Namun, para pemimpin muda di depan mereka itu berpikir sejenak..tapi mungkin demi etika, demi keramahan-tamahan, dan demi menghormati, mareka akhirnya menjawab. "Oh ya, sangat mungkin. Silakan..silakan..!" kata mereka.Â
"Baik.." kata Dewi sambil tersenyum.
Masih melanjutkan senyumnya, Dewi menunduk. Dewi menyadari itu, sekolah Dewi dari udik, dan sekolah negeri lagi, sepertinya cukup beralasan jika sekolah swasta itu ragu menerima produk dari sekolahnya. Haha..dan memang begitulah adanya, tawa Dewi dalam hati.
*
Dewi yang sudah berganti mengenakan pakaian santai, mengenakan celana kain warna coklat, kaos putih, jilbab coklat susu, dan sepatu kets warna putihnya, duduk di atas rumput, di salah satu sudut lapangan, di bawah pohon sambil merenung menatap luas hamparan rumput yang ada di depannya. Ia duduk di situ sedang menemani dan menunggui Bu Rinda yang sedang sholat.
Lands Plantentuin te Buitenzorg atau Kebun Raya Bogor. Konon katanya kebun ini dirintis oleh seorang bangsawan Inggris, Sir Stamford Raffles, yang sayangnya dia adalah seorang penjajah dan sekaligus seorang penjarah. Penjarah harta kekayaan keraton kesultanan Yogyakarta. Menjarah berset-set perangkat wayang kulit, alat musik gamelan, uang ribuan dolar Spanyol, dan jejak yang paling hitam adalah menjarah ribuan naskah kuno atau buku-buku karya dari Kesultanan Yogyakarta, yang karena buku itulah, kata sejarawan lain, sebagai salah satu penyebab bangsa Indonesia ini kehilangan jati dirinya.Â
Ah.. tapi sama dengan sekolah swasta dan negeri tadi, segala sesuatu itu memiliki dua sisi, positif dan negatif. Itulah negatifnya dia, tapi positifnya dia adalah perintis Kebun Raya Bogor ini. Kebun seluas 47 hektar ini.
Memang di kebun raya inilah, orang bisa merasakan kenyamanan berisitirahat dan tinggal sejenak di lingkungan hijau, setelah hiruk-pikuk berurusan dengan dunia luar. Orang bisa menyedot dan menyimpan banyak-banyak suplai oksigen yang melimpah, setelah setiap harinya menyedot polusi udara yang berisi karbondioksida dan logam-logam berat. Orang bisa mengobati mata mereka dengan pemandangan hijau yang sejauh mata memandang memang hijau, setelah sehari-hari matanya digunakan untuk mengamati warna abu-abu bangunan gedung-gedung pencakar langit dan laptop-laptop. Orang tua bisa mengenalkan berbagai macam jenis tumbuhan kepada anaknya, yang tentu saja jika orang tua itu tidak fokus kepada gawainya dan mau senang hati menjelaskan tumbuhan ini dan itu kepada anaknya. Sayangnya, orang tua bawa gawai sendiri dan anaknya bawa gawai sendiri, lalu keduanya sibuk berselfi dan membagikannya ke grup media sosial masing-masing. Tapi tidak apa-apa, itu juga masih ada dampak positifnya. Dampak positifnya mereka memamerkan sesuatu yang baik tentang Kebun Raya Bogor ini. Tentang...
"Kenapa kamu melamun di sini, Dewi?" tanya suara seseorang dari belakang Dewi, yang Dewi mengenalinya sebagai suara Erwin. Dewi menolehkan kepalanya. Memang benar, itulah Erwin. Dewi tersenyum.
Erwin lalu ikut duduk di belakang Dewi, tetapi dia menghadap ke arah barat sedang Dewi ke arah Utara. Sehingga mereka seperti sedang duduk beradu punggung jika dilihat dari kejauhan, walaupun jika didekati kenyataannya tidak.
"Aku tidak melamun.." kata Dewi sambil tersenyum.