Sampai di rumah Tirah masuk kamar. Desakan tangis yang menggelegak akhirnya tumpah. Ia menangis tersedu-sedu. Air matanya tumpah membasahi bantal kusam. Hingga hampir lima menit ia menangis dalam kesendirian. Namun sayup-sayup suara music degung dari halaman rumah Pak Kandar masih sangat jelas terdengar.
“Ya Allaaaah …… mengapa aku tak pernah mengalami masa-masa seindah anak Pak Kandar? Mengapa aku sebagai permpuan tak pernah merasakan indahnya menikah, semarak dan megahnya menikah. Aku menikah di kesunyian ya Allaaaah….. hanya ada akad wali dan saksi, serta mas kawin yang tak seberapa. Hanya disaksikan oleh tetangga kanan kiri… ya Allaaaaah …… mengapaaaaaa………??????!!” tanpa sadar perempuan itu berteriak kemudian mencengkeram bantal hingga membanting-bantingnya.
Tirah! Tiraaaahhhh!
Tirah kaget. Sebagaimana sebenarnya ia kaget sendiri dengan teriakan sendiri. Perlahan ia duduk, dan menoleh.
“Kang Rasman? Kang?”
“Ada apa kau berteriak?”
“Aku berteriak?”
“Iya. Kau berteriak….”
“Akang pulang?”
“Ban sepeda kempis. Itu tak penting. Rasanya kau berteriak memanggil –Allah – . Ada apa?”
“Oooohh…… Akang dengar?”