“Ya Tirah. Hati kecil Akang sebenarnya ingin menebus kekecewaan Tirah dari dulu. Akang tahu dari dulu Tirah kecewa. Akang juga kecewa. Hingga entah dari mana, mungkin bimbingan Allah untuk membawa pikiran Akang ke situ. Akang ingin mengajak Tirah melaksanakan idadah umroh. Barang yang lima hari atau satu minggu …. namun…. namun nyatanya hingga sepuluh tahun uangnya belum juga cukup Tirah …… “
“Kaaaang …… jangan ngomong begitu Kang. Biarpun uangnya belum cukup, aku sangat bahagia Kang. Bahkan hari ini rasanya aku merasa sangat bahagia dibanding membayangkan duduk di pelaminan.”
“Iya Tirah. Akang tidak tahu …… apakah Akang sanggup mengajak Tirah umroh atau tidak …. Uangnya masih kurang banyak.”
“Jangan pesimis Kang…..”
“Terserah uang itu akan Tirah pakai apa , akang serahkan…. Sudah tak ada rahasia dan kejutan lagi…..”
“TIdak Kang, biar bagaimanapun juga uang ini harus tetap Akang simpan. Akang harus tetap berusaha menyisihkan rizki dari Allah. Akang harus tetap teguh pada niat pertama ….. umroh”
“Walau sampai sepuluh tahun lagi misalnya?”
“Tidak apa-apa Kang.”
“Sampai kita tua?”
“Tak apa-apa sampai tua juga. Karena saya baru yakin benar, di setiap rupiah usaha Akang di situ ada cinta Akang …..”
Rasman memegang kedua bahu Tirah. Ditatapnya mata istrinya yang masih basah. Ada sinar mata cinta yang dalam di mata Tirah. Ia rasakan getaran-getaran itu sangat hebat. Sama hebat getarannya ketika dulu hati Rasman luluh dalam pandangan mata dan senyum Tirah.