun Tuhan,” guman Livi sambil membalikkan badan.
“Apakah aku jatuh cinta sama Elang? Oh tidak!.”