“Bli kuwat ngapa?”
“Bli kuwat weruh mrengute! Soale angger mrengut koh malah tambah ayune hehee!”
”Aja ngomong ngaco! Kula wis ora dewekan!”
“Wis ana sing duwe Put? Kula telat napa?”
“Embuuuh! Ora dewekan kuwe arane rombongan Ngga!”
“Oalaaaahhh..... Puuuttt.... tek arani apa! Marai deg-degan ......”
“Uuuuh kaya maring apane baen? Kula niki apane sampeyan si?”
“Calone! Hahaaa!”
“Ngaco ah!”
Anggara terbahak. Tak urung Putri ikut tertawa. Ia melihat teman sekelasnya itu begitu senang tertawa lepas. Dalam hati kadang gadis itu merasa kasihan kepada Anggara. Sejak pertengahan kelas XI ia melihat gelagat pemuda tanggung itu mencari-cari perhatian dirinya. Sementara ia sendiri tidak punya rasa apa-apa, datar-datar saja. Walapun sebenarnya ia juga berfikir, “tidak punya rasa” atau “belum punya rasa”, paling tidak simpati.
“Ngapa ngliatin aku gitu?” tanya Anggara. Kali ini Putri terhenyak. Ia tak sadar memperhatikan Anggara yang sudah usai tertawa dari tadi.